Berita Terkait
- (Rakyat Merdeka) DPR BOLEH INTERVENSI KASUS HUKUM
- (Tempo.co) Ini Proyek-proyek yang Disepakati Jokowi-PM Shinzo Abe
- (DetikNews) Besok Dirjen Pajak Panggil Google
- (Aktual.com) Sodorkan 4.000 Pulau ke Asing, Kenapa Pemerintah Tidak Menjaga Kedaulatan NKRI?
- (Aktual.com) Sodorkan 4.000 Pulau ke Asing, Kenapa Pemerintah Tidak Menjaga Kedaulatan NKRI?
- (Warta Ekonomi) Jonan Usulkan Kepada Kemenkeu Bea Ekspor Konsentrat 10 Persen
- (DetikNews) Ditjen Pajak: Tawaran Google dalam Negosiasi Tak Masuk Akal
- (DetikNews) Mendagri Tjahjo Kumolo Dorong Revisi UU Ormas
- (RiauPos) Undang-undang Parpol dan UU MD3 Mau Direvisi Lagi
- (ANTARA News) UU Terorisme dan UU ITE harus sinergis
- (Tempo.co) RUU Antiterorisme, Pemerintah Tambah Pasal Santunan
- (Media Indonesia) Setop Akal-akalan Studi Banding ke Luar Negeri
- (Media Indonesia) Rp2,7 M buat Kader Demokrat
- (JawaPos) ICW Berikan Rapor Merah Buat Jaksa Agung, Ini Datanya..
- (DetikNews) Butuh Rp 1-1,2 T agar TI Asian Games 2018 Samai Event di Incheon 2014
- (Tempo.co) Demo 4 November, Komisi III DPR Akan Bentuk Tim Pengawas
- (DetikNews) Polisi: Sebar Berita Hoax Bisa Dipidana UU ITE
- (DetikNews) Ratifikasi Perjanjian Paris, RI Akan Pangkas 29 Persen Emisi Gas Rumah Kaca
- (Tempo.co) Soal SP3, Komisi Hukum DPR Bakal Konfrontasi 3 Kapolda Riau
- (Tempo.co) Disahkan DPR, Ini Lima Kelemahan Revisi UU ITE
- (Bandung Express) Ada Keganjilan pada UU Pilkada Tentang Dana Kampanye
- (Tempo.co) Demokrat Keberatan SBY Diperiksa Jaksa soal Kematian Munir
- (DetikNews) DPR Sahkan RUU Persetujuan Paris tentang Perubahan Iklim jadi UU
- (Tempo.co) Propam Tangkap 85 Polisi Pungli, Polda Metro Terbanyak
- (Tempo.co) Pengamat Menilai Sistem Peradilan Hambat Investasi
Kategori Berita
- News
- RUU Pilkada 2014
- MPR
- FollowDPR
- AirAsia QZ8501
- BBM & ESDM
- Polri-KPK
- APBN
- Freeport
- Prolegnas
- Konflik Golkar Kubu Ical-Agung Laksono
- ISIS
- Rangkuman
- TVRI-RRI
- RUU Tembakau
- PSSI
- Luar Negeri
- Olah Raga
- Keuangan & Perbankan
- Sosial
- Teknologi
- Desa
- Otonomi Daerah
- Paripurna
- Kode Etik & Kehormatan
- Budaya Film Seni
- BUMN
- Pendidikan
- Hukum
- Kesehatan
- RUU Larangan Minuman Beralkohol
- Pilkada Serentak
- Lingkungan Hidup
- Pangan
- Infrastruktur
- Kehutanan
- Pemerintah
- Ekonomi
- Pertanian & Perkebunan
- Transportasi & Perhubungan
- Pariwisata
- Agraria & Tata Ruang
- Reformasi Birokrasi
- RUU Prolegnas Prioritas 2015
- Tenaga Kerja
- Perikanan & Kelautan
- Investasi
- Pertahanan & Ketahanan
- Intelijen
- Komunikasi & Informatika
- Kepemiluan
- Kepolisian & Keamanan
- Kejaksaan & Pengadilan
- Pekerjaan Umum
- Perumahan Rakyat
- Meteorologi
- Perdagangan
- Perindustrian & Standarisasi Nasional
- Koperasi & UKM
- Agama
- Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak
- Kependudukan & Demografi
- Ekonomi Kreatif
- Perpustakaan
- Kinerja DPR
- Infografis
Ekstradisi & Mutual Legal Assistance RI-Vietnam - Rapat Komisi 1 dengan Pakar Hukum Pidana & Hukum Internasional
Pada 31 Maret 2015 Komisi 1 mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kepala Divisi Hukum Kepolisian RI (Kadiv Hukum Polri), Pakar Hukum Internasional Professor Huala Adolf, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana Bondan; Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Ditjen Adm Hukum) Cahyo Rahadian Muzhar, terkait pembahasan seputar perjanjian ekstradisi dengan Vietnam.
