Dalam masa awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo tampak memberi perhatian khusus bagi Papua. Kehadiran Presiden dalam perayaan Natal di Papua diangkat sebagai simbol rekonsiliasi untuk membangun bumi Cenderawasih.

Sebagaimana dikutip dari Kompas (28/12/2014), Joko Widodo menyatakan, masalah yang ada di Papua tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial, atau politik, tetapi juga absennya saling percaya antara rakyat dan pemimpin. Secara tegas ia menyatakan, konflik yang kerap muncul harus segera diakhiri agar pembangunan Papua bisa berjalan baik.

Bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, otonomi khusus (otsus) digadang-gadang mampu menjadi solusi efektif dalam menyelesaikan berbagai persoalan mendasar. Kewenangan sekaligus dana yang besar diharapkan menjadi modal untuk menyelesaikan berbagai masalah politik, keamanan, serta sosial. Tahun lalu, dana otsus untuk kedua provinsi mencapai Rp 10 triliun atau 60 persen dari dana otsus yang dianggarkan pemerintah.

Oleh pemerintah Joko Widodo, otsus masih dipertahankan sebagai instrumen anggaran bagi sejumlah provinsi. Meski tidak setinggi kenaikan dana transfer ke daerah, dana otsus yang dianggarkan pada tahun 2015 tetap meningkat hampir Rp 0,5 triliun dibandingkan dengan tahun lalu.

Dalam skema otsus yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, provinsi menjadi lokus dari otonomi daerah di Papua. Berbeda dengan wilayah lain yang lokusnya ada di tingkat kabupaten atau kota. Dengan demikian, pemerintah provinsi berperan menjadi ”dirigen” yang menjaga keseimbangan laju pembangunan di sejumlah wilayah Papua.

Namun, setelah lebih dari satu dekade otsus berjalan, pembangunan Papua tampak seperti berjalan di tempat. Selain laju pembangunan di wilayah lain yang lebih cepat, penggunaan dana otsus belum optimal. Akibatnya, Papua semakin tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain, terutama dari wilayah barat Indonesia.

Sumber daya manusia

Akhir tahun lalu, Menteri Dalam Negeri pun menilai otsus belum membuat pembangunan di Papua dan Papua Barat menjadi optimal (Kompas, 27/12/2014). Salah satu sebab ialah kurangnya kapasitas penyelenggara kebijakan pembangunan, yang berdampak pada belum sinkronnya kebijakan pusat dan daerah.

Meski bukan hal yang baru, pernyataan Presiden dan Menteri Dalam Negeri tersebut menegaskan adanya persoalan kompleks yang menyandera pembangunan Papua. Tidak hanya pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan manusianya.

Berbagai persoalan tersebut membuat ketimpangan kesejahteraan masyarakat, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, tergolong paling buruk di Indonesia. Indeks gini, yang merepresentasikan ketimpangan kesejahteraan, di kedua provinsi terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Tahun 2013, Indeks gini Papua dan Papua Barat tercatat masing-masing sebesar 0,442 dan 0,431.

Dalam peta yang membandingkan output pembangunan wilayah, terutama Provinsi Papua, hampir selalu tergambar ”merah”, yang berarti masuk kategori tertinggal. Mulai dari ukuran stabilitas ekonomi, standar hidup layak, hingga pembangunan manusia, Papua masih tertinggal dari wilayah lain.

Padahal, dari sejumlah faktor input, Papua sudah lebih baik dari rata-rata nasional. Misalnya, dalam bidang pendidikan, persentase penduduk Papua yang mengenyam pendidikan tinggi (diploma IV hingga doktoral) tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan nasional.

Dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2013, 6,6 persen penduduk Papua Barat dan 4,2 persen penduduk Papua berpendidikan minimal diploma IV. Rata-rata nasional 4,1 persen.

Dalam hal sumber daya alam, Papua bisa disebut sebagai ”gudang” kekayaan alam Indonesia. Wilayah paling timur Indonesia ini memiliki lahan subur untuk produksi berbagai macam tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan. Potensi perikanan laut pun kaya akan keanekaragaman ikan. Di perut bumi Papua terkandung beraneka jenis tambang, seperti minyak, gas alam, tembaga, dan emas.

Kini, seluruh prasyarat dasar untuk membangun telah tersedia, mulai dari sumber daya alam dan manusia hingga kewenangan dan dana khusus. Hanya saja ketidakstabilan politik, keamanan, dan sosial membuat pembangunan Papua tersandera.

Di sini, peran Joko Widodo dalam meredam konflik di Papua diuji. Kita tunggu saja apakah ”efek Jokowi” benar-benar efektif atau tidak....

(Litbang Kompas)