Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Inilah.Com) Amunisi Penundaan Pilkada Serentak Bertambah

12/12/2018



INILAHCOM, Jakarta - Wacana penundaan pemiliban kepala daerah (pilkada) serentak yang lama tak terdengar kini kembali menggema. Ancaman instabilitas di daerah hingga legitimasi hajatan demokrasi lokal dimunculkan. Benarkah demikian?

Rapat konsultasi antara DPR dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemillu (Bawaslu) pada Senin (6/7/2015) berjalan dinamis. Dari DPR diwakili oleh Pimpinan Komisi II, Pimpinan Komisi III serta Pimpinan Fraksi DPR RI.

Dalam rapat yang berlangsung selama 3,5 jam itu terdengar usulan agar pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember 2015 di 269 Provinsi/Kabupaten/Kota ditunda. Sejumlah penyebab yang dianggap krusial muncul. Seperti soal usulan perubahan UU No 23 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) dan UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serta anggaran pengamanan pilkada untuk Polri.

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman mengatakan alokasi waktu penyelesaian sengketa pilkada sebagaimana tercantum dalam Pasal 157 ayat (8) tidak memungkinkan bagi MK untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada.

"Memang dari simulasi yang kita lakukan dengan berbagai cara terkait penyelesaian sengketa pilkada, sangat tidak memungkinkan waktu yang diberikan," ujar Anwar saat rapat konsultasi dengan DPR, Senin (6/7/2015).

Ketentuan penyelesaian sengketa hasil pilkada sebagaimana tercantum dalam UU No 8 tahun 2015 tentang Pilkada disebutkan MK memutuskan perkara perselisihan sengketa hasil pilkada paling lama 45 hari terhitung hari kalender. "Kalau penyelesaian sengketa tetap di MK tidak ada jalan lain kecuali merevisi UU MK. Sekaligus mengatur hukum acara yang menurut simulasi acara yang sangat memungkinkan 60 hari kerja. 45 hari ini hal yang sangat tidak mungkin dilakukan," cetus Anwar.

Selain masalah tenis persidangan MK, dalam rapat konsultasi juga mencuat anggaran pengamanan Pilkada untuk aparat kepolisian yang hingga saat ini masih belum sepenuhnya turun. Ketua Komisi III DPR RI Aziz Syamsudin menyebutkan sejumlah provinsi belum 100 persen anggaran pengamanan pilkada turun.

"Ada Rp.564 miliar yang belum turun di daerah. Kalau sampai 26 Juli 2015 tidak beres tentu akan memengaruhi proses pilkada. Karena sejak tanggal itu peranan polisi sudah masuk," ingat politisi Partai Golkar ini.

Ketua Fraksi PPP Capt. Epiyardi Asda dalam kesempatan tersebut mengingatkan tentang potensi permasalahan yang muncul dalam Pilkada. Menurut dia, dalam kondisi normal saja banyak insiden yang muncul di daerah. "Apalagi ada dua partai politik yang memiliki cabang se-Indonesia. Bagaimana perasan mereka tidak ikut pilkada?" kata Epiyardi.

Tanpa tedeng aling-aling Epiyardi meminta agar pilkada serentak dapat ditunda mengingat berbagai pertimbangan mulai soal anggaran kepolisian, perubahan UU MK serta UU Pilkada yang belum mengakomodasi partai yang bekonflik. "Saya berharap, demi kenyamanan dan kemananan republik ini, mohon Pilkada serentak ditunda," cetus politisi kubu PPP Djan Faridz ini.

Namun sejumlah argumentasi agar Pilkada Serentak ditunda, dibantah sejumlah fraksi yang memiliki afiliasi dengan pemeirntah. Seperti anggota Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo mengatakan perubahan UU MK tidak memiliki urgensi yang mendesak. "Menyangkut kebutuhan penyelesaian perselisihan pilkada seharusnya tidak masalah. Karena dalam UU No 1 Tahun 2015 dan UU No 8 tahun 2015 bahwa pilkada 2015 sudah diatur sedemikian rupa terkait timbulnya masalah hukum," urai Arif.

Pernyataan Arif memang berdasar. Di Pasal 158 UU No 8 Tahun 2015 diatur tentang ketentuan peserta Pilkada dapat mengajukan gugatan di MK bila memiliki selisih suara tertentu dengan persentase jumlah pemilih di daerah yang bersangkutan. Ketentuan itu membatasi selisih suara di angka mulai 0,5 persen, 1 persen, 1,5 persen serta 2 persen. "Kalau mau perbaiki UU MK, sesuatu yang biasa saja, perbaikannya tidak dalam konteks rencana tertentu dalam kegiatan Pilkada serentak," cetus Arif.

Arif menegaskan pelaksana Pikada serentak tidak ada yang perlu ditakutkan kecuali memang ada dorongan untuk membuat skenario politik dengan membuat konflik. "Kalau seperti itu sama saja kita merencanakan kegagalan dalam berdemokrasi," ingat Arif seraya menegaskan Pilkada serentak tidak perlu ditunda.

Rapat konsultasi antara DPR dan sejumlah lembaga yang terkait dengan pelaksanaan pilkada serentak ini rencana akan kembali digelar sebelum pelaksanaan hari raya pada pekan depan. Tiga minggu menjelang pelaksanaan tahapan pilkada secara serentak sejumlah persoalan masih saja mengemuka di lapangan. Butuh kearifan oleh semua pihak dalam menghadap hajatan demokrasi lokal secara serentak ini.