Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(DetikNews) Pemerintah Wajibkan Biofuel 15%, Pengusaha Sawit: Kami Siap

12/12/2018



Jakarta -Pemerintah melalui Kementerian ESDM mulai Selasa (18/7/2015) lalu mewajibkan setiap solar yang dijual termasuk di SPBU, wajib dicampur dengan bahan bakar nabati (BBN) atau olahan dari Crude Palm Oil (CPO/minyak kelapa sawit) sebesar 15%, hal ini bertujuan untuk mengurangi impor solar.

"Energi fosil kita sudah mau habis. Padahal di Indonesia ini sangat besar potensi energi terbarukan. Daripada boros pakai minyak impor terus, lebih baik kita upayakan pakai sumber biofuel dalam negeri yang terbuat dari hasil perkebunan Indonesia," ujar Paulus Tjakrawan, Ketua Umum Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) kepada detikFinance di sela-sela pameran EBTKE ConEx 2015 di Jakarta Convention Center, Rabu (19/8/2015).

Paulus menjelaskan, pemanfaatan biofuel yang naik dari B-10 pada 2014 menjadi B-15 pada Agustus 2015 ini bisa mengurangi defisit energi Indonesia yang selama ini mengandalkan BBM. "Impor minyak sehari 800.000 barrel minyak. Kenapa nggak sebagian dari itu hasil dari Indonesia. Bioenergi yang jelas menghemat devisa dan mendukung ketahanan energi karena mengurangi impor sehingga kita ngga tergantung energi dari negara lain," terang Paulus.

Paulus mengungkapkan, sebanyak 20 dari 22 produsen yang tergabung dalam Aprobi sudah siap memasok biofuel untuk memenuhi campuran 15% ke solar. "Sebanyak 20 produsen anggota Aprobi siap. Sisanya 2 itu produsen bioethanol. Memang baru CPO yang siap karena ketersediaannya melimpah,"tambahnya.

Menurutnya, dengan meningkatnya pemanfaatan biofuel, petani sawit bisa turut merasakan keuntungannya. Berbeda dengan minyak yang diimpor dan hanya menguntungkan sekelompok importir.

Paulus mengatakan, anggotanya masih terus mengembangkan alternatif sumber BBN tidak hanya sawit. "Pasti akan ada yang dikembangkan. Ada jarak pagar, nyamplung dan kemiri sunan. Tapi kecil-kecil baru skala riset. Kalo sudah besar, rutin, ada di pasar tiap tahun baru oke bisa berkembang," jelasnya.

Paulus menceritakan perjalanan biofuel B-10 tahun 2014 lalu. "B-10 itu terpakai hampir 1,7 juta kiloliter salam satu tahun. Segitu itu artinya kalau dibarrelkan sebesar 10 juta barrel dalam setahun," jelasnya.
 
Penetapan aturan BBN 15% selain mengurangi ketergantungan BBM impor, juga menghemat devisa, membantu petani sawit hingga mengurangi emisi.

"Naiknya B-10 ke B-15 ini dampaknya banyak sekali. Data 2014 saja dengan B-10 bisa memberi manfaat ke 180.000 orang petani baik swadaya maupun plasma. Kalo perusahaan besar kan harus plasma 20%. Selain itu, bisa menghemat devisa yang dipakai untuk impor BBM karena hasil minyak sawit Indonesia besar dan 43% berasal dari petani," ungkap Paulus.

Paulus mengatakan, biofuel akan memberi efek domino tidak hanya ke petani sawit. "Dari petani, pekerja pabrik biofuel, pengemudi truk, seterusnya itu dapat dampak ekonomi," imbuhnya.

Selain itu, Paulus menjelaskan BBN lebih ramah lingkungan dan bisa mengurangi emisi. "Dibanding diesel kita bisa mengurangi 4,3 juta ton ekuivalen CO2 atau berkurang 7% dengan pakai biofuel," ujarnya.

Melimpahnya sumber biofuel dari kebun sawit di Indonesia pun menjadi harta karun potensi ekspor biofuel. "Tahun lalu kita punya potensi untuk ekspor 1,7 juta kiloliter dengan total produksi 3,4 juta kiloliter. Ekspor ke Eropa, Amerika, India, China. Hampir tiap negara di dunia pakai Biofuel. Malaysia juga sedang mempertimbangkan untuk B-15," tutupnya.