Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Republika) Lika-Liku Seorang Tenaga Ahli DPR

12/12/2018



Seorang tenaga ahli anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menelepon. "Oke. Saya saja, tapi ada syaratnya. Jangan tulis nama asli saya dalam tulisan." Dengan mengungkap beragam alasan, suara agak serak pemuda di ujung seluler ketika itu meminta bertemu di sebuah coffee shop di sekitaran Manggarai, Jakarta Selatan. Jumat (12/2) malam.

Tiba di tempat, waktu sudah pukul 21.05 WIB. Pemuda tenaga ahli ini (sebut saja namanya Awe), sudah menunggu. Dia hanya memakai celana pendek dengan kaus oblong merah hati. Kacamatanya tebal, macam kutu buku. Padahal, dirinya tak terlalu suka dengan bacaan. Tapi, pekerjaan barunya memaksanya untuk selalu memelototi informasi dan catatan-catatan rapat legislator.

Awe mengaku asyik dengan pekerjaan barunya. Yakni sebagai tenaga ahli anggota DPR RI. Bosnya adalah salah satu anggota di Komisi VIII. satu dari 11 kamar legislatif yang mengurusi tiga permasalahan negara, yaitu keagamaan, sosial, dan pemberdayaan perempuan. Komisi VIII bermitra kerja dan juga pengawas bagi tiga kementerian serta empat badan setingkat kementerian.

Pekerjaan Awe sebagai tenaga ahli terbilang belia. Sejak lama dirinya mencari jalur ke dalam pekerjaan tersebut. Namun, pekerjaan itu baru didapat pada Oktober 20U. Caranya, menurut dia. pun gampang, cuma bermodal pertemanan.

Lulusan perguruan tinggi Islam di Yogyakarta ini kenal dengan satu pembesar di Partai Golkar. Perkenalannya dengan petinggi partai itu lewat organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

Buah perkenalan membawa untung. Awe direkomendasikan untuk menjadi satu dari dua tenaga ahli anggota dewan. Padahal, dirinya belum sekali pun pernah mendengar nama, apalagi bertatap wajah dengan calon bosnya.

Akan tetapi, pengaruh pembesar partai soal ketersediaan tenaga ahli para legislator sangat dominan. Itu terjadi pada dirinya.

Awe menerangkan, untuk tenaga ahli anggota dewan di Fraksi Golkar, ketersediaannya harus datang dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar. Rekomendasi itu terselip di balik riwayat hidup ketika Awe datang ke ruang kerja calon bosnya di lantai 13 Gedung Parlemen. Tapi, segala gelar dan ijazah miliknya tak begitu penting, hanya sekadar formalitas. "Rekomendasi itu yang paling penting," ujar dia. Sebab, dikatakan dia, sebagai anggota Fraksi Partai Golkar, bosnya tak akan berani menolak rekomendasi tersebut.

Justru sebaliknya. Awe mengungkapkan, dengan adanya rekomendasi dari pembesar partai tersebut, bosnya akan senang. Sebab, ia dipercaya "pembesar" untuk menitipkan seseorang agar dijadikan tenaga ahli

Selanjutnya, tanpa basa-basibosnya mencatat namanya dalam selembar surat resmi untuk dilempar ke Kesekretariatan Jenderal (Kesekjenan) DPR. Surat tersebut dimaksudkan agar Kesekjenan DPR RI mengeluarkan surat keputusan (SK) pengangkatan tenaga ahli.

Perlu dicatat, kata dia. dalam (JU MD3, Kesekjenan DPR tak berwenang merekrut, palagi menolak tenaga ahli pilihan para anggota dewan. Sebab, dalam undang-undang nomor 17/20U itu. Tugas Kesekjenan hanya sebatas mengeluarkan SK dan menggaji para tenaga ahli. Pemilihan dan penunjukan tenaga ahli sepenuhnya mutlak dari para anggota dewan.

Hanya, diterangkan Awe, UU MD3 melarang penunjukan tenaga ahli dari garis keturunan. Meskipun, dalam praktiknya, aturan tersebut, gampang dikibuli. Caranya dengan melakukan perekrutan tenaga ahli dengan sistem penunjukan silang.

Contohnya, diterangkan Awe, anak atau bisa jadi keponakan dari anggota dewan A menjadi tenaga ahli anggota dewan B atau C. Begitu sebaliknya.

Beberapa hari menunggu. SK Kesekjenan DPR pun dikeluarkan. SK itu terdiri atas dua surat. SK pertama menerangkan masa dinas yang lamanya satu periode alias lima tahun. SK kedua berisi ketentuan pengupahan yang sewaktu-waktu berubah jika terjadi penyesuaian penggajian. Soal gaji, diungkapkan Awe, dirinya dibanderol Rp 7,5 juta per bulan dan dibayarkan ketika bulan baru, tanpa sekali pun telat.

Sebenarnya, diungkapkan dia, upah per Januari 2015 semestinya Rp 9,5 sampai Rp 10 juta per bulan. tapi urung. Ini karena terganjal aturan baru, yaitu adanya rencana penambahan tenaga ahli untuk setiap anggota dewan.

Tambah anggaran

Paripurna ke-19 DPR RI. Jumat (13/2). mengesahkan APBN Perubahan 2015 sebesar Rp 1 984 triliun. Dari sebagian jumlah tersebut, Rp 1.6 triliun di antaranya anggaran baru pengajuan DPR sendiri.

