Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Jumlah Perokok Meningkat, Penyakit akibat Rokok Melonjak

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi konsumsi tembakau di Indonesia, baik diisap dalam bentuk rokok maupun tembakau kunyah, pada penduduk usia 15 tahun ke atas terus meningkat dalam 18 tahun terakhir. Peningkatan konsumsi itu diikuti dengan peningkatan penderita penyakit paru obstruktif kronik.

Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Ilmiah Berkala yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan di Jakarta, Rabu (29/4). Peneliti Balitbangkes, Nunik Kusumawardani, memaparkan, "Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi tembakau pada laki-laki meningkat dari 53,4 persen tahun 1995 menjadi 66 persen tahun 2013, sedangkan pada perempuan meningkat dari 1,7 persen menjadi 6,7 persen."

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensi perokok (tembakau isap) laki-laki 56,7 persen dan perempuan 1,9 persen. Daerah dengan prevalensi perokok laki-laki terbesar ada di Gorontalo. Adapun prevalensi perokok perempuan terbesar ada di Papua.

"Prevalensi perokok paling tinggi ialah pada mereka yang bekerja dan para pencari kerja," kata Nunik.

Faktor penyebab peningkatan prevalensi perokok, menurut Nunik, adalah gencarnya iklan rokok serta mudahnya akses membeli rokok. Di Indonesia, rokok mudah didapatkan karena dijual bebas dengan harga relatif murah.

"Gencarnya iklan rokok melalui berbagai media memengaruhi gaya hidup masyarakat. Orang semakin beranggapan, rokok bisa mengurangi stres. Rokok juga dianggap alat sosial untuk bergaul dengan teman-teman," ujarnya.

Penyakit paru meningkat

Salah satu pembahas, Agus Dwi Susanto, dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Klinik Berhenti Merokok Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta, menyatakan, peningkatan prevalensi perokok diikuti dengan peningkatan kasus penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

"Pada tahun 2011, jumlah kunjungan pasien PPOK di RS Persahabatan mencapai 1.274 orang. Jumlah tersebut terus meningkat, hingga tahun 2014 mencapai 1.905 pasien. Data tahun 2013 mencatat, dari 1.702 pasien PPOK, 92 persen di antaranya merupakan perokok, sedangkan 8 persen lain bukan perokok. Perbandingan tersebut meningkat pada 2014, dari 1.905 pasien PPOK, 94,4 persen adalah perokok dan 5,6 persen lain bukan perokok," katanya.

PPOK, demikian Agus, merupakan penyakit penyempitan saluran napas kronik. Penyakit tersebut umumnya diawali dengan beberapa gejala, seperti napas sesak atau berat, batuk kronik, batuk berdahak.

Rokok juga meningkatkan kasus bronkitis kronis. Sebanyak 42 persen penderita bronkitis adalah perokok dan 26 persen adalah bekas perokok. Hanya 24 persen penderita bronkitis yang bukan perokok. Rokok juga meningkatkan serangan asma dan menurunkan fungsi paru.

Menurut Agus, rokok juga menjadi penyebab utama kanker paru. Penelitian para ahli menunjukkan, 87 persen kasus kanker paru berhubungan dengan merokok.

"Seiring peningkatan prevalensi perokok di Indonesia, kami mencatat adanya peningkatan kasus kanker paru di RS Persahabatan. Pada tahun 2000, ada sekitar 200 kasus kanker paru. Pada tahun 2009, kasus kanker paru melonjak jadi 900 kasus," ujarnya.

Untuk itu, penting ada penelitian secara sosial dan biomedis untuk memastikan bahwa rokok merupakan penyebab kanker paru.