Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas) Wajah Lembaga yang Tercoreng Kasus

12/12/2018



Kompas - Menyusul penurunan citra pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, pada periode enam bulan pemerintahan juga ditandai dengan menurunnya citra lembaga-lembaga negara. Sejumlah kasus hukum dan konsolidasi internal kelembagaan mewarnai penurunan citra lembaga-lembaga tersebut.

Secara umum, naik-turunnya kredibilitas lembaga negara di mata publik setidaknya dipengaruhi oleh sejauh mana kinerjanya dirasakan masyarakat dan seberapa kuat lembaga itu mempertahankan integritas dari penyalahgunaan wewenang. Dalam era keterbukaan informasi saat ini, publik lebih condong mendasarkan penilaian sejauh mana lembaga-lembaga tersebut mampu terbebas dari isu korupsi, suap, dan kasus hukum lainnya ketimbang hanya menilai kinerja lembaga tersebut.

Hal itu terlihat dalam tingginya citra lembaga-lembaga yang relatif ”sepi” dari berita keterlibatan kasus hukum dan relatif rendahnya lembaga-lembaga yang banyak dilingkupi kasus hukum. Salah satu yang selalu menonjol dalam berbagai jajak pendapat adalah sosok TNI yang dalam dua kali survei triwulanan ini tetap berada di posisi tertinggi dan secara statistik termasuk tak turun citra positifnya. Terhadap TNI, saat ini dan beberapa tahun terakhir, bisa dibilang hampir seluruh publik mengapresiasinya. Salah satu interpretasi saat ini, tentara semakin menjauhkan diri dari politik praktis dan bersikap hati-hati saat bersentuhan dengan rakyat.

Sementara itu, lembaga seperti Polri, setiap hari harus bersentuhan dengan kepentingan publik dan dinilai langsung kinerja dan integritasnya. Akibatnya, meski kinerja aparat polisi dalam pengaturan lalu lintas dan pengungkapan kasus-kasus kejahatan diapresiasi publik, secara citra kelembagaan, Polri tetap dinilai rendah. Penyebabnya, karena gambaran integritasnya.

Dalam jajak pendapat telepon Januari 2015, rasa aman responden atas kehadiran polisi di tempat-tempat umum berkisar 81,8-86,2 persen. Demikian pula angka kepuasan tinggi tercatat atas pengungkapan kasus narkoba dan terorisme. Namun, pada angka kepuasan kinerja umum dan citra lembaga, Polri hanya berkutat sekitar 50-an persen. Bagian terbesar responden menilai polisi masih rawan dengan hal-hal berbau suap dan sejenisnya.

Demikian pula di lembaga DPR, DPD, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan KPK yang mengalami sejumlah kemelut kasus dan penurunan citra selama triwulan terakhir. Sejumlah persepsi terkait kasus hukum membelit berbagai lembaga tersebut. Salah satu yang paling menonjol adalah gesekan kepentingan antarlembaga negara setelah pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri. Konflik yang tampak mengedepankan aspek kewenangan sektoral yang dimiliki lembaga-lembaga tersebut menyebabkan citra kedua lembaga terpengaruh dan cenderung menurun. Selain citra Polri yang turun, juga citra KPK yang menurun drastis di bawah separuh bagian responden saat pimpinan lembaga itu dituding terjerat sejumlah kasus hukum ataupun permainan politik menjelang Pilpres 2014.

Konflik itu, meskipun tak pernah diakui sebagai persoalan kelembagaan, sulit dihindari terbentuknya persepsi publik yang melihat persaingan, atau bahkan permusuhan antarsesama lembaga penegak hukum. Langkah KPK mengungkap kasus-kasus korupsi kakap begitu mencolok di tengah ”minimnya” pemberitaan catatan prestasi Polri menangani persoalan hukum dan konsolidasi internal. Jajak pendapat tentang KPK beberapa waktu lalu menunjukkan persepsi publik adanya upaya memperkecil kewenangan KPK atau mengebiri kemampuan pemberantasan korupsi KPK, baik oleh sesama penegak hukum, anggota DPR, maupun parpol.

Upaya-upaya itu mulai dari soal penahanan komisioner KPK dalam kasus Cicak versus Buaya jilid 1 awal 2012, seruan pembubaran/pembekuan KPK oleh segelintir politisi, hingga upaya merevisi Undang-Undang Pemberantasan Korupsi demi memangkas kewenangan penyadapan dan tangkap tangan KPK. Dalam kasus terakhir, pengusutan kasus dan upaya penahanan Ketua KPK Abraham Samad; upaya penangkapan dan penahanan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto; penahanan penyidik KPK, Novel Baswedan, kembali menguatkan dugaan adanya problem kelembagaan itu.

Naik-turunnya citra

Pengakuan publik berupa citra positif atas lembaga negara sesungguhnya merupakan wacana di ruang publik. Lembaga negara tak secara langsung menerima dampak dari penyikapan itu karena tidak secara langsung berhubungan, sebagaimana partai politik atau kandidat kepala daerah menerima dampak negatif berupa menurunnya pemilih dalam sebuah pemilu. Dampak citra negatif tampaknya akan ditabalkan atau dinobatkan publik pada rezim pemerintahan yang berjalan. Sebab, publik menganggap urusan kelembagaan merupakan ranah dan tanggung jawab penyelenggara negara.

Hal ini terekam dalam penilaian periode enam bulanan, yang menempatkan persoalan hukum antara KPK dan Polri yang sebenarnya berada di ranah elite, akhirnya merembes ke masyarakat. Dampaknya, gejolak di ranah hukum mengganggu citra di ranah lainnya, termasuk politik dan ekonomi. Dengan demikian, penurunan citra pemerintah bisa dibaca dalam perspektif menurunnya kualitas kinerja atau integritas lembaga negara yang ikut menurunkan kredibilitas pemerintah. Artinya, sekalipun penanggulangan persoalan ekonomi dan hukum tak bisa meninggalkan agenda perbaikan relasi kelembagaan negara, perbaikan citra dan kepercayaan publik seyogianya tercapai.

Fluktuasi citra lembaga yang paling parah pernah terjadi pada Mahkamah Konstitusi. Citra positif lembaga itu pernah merosot dari 65,2 persen (Maret 2013) menjadi hanya 8,8 persen (Oktober 2013). Penyebabnya, kasus jual-beli perkara Ketua MK, Akil Mochtar. Citra positif MK yang sebelumnya hampir menyamai KPK, dalam sekejap, jadi lembaga paling buruk. Publik seakan ”menghapus” fakta MK yang sebelumnya berprestasi seperti saat memutus pembubaran BP Migas (November 2012) dan melarang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (Juni 2012).

Berubahnya konteks sosial masyarakat juga menjadi penyebab naik-turunnya penilaian publik atas lembaga negara. Konteks awal era reformasi yang banyak diwarnai konflik sosial, kerusuhan, dan lonjakan harga bahan pokok membuat kebutuhan utama yang disuarakan publik lebih pada soal stabilitas politik, keamanan, dan turunnya harga-harga. Sementara saat kondisi sudah berjalan normal dalam era keterbukaan, persoalan yang paling disorot publik adalah soal korupsi, suap, dan penyalahgunaan wewenang.

Citra positif yang menggambarkan kepercayaan publik bisa kembali ke titik awal. Kini, terpulang kepada penyelenggara negara membenahi kredibilitasnya.

(TOTO SURYANINGTYAS/LITBANG KOMPAS)