Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

Koran Sindo 4 Oktober 2014, Opini, Mahfud MD: RUU dan Perppu Pilkada

12/12/2018



Meski seringdisebut sebagai bangsa pelupa, mungkin masih banyak di antara kita yang tidak lupaketika pada 1997 tiba-tiba Menteri Penerangan (Menpen) Harmoko dicopot oleh Presiden Soeharto. Setelah berhasil mengantarkan Golkar menjadi pemenang pemilu (1997) dengan kisaran keme-nangan 73%, Ketua Umum Golkar yang juga Menteri Penerangan (Men-pen) itu pada Juni 1997 dicopot dari jabatannya sebagai menpen.

Presiden Soeharto tiba-tiba melakukan reshuffle kecil, mencopot Harmoko dan mengangkat Kepala Staf Angkatan Darat Hartono seba-gaimenpen. Harkomosendirikemu-dian diparkir, diangkat menjadi menteri urusan khusus tanpa me-nyebut khusus untuk apa. Biasanya kalau ada urusan khusus, kekhusus-annya disebutkan secara eksplisit, tetapi untuk Menteri Urusan Khu-sus Harmoko tidak disebutkan apa tugaskhususnya.

Ketika masyarakat sedang ribut dan bertanya-tanya tentang peris-tiwa politik itu, tiba-tiba ada peristiwabaru. Menpen yang baru, Hartono, mengumumkan bahvva Ran-cangan Undang-Undang tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) yangsudah disetujui dalam sidang paripurna DPR saat Harmoko menjadi menpen akan direvisi dan dibahas lagi dengan DPR karena Presiden tidak setuju pada sebagian isinya. Presiden tidak mau menandatangani RUU itusebe-lum isinya diperbaiki.

Masyarakat pun ribut. Harmoko menjelaskan, RUU itu sudah dibahas secara intensif oleh pemerintah ber-sama DPR selama delapan bulan. Kata Harmoko dirinya, selaku men-pen, mewakili pemerintah dengan sebuah amanat presiden (ampres) untuk membahas RUU itu sampai akhirnya disepakati bersama DPR. Kok, tiba-tiba Presiden meminta menpen yang baru untuk memba-hasnya kembali bersama DPR?

Anggota DPR dari PPP Aisyah Amini berteriak, "Tak ada mekanis-me pembahasan kembali kalau sudah disetujui pemerintah dan DPR." Tapi karena waktu itu kekuatan Presiden sangat hegemonik, DPR yang diketuai Kharis Suhud tak dapat me-ngelak dan membahas kembali RUU itu bersama Menpen Hartono dan mengubah sebagian isinya.

Setelah itu, barulah Presiden Soehartomenandatangani RUU itu menjadi undang-undang (UU). Diam-diam masyarakat pun menyimpan trauma.

Karena trauma, tak lama setelah Reformasi, pada saat me lakukan amendemen tahap ke-dua atas UUD 1945 MPR me-nambahkan ayat baru atas Pasal 20 UUD 1945, yakni ayat (5) yang menegaskan, "Jika dalam 30 hari setelah disepakati ber-samaolehDPRdanpemerintah sebuah RUU tidak ditandata-ngani oleh presiden, maka RUUitu sah sebagai UU dan harus di-undangkan." Jadi sejarah lahir-nya Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 adalah untuk memagari agar presiden tidak punya pintu untuk menolak sebuah RUU yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan tidak mau menandatanganinya.

Maka itu menjadi menghe-bohkan ketika pada 26 September 2014 Presiden Susilo Bam-bang; Yudhoyono, dari Washington DC, menyatakan (mungkin) dirinya tidak akan menandatangani RUU terse-but, bahkan mungkin akan menempuh jalur hukum ke MK atau ke MA. MensesnegSudi Si-lalahi pun, kalau pers tak salah kutip, membuat pemyataan aneh saat menegaskan, "RUU tak bisa berlaku menjadi UU kalau tidak ditandatangani oleh Presiden." Agak mengheran-kan, Presiden dan Mensesneg, saat itu, tak mengaitkan sama sekali pernyataannya dengan Pasal 20 ayat (5) dan sejarah yang melatarbelakanginya baik sebagai tafsirgramatis maupun sebagai tafsir historis.

Lebih jauh dari itu, saat bertemu khusus dengan Yusril Ihza Mahendra di Tokyo, Presiden SBY meminta saran kepada pa-kar hukum tata negara tersebut. Saran Yusril mengagetkan juga, yakni agar Presiden SBY maupun Jokowi tidak menandatangani RUU tersebut. Bahkan, masih saran Yusril, setelah dilantik sebagai presiden Jokowi mengemba-likansajaRUUitukeDPR.

Saya berbeda pendapat dengan Yusril. Menurut saya saran Yusril agar Jokowi me-ngembalikan RUU itu ke DPR bisa memasukkan Jokowi ke dalam situasi sulit. Presiden (SBY maupun Jokowi) bolehsaja tidak menandatangani sebuah RUU, sebab berdasar Pasal 20 ayat (5) sebuah RUU  bisa berlaku sah sebagai UU baik ditandatangani maupun tidak ditandatangani oleh presiden. Tapi kalau mengembalikan sebuah RUU yang sudah disepakati bersama bisa diartikan presiden menggunakankewenangannya dengan melanggar hak konstitusional DPR. Hal itu bisa me-nimbulkan sengketa kewe-nangan yang bisa berujung ke pendakwaan politik (impeachment). Pandangan saya ini tentu bisa diperdebatkan.

Untungnya, masalahnya kini telah bergeser. Presiden SBY pada 2 Oktober 2014 telah menandatangani RUU tersebut sekaligus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membatalkannya. Secara yuridis prosedural, presiden tidak salah mengeluarkan perppuka-renakewenanganuntukitume-mang diberikan oleh Pasal 22 UUD 1945.

Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis setingkat dengan UU. Tapi, meski se-tingkat dengan UU, karena di-buat dalam keadaan genting dan memaksa, keberlakuan perppu dibatasi hanya sampai masa sidang DPR berikutnya. Dalam masa keberlakuannya itu perppubisa diuji melalui legislative review di DPR untuk ditentukan, apakah akan disetujui menjadi UU ataukah akan ditolak. Seperti halnya UU, perppu yang masih harus diuji di DPR tersebut bisa juga diuji ke MKmelalui judicial review. Alhamdulillah, ribut-ribut soal pilkada kini sudahmereda