Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Kegaduhan Politik dan Keraguan Pasar

12/12/2018



Hiruk-pikuk politik dan kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi-Polri dua bulan terakhir sekilas belum terlampau direspons dunia usaha. Namun, jika kegaduhan politik ini terus dibiarkan, bisa muncul keraguan dari rakyat dan akhirnya kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla hilang.

Respons pasar terhadap faktor-faktor yang bisa menimbulkan sentimen positif atau negatif biasanya tecermin dari pergerakan kurs rupiah dan indeks saham di bursa. Sejak KPK menetapkan Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka korupsi pada 13 Januari lalu hingga Presiden Jokowi menyatakan tidak akan melantik BG sebagai Kepala Polri pada 18 Februari, kisruh KPK-Polri ternyata belum menjadi sentimen yang memengaruhi pergerakan kurs dan indeks saham.

Saat BG dijadikan tersangka, misalnya, kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia bergerak dalam kisaran normal. Bahkan, pergerakan kurs dan IHSG bertentangan, yang menandakan investor tidak terlalu merespons peristiwa tersebut. Biasanya, kurs rupiah akan langsung menguat terhadap dollar AS diikuti kenaikan IHSG begitu ada faktor yang menjadi sentimen positif.

Ketika penyidik Badan Reserse Kriminal Polri menangkap Wakil Ketua KPK (nonaktif) Bambang Widjojanto pada 23 Januari lalu, kurs rupiah dan IHSG juga tidak bereaksi. Bahkan, pada hari itu IHSG menguat 70,7 poin.

Begitu pula dengan peristiwa lain, seperti Rapat Paripurna DPR yang menyetujui BG sebagai Kepala Polri terpilih pada 15 Januari dan pembentukan Tim Sembilan yang diketuai Ahmad Syafii Maarif untuk memberikan masukan kepada Presiden Jokowi pada 26 Januari.

Penetapan Ketua KPK (nonaktif) Abraham Samad sebagai tersangka pemalsuan dokumen juga tidak mengguncang pasar.

Ketika hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, pada 16 Februari lalu mengabulkan sebagian permohonan praperadilan BG terkait penetapannya sebagai tersangka oleh KPK, kurs rupiah dan IHSG berlawanan. Hari itu, rupiah menguat 27 poin, sementara IHSG anjlok 48,67 poin.

Namun, kurs dan IHSG tak bereaksi mencolok saat Presiden Jokowi mengumumkan Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon Kepala Polri menggantikan BG dan menunjuk tiga pelaksana tugas komisioner KPK, yakni Taufiequrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP. Adapun Abraham Samad dan Bambang Widjojanto dinonaktifkan sementara sebagai komisioner KPK.

Berbagai hal itu menunjukkan peristiwa politik tidak lagi menjadi sentimen yang secara langsung bisa selalu memberikan pengaruh besar terhadap pasar. Peristiwa politik sesaat seolah sudah terpisah dari kegiatan ekonomi. Pasar cenderung hanya bereaksi pada peristiwa atau kebijakan yang berpengaruh langsung pada indikator ekonomi atau faktor-faktor yang dianggap fundamental.

Saat Jokowi mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak pada 17 November 2014, misalnya, kurs rupiah dan IHSG langsung menguat. Kebijakan ini direspons karena pasar menilai kenaikan harga BBM akan mengurangi subsidi sehingga pemerintah memiliki ruang fiskal lebih besar untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Sejumlah survei mengenai ekonomi juga mengindikasikan peristiwa politik sesaat bukan lagi faktor yang dijadikan pertimbangan pelaku usaha dalam mengambil keputusan ekonomi.

Dalam survei konsumen yang dirilis Bank Indonesia, misalnya, Indeks Keyakinan Konsumen pada Januari 2015 tercatat sebesar 120,2, naik dari 116,5 pada bulan sebelumnya. Indeks Keyakinan Konsumen merupakan ekspektasi masyarakat terhadap prospek perekonomian dan daya beli mereka ke depan.

Penguatan itu mencerminkan meningkatnya optimisme konsumen terhadap kondisi ekonomi enam bulan mendatang dibandingkan kondisi ekonomi saat ini, terutama pada aspek kegiatan usaha dan penghasilan. Faktor yang mendorong menguatnya keyakinan konsumen antara lain banyaknya proyek pembangunan infrastruktur pemerintah yang siap dikerjakan.

