Indonesia tidak semata negara berbenteng maritim dengan belasan ribu pulau dan ratusan etnis, tetapi juga juntaian mutiara agama dan keyakinan yang begitu banyak, beragam, dan berwarna. Dalam perjalanan sejarah, agama dan keyakinan yang banyak itu tumbuh bersamaan dengan etnis dan kebudayaan tempatan menjadi oase peradaban Nusantara yang harmonis.
Gambaran kerukunan dan saling menghormati bukan sekadar legenda untuk membagus-baguskan lembar sejarah. Hubungan antara ”agama arus utama”—yang biasanya menjadi agama kerajaan lokal–dan agama minoritas tidak tersekat oleh hubungan resmi-nonresmi, tetapi hubungan saling memerlukan dan menjaga.
Politisasi agama resmiSejarah mencatat, eksistensi umat Hindu dan Khonghucu di dalam naungan Kerajaan Aceh atau komunitas Muslim di Bali berlangsung mesra. Hampir tidak ada nila sejarah terkait aksi pasifikasi, diskriminasi, dan terminasi. Kampoeng Tjina dan Kampoeng Keling telah dikenal sejak era Kerajaan Aceh abad XVII serta menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan.
Di Bali, komunitas Muslim Sasak Lombok menggelari penggawa atau bangsawan kerajaan Karangasem Bali, Ratu Made Bengkel, dengan Baginda Ali. Mereka pun menggelari anak Made Bengkel, I Goesti Bagoes Oka, yang pernah menjadi Gubernur Sunda Kecil pada era Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Baginda Usman. Itu terjadi karena jejak kebajikan mereka di Pulau Lombok. Usman dan Ali adalah dua nama khalifah empat (Khilafat al-Rasyidah) dalam sejarah Islam yang terkenal karena ide-ide reformisnya.
Ironisnya, ketegangan malah terjadi ketika negara Indonesia modern dan birokrasi pemerintahan menguat. Negara gagal memahami kemajemukan agama-agama historis-endemis itu. Pada era Orde Baru, agama resmi negara hanya lima. Di luar itu, dipaksa masuk ke dalam gugus ”induk” atau menjadi gugus ”kepercayaan” di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), Khonghucu menjadi agama resmi keenam dan dibina oleh Kementerian Agama. Namun, masih saja terjadi ketegangan karena reformasi status kewarganegaraan (citizenship status) tidak bergerak secepat perubahan sosial-politik nasional. Masih terlihat kekerasan legal, kultural, dan sosial yang menimpa agama-agama non-enam. Padahal, posisi mereka otonom, bukan sub-sekte atau mazhab yang boleh diindukkan ke dalam agama enam.
Contoh yang paling nyata ialah masih kuatnya gerakan penolakan terhadap Ahmadiyah dan Syiah untuk beribadah. Mereka juga tidak diakui sebagai bagian dari keluarga besar Islam. Penolakan itu wujud dari ketidakpahaman atas dua ”mazhab” itu dalam sejarah Islam, termasuk kehadirannya di Indonesia. Sejarah organisasi Ahmadiyah sesungguhnya lebih tua dibandingkan dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia. Dalam catatan disebutkan, Ahmadiyah Qadian masuk melalui Tapaktuan, Aceh, 2 Oktober 1925, dan kemudian menyebar ke Sumatera Barat serta seluruh Indonesia.
Demikian pula ketakpahaman atas agama minoritas lainnya. Agama Kaharingan pada masa Orde Baru dimasukkan sebagai agama Hindu. Diskusi saya dengan Pak Ayal, tokoh Kaharingan Dayak Meratus, saat konferensi nasional Jaringan Antariman Indonesia di Sentani, Papua, Mei lalu, menunjukkan pengelompokan Kaharingan ke dalam Hindu sangat ceroboh. Menurut Pak Ayal, agamanya mengenal sosok Adam sebagai ”manusia suci”, seperti dalam kitab agama-agama Ibrahim.
Komunikasi saya dengan Pak Ongko Wijaya, pimpinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), membuka pikiran tentang sejarah Khonghucu yang lebih tua daripada sejarah Buddha Tiongkok. Ia terentang tali sejarah lebih dari 5.000 tahun. Ini tentu saja menakjubkan, bagaimana agama historis setua itu baru dipahami dan diakui sebaru ini di Indonesia. Ketidakpahaman publik nasional atas keberadaan agama-agama minoritas itu berpadu dengan tindakan komunikasi banal publik di sosial media sehingga muncul distorsi atas agama-agama yang kebetulan mendiami tubuh etnis minoritas menjadi agama ilegal. Komunikasi kebencian itu menjadi jalan pembenaran kemarahan dan pameran brutalisasi dan penyesatan, baik verbal maupun fisikal (Thomas W Simon, Ethnic Identity and Minority Protection, 2012: 269).
Pintu daruratMasalah kini, ketegangan masih berlanjut terutama wacana agama resmi versus agama tak resmi. Jika memakai nalar kewarganegaraan, penganut agama resmi secara normatif akan mendapatkan haknya sebagai warga negara. Sebaliknya, penganut agama tidak resmi memperoleh derita akibat terputusnya kewajiban negara kepadanya. Sebagai warga negara penganut agama resmi, saya tidak pernah merasakan dilema itu. Namun, bayangkan, jika Anda adalah penganut agama yang tidak resmi itu. Berapa ton derita yang akan menimpa pundak dan pikiran?
Hasrat untuk menikah, beribadah, membeli properti, dan hubungan sosial kerap menjadi aksi kriminal dibandingkan dengan urusan domestik-ekonomika biasa. Status agama tidak resmi otomatis tidak teregistrasi ke dalam status kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akan menjadi problem hukum, sosial, dan budaya yang harus ditanggung seumur hidup. Problem-problem inilah yang sebenarnya ingin diurai melalui kebijakan pemerintah untuk tidak memaksakan status agama pada kolom KTP.
Sikap pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri dalam mewujudkan kebijakan itu pun bukan serta-merta. Kebijakan itu adalah konklusi imperatif undang-undang yang seharusnya dieksekusi sejak lama. Keputusan boleh mengosongkan kolom status agama dalam KTP sudah termaktub dalam UU No 23/2006 Pasal 64 tentang Administrasi Kependudukan. Ketika UU itu diamandemen jadi UU No 24/2013, pasal itu masih dipertahankan dengan sedikit perubahan redaksional yang tak mengubah substansi (Pasal 64 Ayat (5)). Keliru ketika pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono tak menjalankannya.
Pilihan itu harus dilihat sebagai langkah taktis menangani hilirisasi dampak pengabaian negara atas agama-agama tidak resmi itu. Terobosan sudah dilakukan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada akhir masa pemerintahan SBY dengan mengakui agama Bahai sehingga bisa jadi pintu darurat untuk mengakui agama-agama lainnya sebagai agama resmi negara. Untungnya, Lukman kembali terpilih pada Kabinet Kerja Jokowi–JK sehingga bisa meneruskan pekerjaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak agama-agama yang ”diminoritaskan” itu.
Pilihannya sebenarnya sederhana, bagaimana semua keyakinan dan agama-agama historis yang lahir dari degup teologis dan kultural bangsa ini bisa hidup nyaman di Indonesia: rumah bagi kita semua.
Antropolog UniversitasMalikussaleh, Lhokseumawe; Pegiat Jaringan Antariman Indonesia