KEBIJAKAN pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak pada awal tahun disambut positif oleh banyak kalangan. Bukan karena konteks penurunan, melainkan langkah berani pemerintah yang secara simultan menghapus total subsidi BBM jenis premium.

Ini merupakan langkah besar. Tren penurunan harga minyak dunia memberikan momentum kepada pemerintah untuk mencabut kanker subsidi yang terbukti telah menyandera proses pembangunan selama beberapa dekade dan pemerintahan. Kebijakan ini memiliki konsekuensi, tetapi juga membuka berbagai peluang kebijakan dalam membentuk sistem kesejahteraan rakyat.

Hal pertama dari imbas penghapusan subsidi adalah pendekatan pemerintah dalam mendidik masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan harga BBM. Penghapusan subsidi BBM berarti pembentukan harga bergantung pada fluktuasi harga minyak dunia. Tren penurunan saat ini harus disikapi dengan kesiapan apabila harga minyak kembali naik. Tentu saja tantangan ini kembali pada seberapa cepat respons pemerintah dalam membangun transportasi publik yang layak dan sistem logistik yang efisien sehingga ketika harga BBM naik, masyarakat memiliki insentif dan alternatif pilihan.

Respons terhadap perubahan harga bukanlah hal buruk. Studi yang dilakukan Gillingham (2011) menunjukkan, respons terhadap lonjakan harga BBM merupakan instrumen yang positif  bagi perilaku konsumsi masyarakat. Seperti di negara maju yang sudah tidak ada subsidi BBM, masyarakat akan mengubah perilaku dalam memilih moda transportasi, termasuk alternatif yang tidak menggunakan bahan bakar. Implikasi lanjutan terhadap pola konsumsi adalah porsi pengeluaran terhadap BBM akan turun dan dialokasikan pada hal yang lebih produktif.

Subsidi orang, bukan barang

Penghapusan subsidi juga merupakan kesempatan bagi pemerintah dalam membangun negara berkesejahteraan (welfare state) yang baru. Subsidi bukanlah hal tabu. Fawcett dkk (2010) dalam buku teks Social Policy for Social Change bahkan menegaskan bahwa subsidi merupakan instrumen kunci dalam mendistribusi kesejahteraan. Permasalahan mendasar selama ini adalah subsidi didistribusikan pada barang yang tentunya tidak memiliki target spesifik, bahkan terbukti banyak dinikmati kalangan menengah atas.

Dengan realokasi subsidi yang besar, pemerintah memiliki banyak ruang dalam membantu masyarakat. Tentu saja dengan konsep baru: subsidi ditujukan kepada orang dengan syarat dan klasifikasi tertentu, bukan pada barang. Pilihan itu tidak hanya terbatas pada bantuan sosial bagi rakyat miskin, seperti Bantuan Langsung Tunai atau berbagai program kemiskinan, tetapi juga kepada pekerja menengah bawah yang selama ini sangat rentan apabila terjadi guncangan dan dapat jadi miskin.

Sebagai contoh, pekerja dengan pendapatan minimum dan memiliki anak berhak menerima subsidi, terutama untuk menjamin anak-anak mereka memperoleh nutrisi yang baik dan akses pendidikan. Subsidi ini tergantung dari tingkat pendapatan pekerja. Apabila di kemudian hari pendapatan yang bersangkutan meningkat dan sudah di luar klasifikasi, ia tidak menerima kembali subsidi tersebut.

Konsep ini lumrah terjadi di negara-negara maju dalam bentuk tunjangan pengasuhan anak (child care benefit). Dalam kondisi standar upah yang tinggi, memiliki asisten rumah tangga bukanlah pilihan. Mayoritas para pekerja kelas menengah yang memiliki anak akan menggunakan jasa pengasuhan anak yang berbiaya besar dan pemerintah memberikan subsidi dengan membantu biaya pengasuhan tersebut. Namun, sekali lagi, ini bergantung pada tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin rendah bantuan atau bahkan tidak mendapatkan sama sekali.

Contoh lain, seperti tunjangan pengangguran (unemployment benefit). Pemerintah menyalurkan subsidi kepada pekerja yang kehilangan pekerjaan dalam batas waktu tertentu. Ini untuk memberikan sinyal bahwa pemerintah hadir di tengah warganya ketika kesusahan datang. Namun, sekali lagi, tunjangan itu memiliki batas dan—tentu saja—jadi kewajiban penerima subsidi untuk kembali produktif.

Distribusi subsidi

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana pemerintah memperoleh data akurat agar alokasi subsidi yang didistribusikan diterima oleh orang yang tepat. Seperti di beberapa negara yang akuntabel, selain dari data dasar kependudukan, program kesejahteraan selalu diiringi usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan pembayar pajak. Maka, mekanisme paling mudah dan kredibel dalam mendistribusikan subsidi kepada warga negara adalah melalui data pembayar pajak, atau dalam konteks Indonesia berdasarkan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Dengan data NPWP, pemerintah dapat mendeteksi tingkat pendapatan, baik secara perseorangan maupun rumah tangga, yang kemudian dijadikan dasar dalam menentukan penerima subsidi. Dengan demikian, pola subsidi baru dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk menaikkan rasio pajak yang selama ini stagnan di angka 12 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Di lain pihak, warga negara—baik pekerja formal maupun informal—memiliki insentif untuk segera memiliki NPWP apabila ingin mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Pola di atas menunjukkan bahwa penghapusan subsidi BBM memberikan lembaran baru bagi pemerintah dalam penerapan kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Perubahan konsep subsidi dari barang ke orang lebih memberikan efek kehadiran negara dalam kehidupan masyarakat. Bagi pemerintah, kebijakan ini menjadi kesempatan dalam meningkatkan pendapatan melalui ekspansi pembayar pajak. Secara makro, pemerintah akan mempunyai sistem fiskal dan siklus pajak yang lebih sehat karena didistribusikan kepada rakyat yang membutuhkan.

Lebih jauh, dalam jangka panjang, ini merupakan awal bagi pembalikan tren kesenjangan ekonomi yang selama ini terus melebar. Tidak bisa dimungkiri, salah satu sebab membesarnya indeks Gini dalam satu dekade terakhir dari 0,36 ke 0,41 adalah akibat porsi subsidi BBM yang terus membesar dan menyandera pemerintah dalam distribusi kesejahteraan. Ini sudah diingatkan Stiglitz (2012) dalam buku The Price of Inequality bahwa salah satu penyebab kesenjangan adalah kegagalan pemerintah dalam siklus pajak karena pendapatan negara dari pajak yang semestinya mengambil dari kalangan atas untuk didistribusikan kepada kalangan bawah tidak terjadi. Sebaliknya, alokasi tersebut kembali dinikmati kalangan atas dan memperlebar kesenjangan.

Kita harus mengapresiasi kebijakan BBM baru pemerintah. Sebuah awal yang baik pada tahun baru 2015. Namun, seperti layaknya sebuah kapal, ia baru akan teruji apabila badai gejolak harga minyak dunia datang, dan pada saat itulah komitmen dan akuntabilitas pemerintah dibuktikan.

Erick Hansnata
Peneliti Masalah Ekonomi Politik; Kandidat Doktor University of Canberra, Australia