Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Tempo.co) Revisi UU Anti-Terorisme, DPR Usul Dana Operasi Diaudit

12/12/2018



TEMPO.COJakarta - Panitia Khusus Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas mengenai revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengusulkan dibentuk dewan pengawas. Lembaga ini bertugas memonitor agar ada transparansi dalam penggunaan anggaran setiap operasi teroris.

"Penggunaan dana untuk terorisme ini tanggap darurat, seperti dana untuk bencana, sifatnya operatif sekali di lapangan," ucap Ketua Pansus Revisi UU Anti-Terorisme Muhammad Syafii di sela seminar nasional di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 25 Mei 2016.

Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya ini mengatakan pengawasan anggaran operasi teroris tersebut sekaligus berfungsi mencegah terjadinya gratifikasi. Ia mencontohkan peristiwa meninggalnya Siyono, warga Klaten, Jawa Tengah, yang dituduh sebagai teroris. Pria 33 tahun ini tewas saat dalam pengamanan Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI, Maret lalu.

Tak lama seusai peristiwa ini, keluarga Siyono membeberkan adanya pemberian uang Rp 100 juta dari Densus 88 kepada mereka. "Sempat ada keluhan Densus 88 kekurangan dana, tapi lalu ternyata mereka punya dana untuk ngasih uang Rp 100 juta kepada keluarga Siyono," ujar Syafii.

Syafii mempertanyakan asal dana tersebut serta landasan aturan dan nomenklatur dalam operasi penanganan teroris. "Bisa jadi ada yang menitip dana, dan ini sama bahayanya dengan terorisme itu sendiri," tuturnya.

Fakta itu menjadi dasar Syafii mengusulkan dibentuknya dewan pengawas tersebut yang sekaligus bertugas mengaudit dana operasi teroris sebagai wujud pelaksanaan transparansi anggaran. Tak hanya itu, kata dia, dewan pengawas juga dibutuhkan untuk mengawasi ketepatan operasi teroris serta memastikan tidak ada penyalahgunaan aturan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Menurut dia, keanggotaan dewan pengawas ini nantinya akan menggunakan sistem penjaringan, seperti yang diterapkan pada lembaga negara lain. "Jadi nanti terdiri atas pakar dan akademikus. Ya seperti Kompolnas itu. Tapi tentu jangan memble seperti yang sudah ada," ujarnya.