Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(BeritaKotaMakassar) Sosialisasi Rendah Pengaruhi Partisipasi Pemilih

12/12/2018



MAKASSAR, BKM–Sosialisasi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di 11 daerah yang menggelar Pilkada dinilai sangat rendah. Selain itu pembatasan sosialisasi yang dilakukan pasangan calon (paslon) semakin mengancam turunnya partisipasi pemilih 9 Desember nanti.

Untuk itu, sejumlah tim pemenangan dan lembaga atau pemerhati politik giat menggelar diskusi atau forum untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
Dosen politik UIN Alauddin Makassar, Dr Firdaus Muhammad memprediksi pemilih bisa menurun akibat kurangnya sosialisasi dari KPU. Pemasangan APK secara terbatas bahkan sebagian rusak tapi tidak terurus. Debat kandidat cukup menarik jadi tontonan, tetapi belum menjamin partisipasi meningkat. “KPU sangat terbebani dengan regulasi yang mengurangi aktivitas kandidat, terutama soal APK dan semacamnya. Kemungkinan masih banyak masyarakat masih asing dengan figur kandidat meski tahu Pilkada digelar 9 Desember mendatang,”ujar Firdaus, Kamis (5/11).

Hal sama dikemukakan dosen politik Universitas Bosowa 45, Dr Arief Wicaksono. “Menurut saya tingkat partisipasi pemilih di TPS akan ditentukan oleh seberapa besar aktifitas sosialisasi yang dilakukan. Disini, sosialisasi bermakna luas, dapat diartikan sebagai sosialisasi yang berasal dari tim pasangan calon, dan juga sosialisasi dari penyelenggara pilkada deperti KPU,”ujar Arief.

Tim pemenangan Tenri Olle-Hairil Muin di Gowa misalnya mengantisipasi minimnya sosialisasi oleh KPU Gowa, dengan cara bergerak massif untuk membantu KPU meningkatkan partisipasi pemilih dalam bentuk dialog atau diskusi. “Banyak cara yang kami lakukan, namun gerakan kami bersifat teknis sehingga program sosialisasi kami masih rahasiakan. Tapi kami yakin partisipasi pemilih di gowa diatas 80 persen,”ujar Djaya Jumain.
Direktur Eksekutif Celebes Research Center (CRC), Herman Hezer meminta agar model sosialisasi harus dirubah. “Saya kira partisipasi stabil diangka 70 persen seperti sebelumnya. Hanya saja sosialisasi tidak rendah, tapi modelnya yang berubah. Berdasarkan survei mayoritas masyarakat sudah tahu bahwa pilkada akan dilaksanakan di bulan Desember,”ujar Herman.

Sementara itu, Manager strategi pemenangan Jaringan Suara Indonesia (JSI), Andi Irfan Jaya juga hampir sependapat dengan Herman. “Saya kira kecil sekali korelasi antara minimnya ruang sosialisasi kandidat dengan partisipasi pemilih. Keterbatasan bersosialisasi korelasinya pada elektoral kandidat,”ujar Irfan. Menurutnya, tinggi rendahnya partisipasi pemilih dipengaruhi banyak hal, diantaranya pengetahuan masyarakat terkait waktu pemilihan. “Dalam hal ini saya kira tidak ada masalah. Penyelenggara pilkada sudah cukup aktif mensosialisasikan jadwal pemilihan. Bahkan sebagian publik sudah mengetahui bahwa di daerahnya akan ada pilkada. Faktor lainnya adalah, apatisme pemilih.

Bisa saja seseorang tidak pergi memilih karena rendahnya kepercayaaan terhadap kandidat yang berkompetisi. Mereka menganggap bahwa siapa pun yang terpilih, tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap kehidupannya. Dan faktor yang ke tiga adalah geografis. Di beberapa daerah, masyarakat enggan menggunakan hak pilihnya karena jarak TPS yang terlalu jauh dari tempat tinggalnya,”jelas Irfan.