KEARIFAN lokal dan semangat gotong royong menjadi salah satu modal sosial yang layak dipertahankan dalam sistem sosial masyarakat desa. Modal sosial itu dinilai penting guna menahan derasnya arus modernisasi dan kapitalisasi di tengah upaya mempercepat kemajuan ekonomi desa.

Sementara ketersediaan fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, infrastruktur jalan, dan penyediaan lapangan kerja di desa menjadi isu utama yang harus diprioritaskan pemerintah dalam memajukan desa.

Kesimpulan itu terangkum dalam jajak pendapat Kompas pekan lalu tentang kondisi pembangunan desa menjelang pemberian dana untuk pembangunan desa. Nilai kearifan lokal, sikap gotong royong, dan kehidupan masyarakat pertanian merupakan pilar-pilar modal sosial yang selama ini menopang pemberdayaan masyarakat di desa.

Kebersamaan semacam itu dinilai masih menjadi fondasi kokoh bagi proses pembangunan desa. Nilai kebersamaan dalam bentuk gotong royong di pedesaan diyakini mayoritas responden (78,2 persen) masih ada di pedesaan Tanah Air. Bermodal kuatnya ikatan antarwarga, desa berpotensi mengoptimalkan produk utamanya yang juga bagian dari kearifan lokal, yaitu usaha pertanian.

Lebih dari separuh publik jajak pendapat menilai kondisi pertanian di desa kini sebenarnya masih memadai. Sebanyak 67,6 persen responden mengidentikkan desa dengan persawahan atau agraris. Dalam pola pandang responden perkotaan, desa berperan menopang kebutuhan pangan wilayah perkotaan.

Kekhasan wilayah pertanian di desa juga menjadi salah satu nilai kearifan lokal yang sangat jarang ditemui lagi di perkotaan. Selama ini desa dikenal sebagai lumbung beras bagi bangsa. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pengertian kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian. Presiden Joko Widodo bahkan mencanangkan, dalam tiga tahun ke depan Indonesia sudah harus mampu swasembada pangan sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengimpor beras.

Untuk bisa sampai ke titik itu, sejumlah permasalahan yang dihadapi wilayah pedesaan sepatutnya dibenahi terlebih dahulu. Moratorium alih fungsi (konversi ) lahan sawah menjadi hunian atau rumah di kawasan pinggiran, pembukaan sawah baru, dan pemberdayaan masyarakat tani melalui penyelesaian persoalan struktural semestinya dilakukan secara simultan.

Dana desa

Itikad pemerintahan Joko Widodo memajukan pedesaan tecermin dalam pembentukan kementerian yang khusus menangani pedesaan, yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Publik berharap banyak terhadap format politik ini dalam memberdayakan desa. Dua dari tiga responden meyakini efektivitas langkah pemerintah itu.

Pemerintah memastikan alokasi anggaran dalam jumlah besar untuk pemberdayaan desa-desa di Indonesia. Pada 2015, untuk sekitar 73.000 desa di seluruh Indonesia, akan dikucurkan dana Rp 9,01 triliun dengan perhitungan setiap desa memperoleh Rp 750 juta. Dana itu ditujukan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang melingkupi wilayah setiap desa.

Sebagian publik yakin aparat desa mampu mengelola dana itu demi kemajuan desa. Namun, sebagian lainnya meragukan itu. Keraguan ini wajar mengingat belum ada mekanisme kontrol terhadap pengalokasian dana itu. Terlebih, umumnya mekanisme sosial masyarakat desa cenderung patronistis, menaruh kepercayaan besar kepada tokoh-tokoh setempat. Tanpa bermaksud menghakimi, dalam beberapa kondisi, sikap itu membuka kans manipulasi anggaran.

Dalam konteks pemilihan kepala desa secara langsung, diperlukan monitoring yang ketat terhadap dana desa agar dana tidak disalahgunakan kandidat ataupun pejabat petahana kepala desa saat pemilihan langsung kepala desa. Meski demikian, mayoritas responden (86,5 persen) lebih setuju mekanisme pemilihan kepala desa tetap dipilih secara langsung.

Problem desa

Problem-problem desa secara faktual juga dipandang publik masih berkutat kepada hal-hal yang elementer. Kondisi pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur adalah tantangan riil yang menjadi kondisi umum di banyak kawasan pedesaan.

Fasilitas pendidikan, mulai dari gedung sekolah, penyediaan buku, alat tulis, hingga kualitas guru di desa, dinilai oleh 60 persen responden belum memadai.

Juga soal pelayanan kesehatan. Lebih dari separuh publik berpandangan pelayanan medis bagi warga desa belum memadai. Pemerintah perlu mengalkulasi ulang rasio dokter, bidan, perawat, dan mantri kesehatan agar proporsional dengan jumlah penduduk di pedesaan. Keterbatasan peralatan kesehatan di desa pun seyogianya segera diatasi oleh pemerintah demi percepatan kemajuan desa.

Penyediaan lapangan kerja di pedesaan turut memperpelik problem desa. Mayoritas publik jajak pendapat ini menilai, penyediaan lapangan pekerjaan di desa belum memadai. Di sisi lain, pembangunan desa yang saat ini berjalan diyakini tiga perempat responden belum mampu menahan laju urbanisasi dari desa ke kota. Menjadi petani di desa semakin tidak menarik dan tidak menguntungkan dibandingkan menjadi buruh pabrik, pedagang kaki lima, atau bahkan tenaga kerja Indonesia (TKI).

Kepercayaan publik sepatutnya tidak disia-siakan aparat pemerintah. Pembangunan desa dengan memberdayakan kearifan lokal akan menjadi percepatan tercapainya kemajuan desa. Jika desa siap menjadi salah satu pilar pembangunan masyarakat, swasembada pangan menjadi keniscayaan. (TOPAN YUNIARTO/LITBANG KOMPAS)