Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Kebijakan Populis Menjadi Penopang

12/12/2018



Harian Kompas - Kebijakan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyediakan layanan publik menuai dukungan dari masyarakat. Publik menilai positif kinerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial selama enam bulan terakhir, terutama dalam menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan.

Ketika kondisi ekonomi sebuah pemerintahan dinilai tidak memuaskan, umumnya akan diikuti dengan naiknya ketidakpuasan publik pada kinerja bidang kesejahteraan sosial. Namun, ada perbedaan untuk enam bulan periode pemerintahan Jokowi-Kalla. Angka penilaian pada bulan keenam ini tidak berbanding lurus dengan penilaian kinerja pemerintah di bidang ekonomi yang melorot.

Sebagaimana diulas pada tulisan evaluasi pemerintahan Jokowi-Kalla bidang ekonomi (Kompas, 29/4), hanya 25,4 persen responden yang menyatakan puas terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi. Hampir tiga perempat bagian responden menyatakan ketidakpuasannya.

Namun, hasil survei tatap muka yang dilakukan Litbang Kompas, pertengahan April lalu, mencatat, rata-rata tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang kesejahteraan sosial (kesos) justru mencapai 61,9 persen. Proporsi ini hampir sama dengan penilaian kinerja pemerintah pada triwulan pertama Januari 2015.

Jika ditelusuri lebih lanjut, kinerja pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan jadi penopang apresiasi positif oleh publik. Setidaknya dari dua kali survei, yaitu di era tiga bulan dan enam bulan pemerintahan, kedua bidang ini mendapatkan apresiasi yang relatif tinggi dengan rata-rata sebanyak 64 persen responden menyatakan puas pada kinerja pemerintah.

Sejumlah indikator yang berdekatan, yakni pemenuhan kebutuhan pokok sebagai isu di bidang ekonomi serta pemenuhan kebutuhan sosial, seperti pendidikan dan kesehatan, boleh jadi memicu sentimen publik yang sama pada kedua bidang ini. Bedanya, isu ekonomi dipenuhi oleh sentimen negatif berupa kenaikan tarif dan harga kebutuhan, sementara isu bidang pendidikan dan kesehatan justru sebaliknya, yaitu terjadi "penggratisan" oleh negara.

Jika dibandingkan dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, penilaian bidang kesos di enam bulan pertama pemerintahan Jokowi-Kalla lebih baik daripada pencapaian SBY-Kalla (2004-2009). Pada era SBY-Kalla, bidang kesos hanya diapresiasi 41,4 persen responden. Proporsi penilaian yang sama terjadi di enam bulan periode pemerintahan SBY-Boediono (2009-2014) saat tingkat kepuasan berkisar 45 persen.

Di sisi lain, patut dilihat bahwa relatif kuatnya penilaian atas kinerja kesos pemerintahan Jokowi-Kalla saat ini ditopang pula oleh kondisi sosial yang secara umum relatif aman dan terkendali. Akibatnya, ketidakpuasan terhadap sejumlah langkah hukum dan harga kebutuhan pokok belum membuat publik pupus harapan dan kepercayaan pada langkah-langkah pemerintah.

"Kartu sakti"

Sejumlah program kesejahteraan sosial pemerintah tampak menjadi tulang punggung tertahannya persepsi positif publik atas rezim pemerintahan ini. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat yang melahirkan program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) terbukti manjur.

Kesuksesan pelaksanaan program tiga "kartu sakti" ini menjadi tumpuan popularitas pemerintahan saat ini. Tidak salah jika program "kartu sakti" yang bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat menjadi wajah terdepan kehadiran negara dalam menjamin kelangsungan pendidikan dan jaminan kesehatan masyarakat. Mayoritas publik merasakan kehadiran negara dalam perspektif jaminan kesehatan dan pendidikan.

Tengok saja dalam hal kesehatan. Kini, ada kemudahan akses bagi warga miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan dengan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Program ini langsung populer di masyarakat karena memberikan jalan keluar atas persoalan biaya berobat bagi masyarakat, khususnya dari kalangan bawah. Data BPJS, 4.426.000 lembar KIS sudah terdistribusi bersamaan dengan KIP dan KKS hingga akhir 2014. Pada 2015, KIS yang didistribusikan direncanakan hingga 82 juta kartu.

Akses terhadap pelayanan pendidikan pun gencar dilakukan, salah satunya Program Keluarga Harapan yang digagas Kementerian Sosial. Program ini direncanakan menjamin subsidi pendidikan anak dari keluarga tidak mampu hingga lulus SMA/SMK/MA. Sebelumnya, program subsidi ini hanya menjamin anak keluarga miskin sampai lulus SMP.

Namun, ada kecenderungan layanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau belum mencakup seluruh wilayah Tanah Air. Sejumlah responden survei ini, terutama di wilayah Papua dan Maluku, cenderung belum mengapresiasi pelayanan kesehatan dan pendidikan karena memang belum merasakan perbedaannya.

Alfrina Tukayo (38), seorang responden di Desa Yoka, Distrik Heram, Jayapura, Papua, misalnya, mengeluhkan kondisi lapangan yang berbeda dengan sosialisasi terkait KIS, KIP, dan KKS. "Masih ada biaya untuk administrasi, padahal semestinya gratis," kata ibu tiga anak ini.

Hal yang sama terjadi pada penilaian terhadap kinerja pemerintah dalam melaksanakan wajib belajar 12 tahun di Papua. Terlepas dari kendala infrastruktur dan sumber daya manusia Papua, persepsi publik di Indonesia timur cenderung skeptis. Hampir separuh responden di Papua dan Maluku menyatakan tidak puas terhadap kinerja bidang kesos.

Nawacita

Diukur dari konsep sembilan program kerja prioritas pemerintahan Jokowi-Kalla atau Nawacita, sebagian besar responden menyatakan negara sudah makin hadir dalam memberikan pelayanan publik. Jika dibandingkan dari berbagai aspek kehadiran negara dalam melayani warganya, bidang pendidikan dan kesehatan menyumbang poin terbesar apresiasi responden. Apresiasi tertinggi tercatat di aspek fasilitas sekolah yang mudah dijangkau yang diakui hampir semua responden (89,5 persen).

Dimensi lain dari Nawacita yang banyak diapresiasi adalah terjaganya modal sosial dalam masyarakat berbentuk berkembangnya budaya gotong royong. Publik juga menilai, meski tidak sepenuhnya mulus, rasa persatuan di masyarakat juga relatif terjaga. Hal ini sesuai dengan catatan selama enam bulan terakhir yang tidak terjadi konflik sosial yang menonjol.

Meski demikian, dimensi kemandirian, khususnya kemandirian ekonomi, menjadi catatan tersendiri bagi pemerintahan Jokowi-Kalla. Dimensi ini tercatat paling rendah mendapatkan pengakuan responden dibandingkan dengan dimensi kehadiran negara dan dimensi revolusi mental. Hal ini terkait dengan persepsi masih rendahnya kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan pangan dan energi secara mandiri. Ke depan, isu kemandirian harus diwujudkan secara nyata oleh pemerintahan Jokowi-Kalla agar gagasan Nawacita dapat dirasakan seluruh masyarakat.

(LITBANG KOMPAS)