Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Wacana Bansos DPR 3-10 Miliar tiap anggota

12/12/2018



Ada agenda tambahan dalam sidang-sidang paripurna DPR periode 2014-2019, jika dibandingkan sidang paripurna DPR periode sebelumnya. Sidang paripurna DPR periode ini selalu diakhiri dengan agenda penyampaian usulan program pembangunan daerah pemilihan oleh para anggota DPR.

Dalam satu kali rapat paripurna, ada 20-30 usulan program pembangunan daerah pemilihan (dapil) yang diajukan para anggota DPR. Usulan itu pertama kali diajukan pada rapat paripurna 15 Januari lalu.

Saat itu, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menjelaskan, pengajuan usulan program pembangunan dapil merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pasal 80 UU itu menyatakan, salah satu hak anggota DPR adalah mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan dapil.

Hak itu merupakan hak baru yang dimiliki anggota DPR. Pemberian hak itu muncul di tengah pembahasan perubahan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 oleh DPR periode 2009-2014. Dalam draf awal RUU tersebut, ketentuan itu tidak masuk atau tidak diusulkan.

Mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU MD3 Benny K Harman menuturkan, adanya hak tersebut dimaksudkan untuk mencegah praktik mafia anggaran di parlemen.

Soal dana pembangunan dapil sebenarnya sudah pernah diusulkan Fraksi Partai Golkar (F-PG) pada tahun 2010. Saat itu, F-PG mengusulkan pengalokasian dana pembangunan sebesar Rp 15 miliar untuk tiap anggota DPR. Anggaran itu akan dimanfaatkan anggota DPR untuk membiayai pembangunan, di dapilnya. Namun, usulan itu gagal dibahas karena banyaknya protes dari masyarakat.

Wacana itu kembali mengemuka saat maraknya isu mafia anggaran sekitar tahun 2012. Kala itu sejumlah anggota DPR 2009-2014 berpandangan, mafia anggaran bisa dicegah dengan melegalkan praktik yang selama ini dianggap menyimpang, misalnya, dengan memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengusulkan program pembangunan untuk dapilnya.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menuturkan, untuk mencegah adanya penyimpangan dalam pelaksanaan program pembangunan dapil, anggota DPR hanya berhak mengusulkan, sementara pelaksana pembangunan tetap pemerintah.

Rumah aspirasi

Setiap anggota DPR 2014 - 2019, kini juga mendapat anggaran Rp 150 juta per tahun atau Rp 12,5 juta per bulan untuk membiayai rumah aspirasi mereka.

Dana tersebut didapat dari tambahan anggaran sebesar Rp 1,635 triliun untuk DPR dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang disahkan Februari lalu. Dengan alokasi tambahan itu, akumulasi anggaran DPR sepanjang 2015 mencapai Rp 5,192 triliun.

Dana rumah aspirasi sejauh ini memang belum dicairkan karena DPR masih menjalani masa reses sampai 22 Maret mendatang. Anggaran Rp 1,635 triliun, termasuk di dalamnya Rp 84 miliar untuk dana rumah aspirasi, diperkirakan baru akan cair pada bulan April.

Sekretaris Jenderal DPR RI Winantuningtyas Titi, berjanji penggunaan dana rumah aspirasi akan dilaporkan secara transparan.

"Bisa saja laporan keuangan penggunaan dana rumah aspirasi dipublikasikan di situs dpr.go.id. Publik dapat mengawasi setiap rupiah yang dipakai anggota DPR," kata Winantuningtyas.

Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Dimyati Natakusumah menambahkan, "Dana rumah aspirasi baru akan cair setelah anggota DPR melaporkan setiap rupiah yang mereka gunakan. Jadi, sistemnya, uang mereka diganti, batasnya Rp 12,5 juta. Ini untuk mengurangi potensi anggaran disalahgunakan," katanya.

Namun, Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengingatkan, "Sejauh ini, DPR tidak pernah menunjukkan komitmen pertanggungjawaban anggaran secara transparan. Apa dan siapa yang bisa menjamin kali ini kasusnya berbeda?"

Tunjangan

Lepas dari adanya potensi penyelewengan dan korupsi, dana rumah aspirasi sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan. Ini karena anggota DPR telah mendapat banyak anggaran dan tunjangan yang dapat dipakai untuk mengelola rumah aspirasi.

Berdasarkan rincian Bagian Administrasi Keuangan Sekretariat Jenderal DPR RI, setiap anggota telah mendapat alokasi tunjangan yang berkaitan dengan proses penyerapan aspirasi di daerah. Dari total penghasilan bulanan sekitar Rp 50 juta, di dalamnya ada tunjangan untuk penyerapan aspirasi masyarakat sebesar Rp 8,5 juta dan tunjangan komunikasi intensif sebesar Rp 14,1 juta.

