Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Kompas.com) Komisi II DPR Kecewa, MK Anulir Pelarangan Mantan Napi Ikut Pilkada

12/12/2018



JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria mengaku kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menganulir pelarangan mantan narapidana ikut dalam pemilihan kepala daerah. Menurut Riza, putusan ini tidak sejalan dengan upaya menimbulkan efek jera. 

"Kami kecewa dengan putusan MK, kan undang-undang ini dibuat dengan mempertimbangkan kasus-kasus korupsi selama ini yangextraordinary sehingga harus ada hukuman lebih," kata Riza di Jakarta, Sabtu (11/7/2015). 

Riza menilai, pelarangan ini bukan berarti menutup ruang bagi mantan narapidana ikut dalam proses demokrasi, melainkan hanya membatasi lebih jauh. Lagi pula, menurut dia, mantan narapidana diberi jeda lima tahun setelah selesai menjalani masa pidananya.

"Tentu narapidana juga tidak dihalangi, punya hak asasi yang sama, kita tetap memberi ruang. Tetapi MK berpikiran bahwa selama sudah menjalani masa hukuman, sehingga dia (mantan narapidana) sudah kembali nol," tutur Riza. 

Meskipun demikian, DPR tetap menghormati putusan MK ini. Sebelumnya diberitakan, MK menganulir larangan mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai pilkada. (Baca: MK Anulir Larangan Mantan Narapidana Ikut Pilkada).

MK memutuskan bahwa Pasal 7 huruf g UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada) dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang narapidana yang bersangkutan jujur di depan publik. 

MK juga menghapus Penjelasan Pasal 7 huruf g yang memuat empat syarat bagi mantan narapidana agar bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah. (Baca: KPK Nilai Putusan MK soal Napi Ikut Pilkada Hambat Pemberantasan Korupsi) 

Penjelasan Pasal 7 huruf g UU Pilkada berbunyi: "Persyaratan ini tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung lima tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon dalam pemilihan jabatan publik yang dipilih (elected official) dan yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang. Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dikecualikan dari ketentuan ini." 

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan, ketentuan tersebut bentuk pengurangan hak yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu dan tidak sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dapat dicabut dengan putusan pengadilan. "Pencabutan hak pilih seseorang hanya dapat dilakukan dengan putusan hakim sebagai hukuman tambahan," kata anggota majelis hakim Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangannya. (Baca: Pimpinan Komisi III Dukung Mantan Napi Boleh Ikut Pilkada)

Patrialis mengatakan, UU tidak dapat mencabut hak pilih seseorang, melainkan hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945. "Apabila UU membatasi hak mantan narapidana tidak dapat mencalonkan dirinya menjadi kepala daerah, sama saja UU telah memberikan hukuman tambahan. Sedangkan UUD 1945 telah melarang memberlakukan diskriminasi kepada seluruh warganya," kata dia. 

MK menyatakan pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum (notoir feiten) pada akhirnya masyarakatlah yang menentukan pilihannya mau memillih mantan narapidana atau tidak. "Apabila mantan narapidana tersebut tidak mengemukakan kepada publik, maka berlaku syarat kedua putusan MK No. 4/PUU-VII/2009 yaitu lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya," kata Patrialis.

Namun, putusan MK tersebut tidak bulat karena dua anggota majelis menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Dua hakim itu adalah Maria Farida Indrati dan I Dewa Gede Palguna.