Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(MetrotvNews) Fitra Tuding Ada Barter dalam Revisi UU KPK

12/12/2018



Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) curiga ada kesepakatan kepentingan pihak tertentu dalam Revisi Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Undang Undang (RUU) Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
 
Sekjen Fitra Yenni Sucipto mengatakan, Pemerintah membawa kepentingan dalam revisi UU KPK dan DPR membawa kepentingan RUU Tax Amnesty.
 
Dia menjelaskan, dalam revisi UU KPK terdapat klausul bahwa penyelenggara negara tidak bisa dikenakan saksi pidana karena urusan administrasi. Yenni khawatir revisi UU KPK bisa memuluskan jalan koruptor untuk memakan uang rakyat dari pembangunan infrastruktur.
 
"Menurut Fitra, infrastruktur itu banyak dikelola di kementerian dan lembaga. RUU KPK bisa melindungi elit-elit itu. Jadi, model seperti Damayanti itu tidak bisa dipidanakan karena soal administrasi. Itu yang menurut kita ada barter antara revisi UU KPK dengan RUU Tax Amnesty," kata Yenni di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/3/2016).
 
Soal RUU Tax Amnesty, menurutnya bukan pengampunan pajak, melainkan pengampunan bagi pengemplang pajak. Dana pembangunan infrastruktur yang digelontorkan pemerintah sebanyak Rp313,5 triliun membutuhkan banyak pemodal atau investor untuk merealisasikan keinginan pemerintah.
 
Sayangnya, persentase kontribusi pembangunan yang banyak melibatkan investor itu tidak akan memberi dampak besar pada pendapatan negara. Kalkulasi Yenni, masuknya investor di infrastruktur hanya memberikan perlindungan terhadap pengemplang pajak dan hanya berkontribusi bagi pemasukan negara sebesar 1-3 persen.
 
"Saya contohkan, seperti pembangunan kereta cepat yang sudah jelas kontribusinya pada negara tidak ada, ternyata tujuannya (pembangunan kereta cepat) adalah pembangunan properti-properti (di sekitar jalur kereta cepat). Makanya Tax Amnesty itu dimunculkan dalam APBN 2016," kata Yenni.

 
Sekjen Fitra Yenni Sucipto mengatakan, Pemerintah membawa kepentingan dalam revisi UU KPK dan DPR membawa kepentingan RUU Tax Amnesty.
 
Dia menjelaskan, dalam revisi UU KPK terdapat klausul bahwa penyelenggara negara tidak bisa dikenakan saksi pidana karena urusan administrasi. Yenni khawatir revisi UU KPK bisa memuluskan jalan koruptor untuk memakan uang rakyat dari pembangunan infrastruktur.
 
"Menurut Fitra, infrastruktur itu banyak dikelola di kementerian dan lembaga. RUU KPK bisa melindungi elit-elit itu. Jadi, model seperti Damayanti itu tidak bisa dipidanakan karena soal administrasi. Itu yang menurut kita ada barter antara revisi UU KPK dengan RUU Tax Amnesty," kata Yenni di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/3/2016).
 
Soal RUU Tax Amnesty, menurutnya bukan pengampunan pajak, melainkan pengampunan bagi pengemplang pajak. Dana pembangunan infrastruktur yang digelontorkan pemerintah sebanyak Rp313,5 triliun membutuhkan banyak pemodal atau investor untuk merealisasikan keinginan pemerintah.
 
Sayangnya, persentase kontribusi pembangunan yang banyak melibatkan investor itu tidak akan memberi dampak besar pada pendapatan negara. Kalkulasi Yenni, masuknya investor di infrastruktur hanya memberikan perlindungan terhadap pengemplang pajak dan hanya berkontribusi bagi pemasukan negara sebesar 1-3 persen.
 
"Saya contohkan, seperti pembangunan kereta cepat yang sudah jelas kontribusinya pada negara tidak ada, ternyata tujuannya (pembangunan kereta cepat) adalah pembangunan properti-properti (di sekitar jalur kereta cepat). Makanya Tax Amnesty itu dimunculkan dalam APBN 2016," kata Yenni.
Metrotvnews.com, Jakarta: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) curiga ada kesepakatan kepentingan pihak tertentu dalam Revisi Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Undang Undang (RUU) Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
 
Sekjen Fitra Yenni Sucipto mengatakan, Pemerintah membawa kepentingan dalam revisi UU KPK dan DPR membawa kepentingan RUU Tax Amnesty.
 
Dia menjelaskan, dalam revisi UU KPK terdapat klausul bahwa penyelenggara negara tidak bisa dikenakan saksi pidana karena urusan administrasi. Yenni khawatir revisi UU KPK bisa memuluskan jalan koruptor untuk memakan uang rakyat dari pembangunan infrastruktur.
 
"Menurut Fitra, infrastruktur itu banyak dikelola di kementerian dan lembaga. RUU KPK bisa melindungi elit-elit itu. Jadi, model seperti Damayanti itu tidak bisa dipidanakan karena soal administrasi. Itu yang menurut kita ada barter antara revisi UU KPK dengan RUU Tax Amnesty," kata Yenni di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/3/2016).
 