Perhatian masyarakat

Kendati tidak lagi dianggap sebagai faktor yang dapat memengaruhi minat investasi dan dinamika perekonomian, hiruk-pikuk politik dan konflik antar-institusi penegak hukum tetap mendapat perhatian masyarakat luas. Bahkan, kegaduhan politik yang terus memburuk bisa menurunkan citra pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Berdasarkan survei Lingkaran Survei Indonesia setelah kasus BG, 66,89 persen responden menilai kondisi hukum Indonesia makin memprihatinkan. Dalam kisruh KPK-Polri, sebagian besar responden menilai Jokowi lamban mengambil keputusan.

Respons serupa muncul di media sosial. Banyak netizen merasa belum melihat sikap tegas Jokowi dalam pemberantasan korupsi.

Sentimen negatif yang terungkap dalam media sosial tersebut bisa saja menjalar ke dunia usaha apabila kisruh politik terus berlangsung tanpa penyelesaian yang tegas.

Namun, saat ini pelaku bisnis memang belum terlalu mengkhawatirkan kisruh KPK-Polri. Ini tak terlepas dari prospek ekonomi Indonesia ke depan yang dinilai cukup cerah. Hal itu tentu lebih fundamental dijadikan pertimbangan untuk berinvestasi dan berekspansi. Langkah pemerintah mengalihkan anggaran yang tak produktif seperti subsidi BBM menjadi anggaran produktif seperti infrastruktur telah memicu optimisme dunia usaha.

Dalam APBN Perubahan 2015, pemerintah memangkas subsidi BBM dari Rp 403 triliun pada 2014 menjadi Rp 232,71 triliun pada 2015 dengan mencabut subsidi premium dan solar.

Anggaran tersebut lalu dialihkan untuk pembangunan infrastruktur. Proyek itu antara lain pembangunan jalan baru sepanjang 143 km, jalur kereta api baru 265 km, 5 bandara baru, dan 120 menara kembar rumah susun sederhana sewa untuk warga berpenghasilan rendah.

Realisasi berbagai proyek infrastruktur pemerintah ini akan menarik investasi besar-besaran, baik dari investor asing maupun domestik. Pemerintah pun menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 sebesar 5,8 persen, lebih tinggi dari tahun 2014 yang besarnya 5,5 persen. Bahkan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2016-2018 berkisar 6,9-7,8 persen per tahun.

Sia-sia

Target optimistis boleh saja. Namun, pemerintah dan DPR harus sadar, prospek ekonomi itu akan sia-sia jika instabilitas politik dan kisruh antar-penegak hukum terus terjadi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton J Supit mengatakan, dunia usaha lelah melihat kiprah pemerintahan. Waktu dua bulan terbuang sia-sia karena kekisruhan KPK-Polri.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Publik, Fiskal, dan Moneter Hariyadi Sukamdani menilai kegaduhan politik sudah menyita kebijakan ekonomi. "Rencana investasi saat ini sangat besar euforianya. Harapannya, kebijakan ekonomi bisa lebih optimal. Kegaduhan politik bisa membuat kemunduran ekonomi," ujar Hariyadi.

Dunia usaha tentu makin kecewa jika kisruh belakangan ini berujung pada pelemahan KPK. Sebab, jika KPK melemah, korupsi akan kembali meraja. Bagi pelaku usaha pada umumnya, korupsi adalah musuh perekonomian. Korupsi menyebabkan biaya tinggi karena pengusaha dipaksa menyiapkan uang pelicin untuk memperlancar urusan.

Korupsi juga banyak memotong anggaran pembangunan. Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan, berdasarkan hasil pemeriksaan keuangan pemerintah pusat dan daerah pada tahun 2013 hingga semester I-2014, ditemukan indikasi kerugian negara dan potensinya sebesar Rp 43,42 triliun.

Sementara itu, menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch Ade Irawan, untuk tahun 2014 saja kerugian negara akibat korupsi diperkirakan mencapai Rp 5,29 triliun.

Jadi, jelas sudah, Indonesia akan sejahtera jika korupsi hilang dari bumi pertiwi. Oleh karena itu, menjadi keharusan jika kebijakan ekonomi yang sudah bagus ini juga ditopang oleh stabilitas politik dan pemberantasan korupsi yang kuat.