Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Mau Ikut Pilkada Atau Tidak?

12/12/2018



Kompas - Anggota Komisi II DPR, A Malik Haramain, terburu-buru keluar ruang rapat kecil Komisi II di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (24/4) sore. Politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu setengah berlari mengejar Arif Wibowo, anggota Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang lebih dulu keluar.

Tak berapa lama, Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Golkar DPR Rambe Kamarul Zaman juga keluar dari ruang rapat, menyusul Malik dan Arif. Ketiganya kemudian mengobrol di lobi Ruang Rapat Komisi II. Entah apa yang dibicarakan. Hanya mimik muka ketiganya terlihat serius.

Sore terakhir masa sidang III tahun sidang 2014-2015 itu, pimpinan beserta para ketua kelompok fraksi (kapoksi) Komisi II DPR memang tengah membahas rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pencalonan untuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Berhubung KPU tidak hadir, pimpinan dan kapoksi memutuskan menyusun rekomendasi.

Rekomendasi dikeluarkan berkaitan dengan pasal pedoman verifikasi kepengurusan partai politik (parpol) pengusung pasangan calon kepala daerah. Pimpinan Komisi II DPR menginginkan rekomendasi tersebut ditandatangani semua fraksi.

Setelah diberi penjelasan, akhirnya semua fraksi menandatangani rekomendasi, termasuk fraksi-fraksi parpol pendukung pemerintah seperti F-PKB, F-PDIP, Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Nasdem. "Ini demi solidaritas dan untuk menyelamatkan demokrasi," tutur anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P, Arif Wibowo.

Ada tiga poin kesepakatan yang menjadi rekomendasi. Pertama, Komisi II meminta KPU agar mendorong parpol yang tengah bersengketa untuk berdamai paling lambat sebelum tahapan pendaftaran calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah berakhir. Apabila parpol tak kunjung berdamai, KPU diminta menggunakan putusan hukum tetap (inkracht) sebagai pedoman verifikasi parpol.

Apabila sampai tahapan pendaftaran berakhir ternyata belum juga ada putusan inkracht, KPU diminta menggunakan putusan hukum terakhir sebelum tahapan pendaftaran dibuka, sebagai pedoman verifikasi.

Otoritas KPU

Sebenarnya, Komisi II DPR tak perlu repot-repot mengeluarkan rekomendasi untuk rancangan PKPU. Sebab penyusunan PKPU menjadi otoritas KPU sendiri. Pasal 8 Ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu memang mengatur, KPU berkewajiban mengonsultasikan setiap rancangan peraturan kepada DPR dan pemerintah.

Konsultasi dimaksudkan agar PKPU yang disusun tidak bertentangan dengan UU. Selama empat tahun, UU No 15/2011 diberlakukan, belum pernah sekali pun DPR periode 2009-2014 mengeluarkan rekomendasi berkait penyelenggaraan pilkada. Lazimnya, DPR hanya meminta penjelasan sekaligus memberikan masukan untuk rancangan PKPU yang disusun KPU.

Komisi II DPR periode 2014-2019 sengaja membuat rekomendasi karena khawatir ada parpol yang tak bisa mengikuti pilkada. Sebab, dalam rancangan PKPU tentang pencalonan disebutkan, KPU menjadikan Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai pedoman memverifikasi pengurus parpol yang sah, yang berhak mengusung pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah dalam pilkada serentak 9 Desember 2015.

DPR membuat rekomendasi ini untuk menyelamatkan dua parpol yang tengah bersengketa, yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. SK pengesahan kepengurusan Partai Golkar dan PPP yang dikeluarkan Menkumham Yasonna H Laoly sedang diperkarakan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.

Rekomendasi yang dikeluarkan Komisi II untuk rancangan PKPU pencalonan justru tak sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dan UU No 2/2011 tentang Partai Politik.

UU Pilkada mengatur, pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah yang diusung parpol atau gabungan parpol harus menyertakan surat keputusan pengurus partai politik tingkat pusat yang berisi persetujuan pengajuan calon (Pasal 42). Sementara UU Parpol mengatur, pengurus parpol sah adalah yang ditetapkan keputusan menteri, dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM (Pasal 23).

Dengan demikian sudah jelas, pengurus pusat parpol yang memberikan persetujuan pencalonan kepala daerah-wakil kepala daerah, adalah mereka yang disahkan Menkumham.

KPU pun akhirnya tidak mengindahkan rekomendasi Komisi II. Pada rapat pleno Kamis malam lalu, KPU memutuskan menggunakan keputusan Menkumham sebagai dasar menentukan sah atau tidaknya kepengurusan parpol. Selain itu, KPU juga memutuskan untuk menggunakan putusaninkracht sebagai pedoman dalam menentukan kepengurusan parpol yang tengah disengketakan di pengadilan.

Sebenarnya, pembahasan draf PKPU tidak akan berlarut-larut jika tidak ada parpol yang bersengketa. Satu-satunya jalan yang ditawarkan KPU adalah kedua kubu islah. Parpol bisa menyusun kepengurusan baru hasil rekonsiliasi yang kemudian didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk disahkan. Akan tetapi, pengurus Partai Golkar dan PPP malah menolak islah. Padahal, pilihannya hanya dua, mau ikut pilkada atau tidak? (ANITA YOSSIHARA)