Soal RUU Tax Amnesty, menurutnya bukan pengampunan pajak, melainkan pengampunan bagi pengemplang pajak. Dana pembangunan infrastruktur yang digelontorkan pemerintah sebanyak Rp313,5 triliun membutuhkan banyak pemodal atau investor untuk merealisasikan keinginan pemerintah.
 
Sayangnya, persentase kontribusi pembangunan yang banyak melibatkan investor itu tidak akan memberi dampak besar pada pendapatan negara. Kalkulasi Yenni, masuknya investor di infrastruktur hanya memberikan perlindungan terhadap pengemplang pajak dan hanya berkontribusi bagi pemasukan negara sebesar 1-3 persen.
 
"Saya contohkan, seperti pembangunan kereta cepat yang sudah jelas kontribusinya pada negara tidak ada, ternyata tujuannya (pembangunan kereta cepat) adalah pembangunan properti-properti (di sekitar jalur kereta cepat). Makanya Tax Amnesty itu dimunculkan dalam APBN 2016," kata Yenni.
Metrotvnews.com, Jakarta: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) curiga ada kesepakatan kepentingan pihak tertentu dalam Revisi Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Undang Undang (RUU) Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
 
Sekjen Fitra Yenni Sucipto mengatakan, Pemerintah membawa kepentingan dalam revisi UU KPK dan DPR membawa kepentingan RUU Tax Amnesty.
 
Dia menjelaskan, dalam revisi UU KPK terdapat klausul bahwa penyelenggara negara tidak bisa dikenakan saksi pidana karena urusan administrasi. Yenni khawatir revisi UU KPK bisa memuluskan jalan koruptor untuk memakan uang rakyat dari pembangunan infrastruktur.
 
"Menurut Fitra, infrastruktur itu banyak dikelola di kementerian dan lembaga. RUU KPK bisa melindungi elit-elit itu. Jadi, model seperti Damayanti itu tidak bisa dipidanakan karena soal administrasi. Itu yang menurut kita ada barter antara revisi UU KPK dengan RUU Tax Amnesty," kata Yenni di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/3/2016).
 
Soal RUU Tax Amnesty, menurutnya bukan pengampunan pajak, melainkan pengampunan bagi pengemplang pajak. Dana pembangunan infrastruktur yang digelontorkan pemerintah sebanyak Rp313,5 triliun membutuhkan banyak pemodal atau investor untuk merealisasikan keinginan pemerintah.
 
Sayangnya, persentase kontribusi pembangunan yang banyak melibatkan investor itu tidak akan memberi dampak besar pada pendapatan negara. Kalkulasi Yenni, masuknya investor di infrastruktur hanya memberikan perlindungan terhadap pengemplang pajak dan hanya berkontribusi bagi pemasukan negara sebesar 1-3 persen.
 
"Saya contohkan, seperti pembangunan kereta cepat yang sudah jelas kontribusinya pada negara tidak ada, ternyata tujuannya (pembangunan kereta cepat) adalah pembangunan properti-properti (di sekitar jalur kereta cepat). Makanya Tax Amnesty itu dimunculkan dalam APBN 2016," kata Yenni.
Metrotvnews.com, Jakarta: Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) curiga ada kesepakatan kepentingan pihak tertentu dalam Revisi Undang Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Rancangan Undang Undang (RUU) Tax Amnesty (Pengampunan Pajak).
 
Sekjen Fitra Yenni Sucipto mengatakan, Pemerintah membawa kepentingan dalam revisi UU KPK dan DPR membawa kepentingan RUU Tax Amnesty.
 
Dia menjelaskan, dalam revisi UU KPK terdapat klausul bahwa penyelenggara negara tidak bisa dikenakan saksi pidana karena urusan administrasi. Yenni khawatir revisi UU KPK bisa memuluskan jalan koruptor untuk memakan uang rakyat dari pembangunan infrastruktur.
 
"Menurut Fitra, infrastruktur itu banyak dikelola di kementerian dan lembaga. RUU KPK bisa melindungi elit-elit itu. Jadi, model seperti Damayanti itu tidak bisa dipidanakan karena soal administrasi. Itu yang menurut kita ada barter antara revisi UU KPK dengan RUU Tax Amnesty," kata Yenni di Bakoel Koffie, Jalan Cikini Raya, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (6/3/2016).
 
Soal RUU Tax Amnesty, menurutnya bukan pengampunan pajak, melainkan pengampunan bagi pengemplang pajak. Dana pembangunan infrastruktur yang digelontorkan pemerintah sebanyak Rp313,5 triliun membutuhkan banyak pemodal atau investor untuk merealisasikan keinginan pemerintah.
 
Sayangnya, persentase kontribusi pembangunan yang banyak melibatkan investor itu tidak akan memberi dampak besar pada pendapatan negara. Kalkulasi Yenni, masuknya investor di infrastruktur hanya memberikan perlindungan terhadap pengemplang pajak dan hanya berkontribusi bagi pemasukan negara sebesar 1-3 persen.
 
"Saya contohkan, seperti pembangunan kereta cepat yang sudah jelas kontribusinya pada negara tidak ada, ternyata tujuannya (pembangunan kereta cepat) adalah pembangunan properti-properti (di sekitar jalur kereta cepat). Makanya Tax Amnesty itu dimunculkan dalam APBN 2016," kata Yenni.