Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Dana Desa Berpotensi Dipangkas

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat diharapkan dapat mengawal pencairan dana desa dengan lebih ketat, termasuk dengan menetapkan kebijakan, salah satunya meningkatkan keterlibatan warga desa. Pasalnya, dana desa rawan dipangkas oleh sejumlah oknum dalam pemerintahan, terutama untuk membiayai kebutuhan jelang pelaksanaan pilkada serentak.

Tahun ini, pemerintah akan mengalokasikan dana untuk desa Rp 20,7 triliun. Dana tersebut kemudian akan disalurkan ke setiap desa melalui pemerintah kabupaten. Dengan pola penyaluran seperti itu, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai, kebocoran sangat mungkin terjadi. Bahkan, Fitra memprediksi kebocoran dana desa bisa mencapai 30 persen.

Manajer Advokasi dan Investigasi Sekretariat Nasional Fitra, Apung Widadi, Jumat (24/4), di Jakarta, mengatakan, berkaca dari penyaluran alokasi dana desa tahun sebelumnya, sebuah desa biasanya hanya menerima dana sekitar 50 persen dari total anggaran yang disalurkan oleh pemerintah pusat. Sementara lainnya terpangkas saat mengendap di kabupaten.

"Sebelum sampai ke desa, dana tersebut harus melewati proses verifikasi yang berbelit-belit. Di tahap inilah banyak dana desa yang dipangkas. Biasanya dana itu digunakan untuk belanja pegawai dan perimbangan di tingkat kabupaten," ujar Apung.

Hal serupa mungkin terjadi pada penyaluran dana desa tahun ini. Selain karena masih adanya ketimpangan anggaran di sejumlah desa, proses demokratisasi di daerah juga memicu kebocoran pencairan dana desa. 

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Beny Wijayanto, berpendapat, kebocoran dana desa sangat mungkin terjadi. Hal itu tak lepas dari kurangnya keterbukaan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan DPR, dalam proses pengelolaan anggaran.

Kurangnya transparansi anggaran ini membuat mayoritas masyarakat tidak mengetahui ke mana anggaran itu dialokasikan. Terbatasnya pengetahuan masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh mafia anggaran dengan memangkas sejumlah dana yang sudah diprogramkan. "Biasanya anggaran yang berhubungan dengan kepentingan publik, seperti dana otonomi daerah, bantuan sosial, termasuk juga dana desa, akan menjadi sasaran," ujarnya.

Menurut Beny, proses pembahasan yang dilakukan selama ini hanya sekadar menyepakati jumlah anggaran yang akan disalurkan tanpa tahu bagaimana membangun sistemnya. Sistem yang dimaksud terkait proses penyaluran, termasuk pertanggungjawaban yang jelas. 

Oleh karena itu, perlu kesadaran dari masyarakat untuk lebih peka terhadap pengelolaan anggaran, terutama yang terkait dengan publik, agar penyalurannya bisa tetap terpantau dengan baik. Di sisi lain, pemerintah harus menyediakan sistem dengan pengawasan jelas, baik untuk internal maupun publik, sehingga anggaran bisa tepat sasaran dan lebih transparan.(B12)