Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Media Indonesia) Nafsu Berkuasa di UU Pilkada

12/12/2018



TAKTIK tersembunyi di dalam perubahan UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada mulai terungkap ke permukaan, mulai politik uang setengah hati, cara-cara jitu untuk menjegal calon perseorangan, hingga pemangkasan kemandirian KPU.

Kini, ada satu lagi ketentuan yang menjadi kekhawatiran para akademisi dan penggiat pemilu, yakni penarikan pelaksanaan pilkada serentak nasional dari semula pada 2027 menjadi 2024 yang tercantum di pasal 201 ayat 8.

Masalah kemudian timbul ketika di tahun yang sama juga dilaksanakan penyelenggaraan pemilu presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).

Artinya dalam satu tahun terdapat tiga pemilihan sekaligus secara nasional, dimulai pilpres dan pileg pada April, pilpres putaran kedua pada Juni/Juli, hingga pilkada serentak yang diselenggarakan pada November.

Dampak pemilihan yang terlalu 'dipaksakan' itu beragam, misalnya, banyaknya pejabat yang mengisi kekosongan posisi kepala daerah yang selesai pada 2022 dan 2023 saat pejabat mengisi kekosongan hingga 2 tahun.

Padahal, sesuai dengan Pasal 132A PP 49/2008, pejabat tidak bisa mengambil keputusan yang strategis, di antaranya melakukan mutasi pegawai dan mengeluarkan izin, kecuali atas izin Menteri Dalam Negeri.

Itu artinya, pemilu borongan itu juga bakal menyulitkan KPU dalam membuat jadwal karena ruang konsolidasi dan persiapan bagi KPU sangat sempit sehingga rawan terjadi kesalahan teknis yang masif.

Belum lagi tingkat partisipasi aspek pemilih yang dalam pemilu biasa saja terus menurun.

Dengan tiga pemilu dalam satu tahun, hal itu bakal membuat pemilih semakin jenuh dan berpotensi membuat tingkat partisipasi anjlok.

Contoh-contoh itu yang menunjukkan banyak kecacatan jika pilkada diadakan pada 2024 tampaknya hanya dipandang sebelah mata.

Padahal, berbagai diskusi dan masukan telah disampaikan para pegiat pemilu dan akademisi kepada pemerintah dan DPR dalam rencana kodifikasi UU Pemilu.

Namun, usulan mereka hanya dianggap angin lalu. Dengan adanya perubahan UU Pilkada tersebut, rencana kodifikasi untuk memisahkan pemilu nasional (pilpres+DPR dan DPD) dan pemilu lokal (pilkada+DPRD) menjadi berantakan.

Tidak ada lagi penguatan sistem presidensial dan ruang evaluasi kepada pemerintah.

Berbahaya

Terlepas dari banyaknya catatan, terdapat satu poin krusial yang sangat berbahaya jika pilkada tetap dilaksanakan pada tahun yang sama, yakni rezim politik tertentu yang dapat menguasai pemerintahan dari pusat hingga daerah.

Memang masih terlalu dini jika kita menilai hal itu.

Namun, jika belajar dari pileg dan pilpres yang berkorelasi, analisis itu sulit untuk ditampik.

Kita ambil contoh Partai Demokrat dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 dan PDI Perjuangan dengan Jokowi pada 2014.

Tingkat keterpilihan kepala daerah dari parpol atau presiden yang menjadi pemenang sangat besar.

Kondisi ala Orde Baru yang hendak dibangkitkan mirip ketika kepala-kepala daerah saat itu berkuasa atas izin Presiden Soeharto.

Adanya penilaian yang demikian tidak dapat dikesampingkan. Upaya-upaya layaknya teori hegemoni Antonio Gramsci terus dilakukan demi sebuah dominasi.

Pengaruh ideologi dan politik coba diciptakan.

Apa yang dikatakan Gramsci sebagai intellectual organic terlihat dalam arah politik Pilkada 2024, yakni sekelompok orang yang menentukan arah politik guna sebuah dominasi kekuasaan.

Inilah demokrasi yang kita puja saat rakyat hanya menjadi penghamba.

Apakah ini yang kita damba ketika undang-undang hanya direkayasa wakil rakyat kita demi pemuas nafsu berkuasa?