Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Beritagar.id) Nasib revisi UU ITE kini di tangan DPR

12/12/2018



Akhirnya. Naskah Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan UU ITE yang telah dipersiapkan selama setahun terakhir, sampai ke Senayan. Naskah RUU revisi tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang telah "memakan" puluhan korban ini, diserahkan kepada DPR RI pada Selasa (22/12/2015).

Melalui surat Presiden bernomor R-79/Pres/12/2015 tertanggal 21 Desember 2015 kepada Ketua DPR, Presiden Joko Widodo juga telah menugaskan Menteri Komunikasi dan Informatika, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan Revisi UU ITE bersama DPR.

Dalam rilis pers Kementerian Komunikasi dan Informatika (22/12), disebutkan bahwa Revisi UU ITE merupakan komitmen pemerintah dalam menanggapi aspirasi masyarakat. Selama ini publik menuntut perubahan terhadap sejumlah ketentuan yang berpotensi membelenggu kebebasan berpendapat melalui sistem elektronik.

"RUU ini telah dipersiapkan selama setahun terakhir dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat maupun unsur pemerintah yang berkepentingan dengan penerapan UU ITE," papar Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara.

Lebih lanjut Menkominfo menjelaskan, tujuan Revisi Undang-Undang No. 11/2008 ini untuk menghindari multi-tafsir terhadap penerapan Pasal 27 ayat (3) yang mengatur mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui sistem elektronik.

Materi utama revisi adalah pengurangan ancaman pidana pencemaran nama baik. "Pemerintah mengusulkan pengurangan ancaman pidana dari semula 6 (enam) tahun menjad 4 (empat) tahun, sehingga tidak perlu dilakukan penahanan," ujar Menkominfo.

Selain itu revisi juga dilakukan untuk menegaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) merupakan delik aduan, sehingga harus ada laporan atau aduan dari korban pencemaran nama baik. Delik aduan adalah delik yang hanya bisa diproses hukum apabila ada pengaduan atau laporan dari korban tindak pidana.

Hal penting lainnya, kata Rudiantara, revisi dilakukan juga terhadap ketentuan mengenai penggeledahan, penyitaan, penangkapan dan penahanan yang disesuaikan dengan proses yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dengan dikirimkannya naskah RUU Revisi UU ITE ke DPR RI, langkah berikutnya adalah Pemerintah menunggu undangan pembahasan bersama DPR, yang direncanakan mulai masa sidang Januari 2016.

Sebagai informasi, revisi UU ITE seharusnya merupakan salah satu dari 37 prioritas DPR pada 2015 menurut Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Pemerintah mengaku telah mengajukannya sejak Februari 2015 lalu.

Adapun UU kontroversial ini sudah lama jadi sasaran kritik netizen. Salah satu kasus terpopuler adalah saat Prita Mulyasari, seorang pasien menulis kritik kepada rumah sakit atas pelayanan yang diterimanya. Kritiknya dijawab dengan tuntutan atas pencemaran nama baik. Setelah melalui proses hukum selama hampir lima tahun, akhirnya kasus Prita yang didukung publik lewat gerakan Koin Peduli Prita, diputus bebas pada 2012.

Sejak diterbitkan pada 2008 hingga saat ini, puluhan orang lainnya juga jadi korban. Dilaporkan Viva.co.id, hingga 2011 rata-rata hanya ada dua kasus per tahunnya. Tetapi, pada 2012 meningkat jadi tujuh kasus. Kasusnya pun terus bertambah; 20 pada 2013, 41 pada 2014, dan 53 kasus pada 2015.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus A.T. Napitupulu, dalam tulisannya di Hukumpedia menjabarkan beberapa hal yang jadi perdebatan mengenai UU ITE, khususnya Pasal 27 (3). Salah satunya, rumusan ayat pada pasal tersebut tidak jelas mengatur apakah ini termasuk delik aduan atau bukan.

UU ITE ini sejatinya dibuat untuk mengatur perdagangan eletronik di internet. Namun menurut aktivis ICJR lainnya, Anggara Suwahju, UU ini juga mengatur hal-hal yang telah diatur KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Duplikasi pengaturan justru membuat masyarakat bingung, perbuatan mana yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan menurut hukum.