Padahal, dalam tahun anggaran 20U/2015. lembaga legislatif tersebut sudah punya alokasi belanja sebesar Rp 3,9 triliun.

Ketua Badan Anggaran IBanggar) DPR Ahmad Noor Supit menerangkan pada Jumat (13/2). penambahan anggaran tersebut menjawab desakan untuk penguatan fungsi DPR.

Yaitu, dengan cara membentuk rumah aspirasi di masing-masing daerah pemilihan (dapil) para legislator serta penambahan tenaga ahli masing-masing anggota dewan. Selama ini anggota OPR hariya punya dua tenaga ahli dan satu sekretaris.

Penambahan anggaran memungkinkan merekrut dua tenaga ahli baru untuk setiap legislator. Rekrutmen tenaga ahli itu bakal menggenapkan jumlah "para ahli" menjadi empat untuk setiap anggota dewan. Jika mengacu jumlah anggota DPR RI periode 20U-2019, jumlah tenaga ahli anggota lembaga legislatif sebanyak 560 dikalikan dua orang. Artinya, sebanyak 1.120 tenaga ahli.

Perekrutan tenaga ahli baru bakal membuat gedung DPR semakin penuh. Karena terbuka pintu bagi 1.120 para tenaga ahli baru.

Namun. Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menerangkan, Ahad (15/2). penambahan tenaga ahli bukan hanya untuk anggota DPR. melainkan juga untuk anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Anggota DPD periode sekarang berjumlah 132 anggota.

Itu artinya, jika ditotal. Gedung MPR RI bakal disesaki oleh 2.768 tenaga ahli. Taufik mengatakan, penambahan anggaran baru bukandiada-adakan. Justru untuk pelaksanaan UU MD3. Ia mengatakan, regulasi tentang MPR. DPR. dan DPD itu mengharuskan para anggota dewan punya rumah aspirasi di dapil masing-masing.

Fungsinya untuk meresap kebutuhan dan keluhan masyarakat agar tersampaikan dalam paripurna. Soal penambahan tenaga ahli, pun dikatakan Taufik, selaras dengan keberadaan rumah aspirasi. Menurutnya, dua tenaga ahli para legislator saat ini tentunya kurang. Sebab, para legislator tidak setiap hari nongkrong di dapil.

Karena itu, staf ahli dibutuhkan agar keluhan di dapil bisa diserap dalam rumah aspirasi untuk dikutip oleh tenaga ahli agar disampaikan kepada anggota dewan dan tersampaikan dalam paripurna. Jika mengacu para legislator di Kongres Amerika Serikat (AS), setiap anggota setidaknya punya belasan orang tenaga ahli. Sedangkan, anggota senator mempunyai lebih dari 25 tenaga ahli.

Itu mengapa, dikatakan Taufik, fungsi kamar legislasi di negara maju berimbang dengan kekuasaan para penyelenggara pemerintahan. Menurut dia. penambahan tenaga ahli tersebut pun sesuai dengan tingkat pekerjaan dan kebutuhan para anggota dewan.

Ia mengatakan, Kesekjenan DPR RI mempunyai syarat bagi para "pembantu" legislator, yaitu diharuskan berpendidikan sarjana.

Beberapa anggota dewan, dikatakan Taufik, bahkan merekrut tenaga ahli dengan pendidikan lebih tinggi ketimbang "majikannya". "Harus ada kompetensinya. Karena, harus disesuaikan dengan fungsi anggota Idewanl," kata Taufik. Syarat pendidikan tersebut, dinilai dia, sebagai bentuk ketidak-serampangan para legislator menunjuk para tenaga ahli.

Tak sesuai

Namun, kesaksian Awe soal pekerjaannya jauh dari penjelasan Ahmad dan Taufik tentang penguatan fungsi DPR RI. Ia mengatakan, soal kompetensi minimal para tenaga ahli legislator, semestinya mereka harus setara dengan peran anggota dewan di masing-masing komisi

Paling mudah adalah dengan melihat latar belakang pendidikannya, setidaknya pengalaman bekerja. Awe mencontohkan dirinya. Laki-laki berusia 29-an tahun ini hanya punya gelar sarjana Sastra Arab, tapi punya bos di komisi pembuat regulasi dan sekaligus pengawas pemerintah dalam bidang agama, sosial, dan pemberdayaan perempuan.

Awe mengakui, tak ada keterkaitan antara kompetensi pendidikan dan fungsinya sebagai tenaga ahli anggota DPR Komisi VIII. "Ada juga tenaga ahli yang beneran ahlinya, tapi kebanyakan sama saja. Kayak saya kasusnya. Lebih parah lagi malahan" ujar dia.

Menurut Awe. pengalaman menjadi tenaga ahli anggota DPR sama seperti penilaian masyarakat atas kinerja anggota dewan. "Makan gaji buta juga kadang-kadang," ungkap dia.

Sebagai contoh, pada masa reses anggota dewan kali ini tak ada rencana dari bosnya untuk bertandang ke dapil, mengutip keluhan dan kebutuhan masyarakat pemilih. Padahal sebagai tenaga ahli Awe wajib ikut ke daerah pemilihan. Selain itu, dalam beberapa kali sidang. Awe tak hadir menemani bosnya. Padahal, itu juga menjadi kewajibannya sebagai tenaga ahli.
Awe selalu hadir di teras Komisi VIII di lantai II Nusantara II untuk bergaul dengan wartawan dan para tenaga ahli lainnya.