Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Pembekuan PSSI saat Hari Jadi ke-85 tahun: Melawan Lupa

12/12/2018



Soekarno, guru bangsa, pernah berkata, bangsa yang besar adalah yang tidak melupakan sejarah. Pesan ini perlu kita endapkan untuk merefleksikan situasi terkini, yaitu polemik pengelolaan sepak bola antara pemerintah dan PSSI.

Dua hari menjelang Hari Jadi Ke-85 PSSI, Minggu (19/4), pemerintah (Menteri Pemuda dan Olahraga) menjatuhkan sanksi administratif, yaitu tidak mengakui atau "membekukan" PSSI. Inilah "kado" kejutan yang mewarnai hubungan dingin Kemenpora-PSSI selama ini.

Sepak bola kita mengalami deja vu. Maret 2011, Menpora saat itu Andi Mallarangeng mengambil kebijakan tidak mengakui PSSI di bawah kepemimpinan Nurdin Halid, terpidana korupsi saat itu. Prestasi tim nasional juga jelek. Niat pemerintah sebetulnya baik.

Saat itu, Andi menyatakan, segala urusan PSSI, termasuk mengelola timnas, diambil alih Komite Olahraga Nasional Indonesia dan Komite Olimpiade Indonesia. Empat tahun berselang, langkah serupa dilakukan Menpora Imam Nahrawi. Imam bahkan akan membentuk Tim Transisi untuk memuluskan take over ini, berikut jaminan sokongan dana APBN.

Kembali ke 2011, bak gayung bersambut, langkah Andi "mereformasi" sepak bola nasional disambut pengusaha Arifin Panigoro yang lalu menggagas Liga Primer Indonesia (IPL) yang diusung dengan semangat profesionalisme dan mengharamkan dana APBD ke klub. Di lain pihak, PSSI tetap menjalankan Liga Super Indonesia (ISL). Celakanya, ini terbukti menjadi blunder terbesar dalam sejarah sepak bola nasional.

Inilah awal dualisme kompetisi sepak bola di Tanah Air dan perpecahan PSSI. Inilah titik nol dari konflik panjang melelahkan antara Kemenpora dan Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) dengan PSSI saat ini.

Inilah yang mendorong terjadinya "pengkloningan" (dualisme) klub-klub, termasuk Arema Cronus dan Persebaya Surabaya-dua klub yang dipermasalahkan keikutsertaannya di ISL 2015 oleh BOPI dan Kemenpora. Kurun 2011-2013 yang dipicu pengkloningan itu adalah era "kegelapan" sepak bola kita.

Akibat berbagai kegaduhan itu, prestasi timnas terjun bebas ke posisi terburuk sepanjang masa, yaitu peringkat ke-170 FIFA pada 3 Oktober 2012. Klub-klub sulit menggaet sponsor dan terkapar satu per satu. Profesionalisme jauh dari angan-angan.

Klub "bentukan baru" eks IPL seperti Tangerang Wolves dan Bandung FC layu sebelum berkembang seiring "gugurnya" sejumlah pesepak bola asing seperti Bruno Zandonad, Diego Mendieta, dan Salomon Begondo pada 2012-2013 akibat tak digaji dan ditelantarkan klub.

Jikapun ketika itu PSSI dan Indonesia luput dari sanksi pembekuan oleh FIFA, itu tidak terlepas dari peran Menpora saat itu Roy Suryo yang "menyatukan" PSSI pimpinan Djohar Arifin dengan Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) besutan La Nyalla Mattalitti lewat Kongres Luar Biasa PSSI pada 17 Maret 2013. Kegaduhan disudahi. Dualisme kompetisi berakhir.

Berkaca dari potongan sejarah itu, "bola" kini ada di tangan Imam Nahrawi dan La Nyalla Mattalitti. Niat amat baik pemerintah membenahi sepak bola Tanah Air jangan sampai menjadi "bola liar" dan kembali menjadi blunder. Kucuran dana APBN melalui Tim Transisi dalam proses pengambilalihan tugas PSSI, apalagi mengelola liga, berpotensi jadi masalah baru. Tidak boleh dilupakan, dana APBN dan APBD diharamkan untuk olahraga profesional, termasuk sepak bola.

Pembentukan Tim Transisi, jikapun harus terjadi, tak boleh "diboncengi" kepentingan masa lalu. Sebab, ini bakal menimbulkan kecurigaan dan kian meruncingkan perseteruan dengan PSSI. Terbukti, La Nyalla selaku Ketua Umum PSSI terpilih berancang-ancang melawan putusan sanksi pemerintah ke PTUN.

Jika Menpora berniat tulus membenahi sepak bola, sebaiknya dimulai dari persoalan awal kisruh: menyelesaikan dualisme Arema dan Persebaya seraya memperkuat BOPI secara finansial dan SDM. Sebagai pembina olahraga tertinggi di Tanah Air, Imam bisa memulainya dengan turun dan blusukan menengahi penyelesaian dualisme klub itu. Apalagi, jika Imam tidak lupa, di awal masa tugasnya ia kerap blusukan untuk mengobservasi masalah dan menjalin silaturahim dengan para pemangku kepentingan olahraga.

Di sisi lain, ini adalah momentum La Nyalla. Dia bisa menjadi hero (penyelamat) atau villain (musuh). La Nyalla tidak boleh lupa, kepercayaan publik terhadap PSSI tengah di titik nadir. Mereka jengah dengan berita negatif di sepak bola seperti match fixing, pengabaian nasib pemain, hingga prestasi buruk timnas. Ini mesti mencambuk PSSI untuk berbenah dan bersikap tegas terhadap klub yang membandel. Inilah ujian untuk La Nyalla. Berani tidak ia menegur atau menghukum Persebaya, mengabaikan ego pribadi dan politik, demi melindungi kompetisi?

Sebagai induk organisasi tertua di Tanah Air-bahkan lebih tua dari usia republik ini-PSSI dituntut dewasa dan menjadi panutan. Tak bisa arogan dan selalu berlindung pada ketiak FIFA sebagai induk semang. PSSI tak boleh lupa diri. Mereka hidup di Bumi Pertiwi yang punya pemerintahan dan aturan untuk melindungi warga. Upaya membenahi sepak bola hanya bisa sukses jika didukung pemerintah, baik terkait sarana, pembinaan usia dini, maupun pemberantasan match fixing.

Jangan ngomong pengorbanan di sepak bola jika kedua pihak tidak mau menurunkan ego dan adu kekuatan. Jadi, hentikan mencuri "panggung" sepak bola. Kembalikan sepak bola negeri ini kepada para pemain, pelatih, dan ofisial. Sebab, merekalah para aktor, pemilik sepak bola yang sesungguhnya.

http://print.kompas.com/baca/2015/04/20/Melawan-Lupa-untuk-Sepak-Bola-Indonesia