Pemaparan Mitra
Berikut adalah beberapa pemaparan dari Kadiv Hukum Polri antara lain:
Proses permintaan bantuan harus meminta otoritas dari pusat.
Permintaan bantuan dapat ditolak jika mengancam keselamatan orang banyak.
Berikut adalah beberapa pemaparan dari Prof. Huar Adolf, pakar hukum internasional antara lain:
Perjanjian adalah instrumen dasar untuk satu negara dengan negara lain bekerjasama.
Mutual Legal Assistance (MLA) adalah salah satu bentuk instrumen yang berkembang sekarang
MLA akan menjadi dasar hukum tindak pidana dikemudian hari dengan negara lain.
Indonesia telah berkomitmen memerangi tindak pidana internasional.
Vietnam termasuk negara yang aktif melakukan perjanjian Mutual Legal Assistance (MLA) dan sudah ada 15 yang bekerja sama.
Perlu ditandatangani Perjanjian MLA antara Republik Indonesia dan Vietnam.
Berikut adalah beberapa pemaparan dari Prof.Ganjar Laksamana Bondan, pakar hukum pidana antara lain:
Kerjasama MLA ini harus menyasar kepada kejahatan internasional atau kejahatan luar biara
Jadi kita perlu memberi prioritas tentang kejahatan apa saja yang diselesaikan oleh perjanjian ini.
Semoga kerjasama ini tidak mengakibatkan Indonesia tidak dapat menyelesaikan permasalahan kita di luar negeri.
Dalam perjanjian MLA harus dimungkinkan untuk terjalinnya joint investigation (investigasi bersama).
Bahwa sistem hukum Indonesia berbeda, perlu adanya penyamaan persepsi mengenai alat bukti.
Kita harus melihat data mengenai besarnya lalu lintas kejahatan dengan Vietnam dan melakukan pemetaan mengenai kejahatan yang bersifat timbal balik.
Perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) tetap harus dipertahankan.
Penyelesaian perkara di luar negeri harus diseimbangi dengan penyelesaian perkara di Indonesia.
Pemantauan Rapat
Berikut respon dari fraksi-fraksi terhadap pemaparan dari para pakar hukum pidana dan hukum internasional:
Fraksi Golkar: Oleh Tantowi Yahya dari DKI 3 dan sebagai Wakil Ketua Komisi 1. Tantowi menilai kerjasama Indonesia dengan negara lain ada tiga hal pokok yang harus dipenuhi: kesetaraan, saling menghormati dan saling menguntungkan. Tantowi menilai narasumber yang hadir sepakat bahwa meratifikasi perjanjian MLA. Menurut Tantowi MLA adalah instrumen yang efektif untuk mendapatkan info mengenai terpidana yang lari ke luar negeri. MLA menjadi komplimenter terhadap perjanjian ekstradisi yang sudah disepakati.
Fraksi PAN: Oleh Alimin Abdullah dari Lampung 2. Sehubungan kedudukan hukum Indonesia dalam usulan ratifikasi MLA, Alimin menilai Indonesia tidak dianggap setara. Alimin sepakat dengan prinsip tiga hal pokok yang harus dipenuhi dalam menjajaki kerjasama dengan negara lain, yaitu kesetaraan, saling menghormati dan saling menguntungkan. Menurut Alimin usulan MLA tidak menguntungkan Indonesia jadi untuk apa disepakati.
