Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Ideologi Radikal Susupi Media Sosial

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS — Kebiasaan menyebarkan pesan kiriman tanpa konfirmasi dan verifikasi di situs media sosial menjadi celah bagi kelompok keagamaan radikal untuk menebar teror, sosialisasi gagasan, dan merekrut anggota. Fenomena ini perlu diantisipasi dengan serius mengingat begitu banyak pengguna internet di Indonesia.

Demikian salah satu bahasan dalam diskusi terbatas "Social Media and The Prevention of Violent Extremism" di Maarif Institute, Jakarta, Selasa (28/4). "Orang begitu mudah menyebarkan berita atau informasi yang berisi hujatan dan kebencian terhadap orang atau kelompok agama tertentu tanpa melakukan verifikasi sebelumnya. Yang sangat mengejutkan, isi hujatan-hujatan itu kadang justru menjadi populer," kata peneliti Maarif Institute, Siti Sarah Muwahidah.

Menurut Siti, meski hanya segelintir orang, para penyebar teror dan gagasan radikal di dunia maya cenderung bersemangat militan. Selain itu, mereka juga mempunyai pengikut (follower) yang begitu banyak.

"Ironisnya, kebiasaan menyebarkan informasi yang berisi kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu justru menjadi hobi bagi sebagian pengguna internet. Mereka tidak berpikir panjang jika nanti informasi itu akan merugikan atau mencelakakan pihak lain," ujarnya.

Jumlah pengguna

Wahyudi Akmallah, juga peneliti Maarif Institute, mengatakan, sejak tahun 1990 jumlah pengguna internet di Indonesia terus meningkat. Sebagai contoh, pengguna jejaring sosial Facebook di negeri ini mencapai 35,4 juta orang pada tahun 2013.

Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, sekitar 65 persen pengguna internet di Indonesia mengakses internet lewat telepon pintar. Sementara mesin pencarian Baidu menyebutkan, ada sekitar 59,9 persen pengguna internet Indonesia mengakses internet lewat telepon pintar.

"Dalam konteks kaum muda, Islam, dan radikalisme, masalah serius di Indonesia adalah bagaimana mengantisipasi pergerakan radikalisme lewat media sosial. Sebagai contoh, munculnya video-video tentang kelompok radikal Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di internet akhirnya menarik orang-orang Indonesia untuk ikut bergabung," tutur Wahyudi.

Menurut Direktur Riset Maarif Institute Ahmad Fuad Fanani, di media sosial muncul anggapan salah kaprah bahwa orang yang dianggap paling penting di dunia media sosial adalah mereka yang memiliki banyak pengikut, tanpa peduli dari mana orang tersebut mendapatkan para pengikutnya. Bisa jadi, orang-orang tersebut memiliki banyak pengikut dengan cara membeli atau memang benar-benar memiliki banyak pengikut.

Menyikapi masalah ini, kelompok-kelompok Islam moderat harus merapatkan barisan dan menguatkan komitmen untuk tidak henti-hentinya menyampaikan ajaran-ajaran toleransi, kerukunan, nilai-nilai kebinekaan dan pluralisme lewat media sosial. Langkah antisipasi ini penting karena radikalisme merupakan satu tahap sebelum menjadi terorisme.

"Sejak 2012, Maarif Institute secara rutin menggelar kegiatan Jambore Pelajar Muslim se-Jawa sebagai upaya untuk menggerakkan semangat toleransi, kerukunan, piagam Madinah, dan kepedulian terhadap kaum miskin di kalangan kaum muda. Harapannya, mereka bisa mengampanyekan nilai-nilai tersebut lewat media sosial," tutur Ahmad Fuad.

Mustafa Tameez, delegasi Muslim Amerika Serikat sekaligus Managing Director Outreach Strategist, mengusulkan pentingnya para aktivis Islam moderat untuk masuk ke sekolah-sekolah dan memberikan ajaran anti radikalisme serta membangun kapasitas grup. "Kita juga bisa masuk lewat rumah-rumah produksi, para artis, sutradara, dan industri hiburan untuk membuat film yang berisikan tentang pemahaman anti radikalisme, tentang Islam yang pluralis, dan cinta keberagaman," katanya. (ABK)