INDEKS persepsi korupsi Indonesia tahun 2014 berada di posisi 107 dari 174 negara dengan skor 34 dalam skala 0-100. Meskipun membaik dibandingkan skor tahun 2013 yang hanya 32, skor Indonesia itu masih di bawah rata-rata skor dunia yang besarnya 43, dan bahkan berada di bawah skor rata-rata negara ASEAN yang ada di angka 39.
Sementara itu, hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) yang dikeluarkan Transparency International Indonesia menunjukkan, 4 dari 10 masyarakat Indonesia membayar suap untuk mendapatkan pelayanan publik. Selain itu, 36 persen masyarakat juga membayar suap untuk mengakses delapan jenis layanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, listrik dan air, pajak, tanah, kepolisian, dan hukum.
Survei itu juga menunjukkan, kepolisian, parlemen, pengadilan, dan partai politik sebagai lembaga paling korup di Indonesia.
Laporan indeks persepsi korupsi dan GCB menunjukkan, secara kualitatif tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi. Lalu muncul pertanyaan, jika dihitung secara kuantitatif, sebenarnya berapa besar korupsi di Indonesia.
KuantitatifTentu amat sulit menghitung secara pasti jumlah uang yang dikorupsi di Indonesia karena korupsi adalah praktik yang tersembunyi. Namun, sebagai gambaran, besarnya nilai korupsi bisa didekati dengan sejumlah indikator.
Salah satu cara untuk memperkirakan besar uang yang dikorupsi di Indonesia adalah dengan meraba besar kebocoran anggaran untuk proyek-proyek pembangunan. Dugaan besar kebocoran anggaran ini dapat dihitung dengan Incremental Capital Output Ratio (ICOR).
ICOR adalah angka yang menunjukkan besarnya penambahan investasi untuk menghasilkan tambahan output. Rasio ini digunakan untuk menghitung seberapa efisien pembangunan ekonomi di suatu negara. Jika angka ICOR tinggi, pembangunan tidak efisien, yang salah satunya disebabkan adanya kebocoran anggaran.
Negara yang satu level dengan Indonesia rata-rata memiliki angka ICOR 4, yang berarti dibutuhkan 4 unit modal untuk menghasilkan 1 unit output.
Namun, Indonesia memiliki angka ICOR sebesar 5,3. Selisih angka 5,3 dan 4 menunjukkan adanya kebocoran anggaran pembangunan kurang lebih 30 persen. Artinya, dari alokasi anggaran untuk proyek-proyek pembangunan yang tercatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebenarnya hanya 70 persen yang dipakai. Adapun yang 30 persen lainnya hilang atau bocor.
Pada tahun 2013, nilai belanja barang dan modal pemerintah pusat mencapai Rp 385 triliun. Jika diasumsikan kebocoran 30 persen, anggaran yang hilang mencapai Rp 115 triliun.
Sementara itu, dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap keuangan negara tahun 2013 ditemukan berbagai penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp 30,87 triliun.
Nilai korupsi yang sesungguhnya bisa lebih besar dari Rp 30,87 triliun karena nilai itu hanya berasal dari hitungan BPK terhadap potensi kebocoran anggaran pemerintah pusat. Padahal, korupsi juga bisa berasal dari hilangnya potensi penerimaan pajak, hilangnya sumber daya alam, pembangunan proyek, dan suap-menyuap.
Sementara itu, setelah menganalisis laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) pada tahun 2013, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan ada uang Rp 15 triliun-Rp 20 triliun yang terindikasi hasil korupsi.
Pada tahun 2013, PPATK menerima 41.940 LKTM, naik dibandingkan tahun 2012 yang berjumlah 31.021 laporan.
Transaksi keuangan dikategorikan mencurigakan jika nilainya tidak sesuai dengan profil pekerjaan pemilik rekening atau frekuensi transaksinya di luar kebiasaan yang wajar.
Kepala PPATK Muhammad Yusuf mengatakan, laporan hasil analisis (LHA) lembaganya terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan itu telah disampaikan ke institusi penegak hukum untuk diselidiki.
PPATK, kata Yusuf, juga menyampaikan LHA tersebut ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Langkah itu diambil dengan tujuan jika tidak ditemukan kasus pidana di dalamnya, setidaknya uang gelap tersebut dapat ditarik pajaknya.
”Dari LHA yang kami kirim, Ditjen Pajak akhirnya bisa mendapatkan tambahan pajak sebesar Rp 2,6 triliun,” kata Yusuf.
Tetap tinggiSejumlah usaha telah dilakukan untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejumlah upaya pencegahan juga telah dilakukan, seperti menyosialisasikan gerakan anti korupsi. Pengadilan tindak pidana korupsi juga terus menjatuhkan hukuman kepada para terdakwa korupsi yang terbukti melakukan korupsi.
Berdasarkan data yang dihimpun Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus korupsi yang diproses hukum meningkat dari 402 kasus pada tahun 2012 menjadi 560 kasus pada tahun 2013. Penyidikan kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga meningkat dari 48 kasus pada tahun 2012 menjadi 70 kasus pada tahun 2013.
Sementara itu, jumlah gratifikasi, denda, dan uang sitaan hasil korupsi yang kembali ke negara pada tahun 2013 sebesar Rp 557,4 miliar. Jumlah itu tentu tidak sebanding dengan uang yang dikorupsi yang diduga mencapai ratusan triliun rupiah.
Data KPK juga menunjukkan, korupsi banyak dilakukan oleh pejabat eselon I, II, dan III; swasta; serta anggota DPR/DPRD.
Koordinator ICW Ade Irawan mengatakan, episentrum korupsi di Indonesia adalah korupsi politik yang dilakukan oligarki kekuasaan.
Untuk mendapatkan kekuasaan baik di pusat maupun daerah, politisi dan partai politik melakukan segala cara termasuk korupsi. Setelah berkuasa, mereka memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang, serta menerima gratifikasi dan suap.
Anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, menambahkan, maraknya korupsi juga dipicu oleh vonis pengadilan yang belum memberikan efek jera. Sekitar 74 persen putusan korupsi tergolong sebagai putusan ringan dengan masa hukuman penjara 1-4 tahun.
Di samping itu, dari ratusan kasus korupsi, hanya puluhan yang dikenakan pasal pencucian uang. Hingga kini tercatat hanya 31 koruptor yang dikenakan pidana pencucian uang.
Padahal, pemidanaan menggunakan pasal-pasal di UU Tindak Pidana Pencucian Uang bisa menimbulkan efek jera karena harta kekayaan koruptor yang diduga berasal dari korupsi bisa dirampas. Dengan demikian, koruptor tak hanya dihukum penjara, tetapi juga dimiskinkan. Selain itu, pihak-pihak yang menerima uang hasil korupsi juga bisa dipidana.
Di tengah berbagai tantangan yang terus muncul, sebenarnya tidak ada yang sia-sia dalam pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini. Kenaikan skor indeks persepsi korupsi dari 32 menjadi 34 pada tahun 2014 menunjukkan pemberantasan korupsi di Indonesia mulai menunjukkan hasil meski masih jauh dari target yang ditetapkan.
Guna makin mengefektifkan pemberantasan korupsi di Indonesia, kini yang paling dibutuhkan adalah tetap konsisten di jalur anti korupsi meski jalan yang dilalui tidak mudah.
Masalahnya, konsistensi menjadi hal yang sering kali tidak mudah dilakukan di Indonesia. Namun, semoga itu tak terjadi dalam pemberantasan korupsi.