Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Harian Kompas) Kesiapan Tim DVI: Identifikasi Korban QZ8501 Lewat DNA

12/12/2018



Jasad para korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ 8501, Selasa (30/12), mulai ditemukan. Harapannya. upaya identifikasi berdasarkan manifes maskapai penerbangan dan laporan keluarga bisa dilakukan dengan mudah. Namun, ketika jasad sudah tak bisa lagi dikenali, pemeriksaan DNA akan mengungkapnya.

Dalam bencana massal seperti pesawat jatuh, upaya identifikasi korban dengan cara konvensional amat sulit dilakukan. Identifikasi yang mengandalkan kemiripan wajah, tinggi badan, tanda lahir, atau apa yang dikenakan korban tak bisa dilakukan karena jasad korban umumnya sudah sulit dikenali.

Identifikasi sebenarnya bisa dilakukan dengan mencocokkan informasi gigi. Namun, di Indonesia, pemeriksaan gigi belum membudaya sehingga identifikasi lewat ciri-ciri gigi sulit dilakukan. Karena itu, identifikasi korban bencana dengan pemeriksaan profil deoxyribonucleic acid (DNA) menjadi pilihan.

Menurut Guru Besar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Agus Purwadianto, Selasa, pemeriksaan dan pencocokan profil DNA korban dengan keluarganya adalah salah satu pilihan. Jika identifikasi bisa dilakukan dengan cara konvensional, pemeriksaan DNA tak perlu dilakukan.

Tim identifikasi akan merekonstruksi lebih dulu jasad korban secara keseluruhan dan mengelompokkannya. Jasad yang masih bisa dikenali dan dikonfirmasi kepada keluarga tak harus diperiksa DNA-nya.

Namun, apabila jasad korban tak bisa lagi dikenali, pemeriksaan DNA menjadi pilihan. ”Meski jasad sudah membusuk, jaringan bisa diambil dan diamplifikasi untuk mendapat DNA-nya,” kata Agus.

DNA yang ada dalam sel memiliki informasi genetik individu yang spesifik. Meski jasad korban bencana sudah sulit dikenali, DNA dalam sel tetap utuh. ”DNA bisa diperoleh dari bagian-bagian tubuh seperti daging, tulang, bahkan rambut sekalipun,” kata Agus.

Jaringan tubuh yang didapat dari korban diisolat dan dibuat profilnya sebelum dicocokkan dengan profil DNA keluarga terdekat. Keluarga terdekat yang bisa jadi referensi adalah orang tua ataupun saudara kandung.

Upaya memperoleh DNA dari jasad korban dipengaruhi kondisi jaringan saat ditemukan. Sebab, inti sel yang mengandung DNA bisa rusak atau hilang karena busuk atau terbakar. Ketika DNA inti rusak, pemrofilan DNA bisa diperoleh dari DNA mitokondria (mtDNA) yang ada di luar inti. Nantinya, proses pencocokan mtDNA dilakukan dengan ibu.

Karena itu, setiap serpihan jasad korban harus diperiksa untuk mendapat data profil DNA akurat. ”Bisa jadi dari beberapa serpihan tubuh, DNA-nya sama. Artinya, itu berasal dari satu individu. Karena itu, kami harus periksa semua,” katanya.

Laboratorium

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio menjelaskan, pemeriksaan DNA tak membutuhkan laboratorium dengan tingkat keamanan biologis (biosecurity level) tinggi karena yang ditangani bukan mikroba berbahaya. Laboratorium dengan fasilitas molekuler dasar seperti polymerase chain reaction (PCR) bisa untuk memeriksa DNA.

Setelah diambil dari sumbernya, sampel DNA diberi label lalu dibawa ke laboratorium DNA forensik. Selanjutnya, DNA diisolasi dan diamplifikasi, lalu dicampur dengan enzim dan bahan kimia. Setelah diperbanyak, DNA akan dipisahkan dalam medan listrik. Sampel DNA lalu dicocokkan dengan sampel dari keluarga, terutama orangtua.

Mengingat banyaknya jumlah korban, perlu tenaga terlatih dan berpengalaman untuk membuat profil DNA dan mencocokkan dengan referensi yang ada. Sebagai gambaran, pengungkapan pelaku bom Australia tahun 2004 melalui pemeriksaan DNA butuh waktu sekitar dua minggu.

Dalam kasus jatuhnya AirAsia QZ 8501, mengingat banyaknya korban, upaya identifikasi akan butuh waktu.