Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Pansel KPK Diusulkan Nonaktif

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS — Panitia Seleksi Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi disarankan nonaktif sementara dari pekerjaan atau aktivitasnya. Langkah itu perlu diambil supaya konsentrasi pansel tidak terbagi, sehingga proses penentuan calon pimpinan KPK menjadi maksimal.

"Masyarakat berharap banyak kepada Pansel KPK. Jangan sampai pansel terbebani pekerjaan mereka, yang membuat kinerja pansel tidak fokus," ujar pengamat Populi Center, Nico Harjanto, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Sabtu (23/5).

Nico mengatakan, salah satu tantangan terbesar pansel saat ini adalah keterbatasan waktu. Menurut Nico, pansel hanya punya waktu aktif sekitar empat-lima bulan. Jadi, dibutuhkan totalitas untuk menjaring calon pimpinan KPK yang berkompeten.

"Mereka (pansel) butuh kebebasan agar tak terikat aktivitas lain," ucapnya. Selain itu, perlu integrasi antaranggota pansel sehingga saling melengkapi. Penonaktifan juga ditujukan guna menghindari kepentingan terkait lingkungan kerja anggota. 

Anggota DPR dari Partai Golkar, Meutya Hafid, menambahkan, penonaktifan pansel dapat meminimalisasi intervensi kepentingan dari kelompok tertentu. "Saya akan coba usulkan gagasan ini di Dewan. Secara pribadi, saya menilai langkah ini perlu dilakukan," ujarnya.

Anggota Pansel KPK periode lalu yang juga Guru Besar Kriminologi UI Ronny Nitibaskara berpendapat, jika tim "Sembilan Srikandi" ingin bekerja efektif dan efisien, maka harus ada soliditas karakter antarmereka.

Sebagai manusia biasa, baik pria atau wanita punya karakter yang berbeda, bahkan saling bertentangan. "Mungkin saja ada perbedaan tajam dan timbul friksi. Karena itu, harus ada saling menghargai dan toleransi antaranggota," tuturnya.

Ronny yang mendalami Antropologi Forensik mencontohkan kompleksitas kerja pansel, dalam seleksi calon komisione KPK periode lalu. Ada calon komisioner KPK dengan tingkat keseriusan sangat tinggi, seolah beban dunia ditanggung sendiri. Akibatnya, dia sangat tidak kooperatif, mengabaikan ide orang lain, dan sering jalan sendiri.

Sebaliknya, lanjut Ronny, ada juga calon yang sangat toleran. "Akibatnya, dia terlalu lama mengambil langkah hukum. Ada juga anggota yang piawai berdebat, dan menguasai teori-teori hukum, tetapi kurang berani ambil risiko sehingga selalu menunggu inisiatif lainnya," ujarnya, sambil mengingatkan, pansel perlu mewaspadai karakter-karakter orang.

Lebih berat 

Staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, Sabtu (23/5), menyatakan, beban kerja Pansel KPK kali ini menjadi lebih berat. Mengingat, sembilan perempuan itu harus membuktikan diri mampu menghasilkan calon pimpinan KPK terbaik. Kegagalan memilih akan dinilai tak hanya kegagalan pansel, tetapi juga kegagalan perempuan aktivis.

Menurut Feri, kini saatnya untuk berhenti berbincang mengenai isi pansel yang perempuan semua atau disebut "Sembilan Srikandi". Perbincangan harus dikembalikan pada masalah substansial dalam Pansel KPK yaitu memilih calon-calon pimpinan yang tentunya figur terbaik.

Oleh karena itu, tambahnya, semua pihak sudah waktunya untuk mengkritisi kerja pansel agar betul-betul serius. "Kalau mereka gagal, ini akan berefek samping yang luar biasa. Orang akan menilai ternyata perempuan aktivis sama saja, ternyata perempuan tidak sanggup," ungkap Feri.

Hal senada diungkapkan mantan anggota Pansel KPK yang juga ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi. "Kalau terjadi masalah di masa mendatang yang melanda atau menimpa KPK, yang disalahkan pansel. Padahal itu perempuan semua. Isunya jadi meluas. Itu tidak bisa dihindarkan. Coba jika ada satu lelaki saja di pansel, maka masalah laki dan perempuan tak akan muncul," ujarnya.

Akhiar menambahkan, memang tak ada yang salah dengan pilihan Joko Widodo untuk mengisi seluruh anggota pansel dengan perempuan. Namun, pilihan itu tidak sempurna. Sebab, terdapat perbedaan sudut pandang antara laki-laki dan perempuan. Apabila ada dua komponen tersebut, maka pandangan yang diperoleh akan komprehensif.

Adapun Polri siap membantu tugas Pansel KPK. Keterlibatan Polri tak lain untuk menelusuri rekam jejak para kandidat komisioner. "Kami selalu membantu Pansel KPK sejak pansel itu pertama kali ada. Jadi, itu bukan hal baru," tutur Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti di Jakarta, Sabtu (23/5).

Keterlibatan dalam pemilihan pimpinan KPK, katanya, Polri bertugas memenuhi permintaan pansel untuk menelusuri calon dengan catatan kriminal di masa lalu. Untuk itu, Polri akan melibatkan kepolisian daerah untuk melacak data para calon itu.

Pengamat kepolisian Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, menjelaskan, Polri secara fungsional memang berwenang memberi masukan tentang rekam jejak seseorang. Namun, data Polri tidak bisa serta merta menjadi dasar laporan rekam jejak. Karena itu, data Polri perlu dilengkapi tambahan data atau informasi dari Badan Intelijen Negara, pemerintah daerah, serta LSM.

Mantan anggota Pansel KPK Imam Prasojo menyarankan, pansel berdiskusi langsung dengan Polri dan Kejaksaan Agung, untuk menentukan nama-nama yang berkompeten menelusuri rekam jejak calon. Cara itu juga dimaksudkan untuk menghindari bias antara penelusur dan para calon.

(ANA/B07/SSD/SAN)