Dengan demikian, total alokasi dana yang berhubungan dengan konstituen di daerah adalah Rp 22,6 juta per bulan. Apabila ditambah dengan dana rumah aspirasi yang direncanakan sebesar Rp 12,5 juta per bulan, seorang wakil rakyat mendapat Rp 35,1 juta.

Di luar tunjangan bulanan di atas, anggota DPR juga mendapatkan dana reses Rp 150 juta sekali reses. Ada empat kali reses dalam setahun, yang lamanya sekitar satu bulan. Sehingga dalam satu tahun, setiap anggota DPR mendapat uang reses Rp 600 juta.

Di samping pendapatan di atas, setiap anggota DPR masih mendapat sejumlah anggaran lain, seperti untuk melakukan kunjungan kerja di dalam maupun luar negeri, perjalanan ke dapil saat reses, hingga sosialisasi sidang "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara" yang berasal dari Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Korupsi

Melihat pendapatan anggota DPR saat ini, muncul pertanyaan, apakah sebagian dari mereka akan tetap korupsi?

Peneliti Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengatakan, peningkatan bantuan dana untuk anggota DPR belum tentu berbanding terbalik dengan tingkat korupsi. Menurut dia, tidak ada pengalaman yang menjamin, semakin banyak uang yang diterima, semakin kecil potensi korupsinya.

"Justru semakin banyak uang, ditambah dengan mekanisme pertanggungjawaban yang tidak transparan, akan memperbesar potensi korupsi," kata Donal.

Sejak era reformasi hingga saat ini, ada sekitar 70 anggota DPR yang menjadi tersangka korupsi. Korupsi yang dilakukan anggota DPR ini, umumnya terkait dengan kongkalikong anggaran proyek pemerintah yang juga melibatkan pejabat kementerian, pengusaha, hingga pejabat pemerintah daerah. Peran anggota DPR dalam kongkalikong ini, biasanya memperjuangkan atau mengamankan alokasi anggaran untuk proyek-proyek di kementerian atau pemda yang akan dijadikan bancakan.

Kasus pengurusan alokasi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID) tahun anggaran 2011 yang membuat (mantan) anggota DPR Wa Ode Nurhayati diproses hukum, menjadi salah satu contoh kongkalikong tersebut.

Kongkalikong lainnya, antara lain terlihat dalam kasus proyek pembangunan Wisma Atlet Sea Games dan sarana olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

Rekan sesama fraksi dengan Dimyati, yaitu Arsul Sani, membenarkan adanya pembicaraan tentang Dana Pembangunan Dapil. "Semacam dana bansos-nya angota DPR di dapil. Belum selesai ketuk palu, saya sebatas kasih saran karena saya tidak di BURT. Saya di Baleg," tutur Arsul.

Arsul membenarkan bahwa angka "Bansos DPR" ini memang besar. "Sedang berdebat besarannya antara 3 hingga 10 miliar rupiah, saya mengikuti saja mau berapa angkanya, silakan," lanjut Arsul.

 Arsul lebih menekankan terkait mekanisme bagaimana DPR menerima dana tersebut. Arsul menolah uang tersebut dipegang seutuhnya oleh anggota DPR."Prinsip saya, 100 persen uang tersebut harus diserahkan ke dapil, maka caranya bansos DPR ini diakumulasi sesuai jumlah Aleg tiap dapil, lalu diserahkan seutuhnya dan masuk dalam APBD," papar Arsul.

Setelah diserahkan, baru kemudian dana tersebut dieksekusi bersama antara anggota DPR dengan DPRD dan Kepala Daerah sesuai dapil. "Jadi jika suatu dapil yang terdiri 3 kabupaten ada 7 anggota DPR, dana bansos ketujuh orang tadi diakumulasi jadi satu lalu dibagi 3 sesuai jumlah kabupaten yang tercakup di dapil itu," tegas Arsul.

Bagi Arsul, cara itu akan jauh lebih memastikan dana "Bansos DPR" tak dikorup. "Pegang dana reses yang 150 juta saja pasti banyak bisikan, apalagi pegang 10 miliar," seloroh Arsul.

Apakah kasus-kasus seperti itu akan terulang kembali? Mudah-mudahan tidak.

(Anita Yossihara/Agnes Theodora/Fajar Marta)

Link asli (locked): http://print.kompas.com/baca/2015/03/19/Ketika-Anggaran-Wakil-Rakyat-Ditambah