Fraksi PKS: Oleh Gamari dari Jateng 3. Gamari minta klarifikasi dari para pakar hukum pidana dan hukum internasional, apakah ratifikasi dari MLA ini masih berguna jika terpidana sudah tidak ada di negara yang bersangkutan. Gamari juga minta klarifikasi apabila MLA sudah disetujui apakah kita bisa mengupayakan pulangnya terpidana yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
Gamari mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi jika Pemerintah menerima usulan Komisi 1 terkait MLA karena MoU sudah ditandatangani antara RI-Vietnam. Merubah satu katapun harus dibicarakan dengan pihak Vietnam.
Sukamta dari Yogyakarta. Sehubungan dengan usulan ratifikasi dari perjanjian MLA, Sukamta minta rincian latar belakangnya kepada para pakar hukum pidana dan hukum internasional. Sukamta juga minta klarifikasi apabila ada WNI yang bertindak kriminal umum di Vietnam apakah MLA ini akan menjangkaunya karena Sukamta prihatin tindakan kriminal tersebut bisa mencemarkan nama baik Indonesia.
Fraksi PPP: Oleh Achmad Dimyati Natakusumah dari DKI 3. Menurut Dimyati tidak ada UU yang bisa diubah, terutama yang terkait pidana dan perdata karena sudah punya ranahnya masing-masing. Menurut Dimyati Polisi Indonesia dapat bekerjasama dengan polisi di luar negeri (Interpol). Dimyati menilai Kemenkumham baiknya lebih fokus ke urusan pembinaan. Dimyati berharap Kemenkumham menjadi sentral legislasi hukum di Eksekutif, seperti Badan Legislasi (Baleg) di Legislatif.
Respon Mitra
Berikut adalah respon dari Ditjen Am Hukum menanggapi pertanyaan dan masukan dari para anggota Komisi 1:
Perjanjian Ekstradisi dan perjanjian MLA adalah dua hal yang berbeda.
Sebanyak apapun perjanjian ekstradisi tapi jika dipidana secara in absentia kedudukan hukumnya lemah dan tidak dianggap oleh negara tempat sembunyi buron.
Esensi MLA adalah memperketat ruang gerak tindak pidana.
Pengembalian aset adalah hal penting dari perjanjian MLA.
Pemerintah akan mengusulkan kembali agar DPR-RI meratifikasi MLA.
Respon ditujukan kepada Gamari: Samadikun Hartono adalah pemicu terbentuknya MLA antara RI-Vietnam.
Respon ditujukan kepada Sukamta: Syarat negara yang dimintai bantuan biasanya adalah perjanjian bilateral. Elemen antara kedua negara tidak harus sama untuk dimintai bantuan.
Berikut adalah respon dari pakar hukum pidana, Prof.Ganjar Laksamana Bondan:
MLA dan Ekstradisi mempunyai kedudukan yang sama.
Kita bukan semena-mena ke bandar narkoba yang Warga Negara Asing (WNA) (Bali Nine). Kita juga kejar WNI bandar narkoba yang kabur ke Vietnam.
Jika kita membahas isu ini kita harus mengacu pada hukum yang sistematis.
Hukum Indonesia tidak bisa menjangkau perbuatan yang dianggap bukan pidana bagi negara lain.
Hukum Indonesia bisa menjangkau perbuatan dimana di negara tempat ia melakukan juga dianggap pidana.
Perjanjian MLA dan Ekstradisi dibuat dalam rangka mencegah terpidana tidak dibiarkan keluar dari negara target MLA dan Ekstradisi.
Kita bisa permasalahkan negara yang membiarkan terpidana keluar dari negaranya setelah surat keluar.
Untuk membaca rangkaian livetweet Rapat Dengar Pendapat dengan pakar hukum pidana dan hukum internasional kunjungi http://bit.ly/kom1ekstradiksi.
wikidpr/fr