Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Perppu Anti-Terorisme Dirancang, Kunci Melawan Radikalisme adalah Pluralisme

12/12/2018



Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyusun draf Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kehadiran perppu bertujuan untuk melengkapi undang-undang guna menjerat pelaku tindak terorisme secara hukum.

Sejumlah poin utama yang dibahas di dalam draf perppu tersebut di antaranya mengenai lama penahanan tersangka teroris yang telah ditangkap dari tujuh hari menjadi satu bulan. Revisi juga akan menyinggung ketentuan hukum bersifat retroaktif atau ketentuan hukum berlaku surut bagi pelaku teroris sebelum UU itu berlaku sekitar 12 tahun lalu.

Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris, Selasa (14/4), di Jakarta, mengatakan, di tengah upaya deradikalisasi dengan pendekatan budaya dan pendidikan, pihaknya juga menyusun usulan perppu untuk memperkuat UU Terorisme yang sudah ada. Penyusunan perppu itu diharapkan dapat memberikan efek jera bagi anggota radikal, salah satunya simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

"Perppu itu berfungsi untuk menyempurnakan UU Terorisme yang telah ada sehingga kehadiran perppu dapat memperluas jangkauan penegakan hukum bagi pelaku terorisme," kata Irfan.

Secara terpisah, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, perppu belum diperlukan untuk menjerat pelaku terorisme. Hikmahanto menyarankan, pemerintah sebaiknya merevisi UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme daripada menerbitkan perppu.

Untuk menindak para pelaku terorisme atau anggota gerakan radikal, seperti Negara Islam di Irak dan Suriah, penegak hukum bisa menerapkan Pasal 139a KUHP tentang makar. Selain itu, dapat pula mengacu pada sejumlah pasal di UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Namun, ia menekankan, Polri dan BNPT harus hati-hati menindak sejumlah terduga teroris yang terdiri dari perempuan dan anak-anak. Kehadiran perempuan dan anak-anak itu didasari keinginan mereka mengikuti suami yang telah terlebih dahulu menuju Timur Tengah sehingga penegakan hukum terhadap mereka dapat dilakukan lebih lunak.

"Tidak bisa ada pembiaran terhadap mereka (pelaku teroris). Penegak hukum seharusnya dapat mengoptimalkan sejumlah peraturan hukum yang telah tersedia. Hal itu dilakukan agar mereka merasakan efek jera dengan ancaman pidana tersebut," ujar Hikmahanto.

Nilai kemanusiaan

Secara terpisah, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Harris Azhar mengingatkan pemerintah agar melawan NIIS dan kelompok ekstremis dengan tetap mengedepankan nilai kemanusiaan. "Aktivis hak asasi manusia tidak mendukung terorisme. Aparat jangan sampai gagal paham perspektif HAM dalam kerja mereka. Masyarakat harus diberdayakan dalam menangkal NIIS dan bukan hanya mengandalkan pantauan Polri. Apalagi sekarang ada arahan tegas dari Presiden Joko Widodo dalam menangkal NIIS. Lembaga negara harus melakukan konsolidasi dan mengambil kebijakan integratif dalam hal ini," kata Harris.

Faktor kerja sama internasional juga penting dengan sikap tegas Indonesia dalam kasus Suriah dan Irak. "Dalam persoalan Timur Tengah jangan sampai Indonesia hanya termakan isu keagamaan. Harus ada sikap jelas dari negara sehingga orang Indonesia tidak terprovokasi menjadi radikal," kata Harris.

Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti mengatakan, kunci melawan radikalisme adalah menjunjung tinggi pluralisme, menegakkan hukum, dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih.

http://print.kompas.com/baca/2015/04/15/BNPT-Siapkan-Draf-Perppu