Berita Terkait
- (Tempo.co) RUU Pemilu, Ambang Batas Capres Dinilai Inkonstitusional
- (Media Indonesia) Peniadaan Ambang Batas Paling Adil
- (Tempo.co) Demo 4 November, Komisi III DPR Akan Bentuk Tim Pengawas
- (Media Indonesia) Gerindra Sepakat Parliamentary Threshold 3,5%
- (Bandung Express) Ada Keganjilan pada UU Pilkada Tentang Dana Kampanye
- (Tempo.co) Komisi Dalam Negeri DPR Sarankan KPU Atur Lembaga Survei
- (OkeZone.com) Lolos Verifikasi KPU, Partai Bisa Ajukan Capres
- (SindoNews.com) Parpol Baru Dilarang Nyapres, Parpol Besar Merajalela
- (TribunNews) Komisi II Sepakati Aturan Pencalonan Kepala Daerah bagi Parpol yang Bersengketa
- (Tempo.co) Ahok: Saya Dipaksa Ambil Cuti Kampanye, Adil atau Tidak?
- (Tempo.co) Kajian KPK: Ada Calon yang Hartanya Minus Maju di Pilkada
- (Media Indonesia) Nafsu Berkuasa di UU Pilkada
- (OkeZone.com) Protes Pasal 9A, KPU Akan Ajukan Judicial Review UU Pilkada
- Konsentrasi DPR Terhadap Fungsinya Pada Masa Sidang ke - 4 Tahun 2015 – 2016
- (SindoNews.com) UU Pilkada Direvisi, Nasdem Tantang Parpol Lain Siapkan Kader Lawan Ahok
- (Tempo.co) Revisi UU Pilkada, Kenapa DPR Perberat Syarat Calon Independen?
- (Tribun News) Partai Politik Masih Diperlukan Namun Perlu Direformasi
- (Tribun News) Kata Ahok, Butuh Rp 100 Miliar Jika Dicalonkan Partai Politik
- (Warta Ekonomi) BAWASLU Usul Revisi UU Cegah Politik Uang
- (Kompas.com) Muhaimin: Gubernur Itu Tidak Punya Rakyat
- (Kompas.com) Pasal 158 UU Pilkada Dinilai Jadi Penghalang Penegakan Keadilan
- (GalamediaNews) Ini Dia Penyebab Pilkada Serentak 2015 Rendah Partisipasi Pemilih
- (OkeZone.com) Drama Panjang Menuju Pilkada Serentak
- (Jawa Pos) Ini Usulan Sekjen PDIP ke KPU
- (SindoNews.com) Formappi Nilai Pilkada 2015 Bawa Setumpuk Persoalan
Kategori Berita
- News
- RUU Pilkada 2014
- MPR
- FollowDPR
- AirAsia QZ8501
- BBM & ESDM
- Polri-KPK
- APBN
- Freeport
- Prolegnas
- Konflik Golkar Kubu Ical-Agung Laksono
- ISIS
- Rangkuman
- TVRI-RRI
- RUU Tembakau
- PSSI
- Luar Negeri
- Olah Raga
- Keuangan & Perbankan
- Sosial
- Teknologi
- Desa
- Otonomi Daerah
- Paripurna
- Kode Etik & Kehormatan
- Budaya Film Seni
- BUMN
- Pendidikan
- Hukum
- Kesehatan
- RUU Larangan Minuman Beralkohol
- Pilkada Serentak
- Lingkungan Hidup
- Pangan
- Infrastruktur
- Kehutanan
- Pemerintah
- Ekonomi
- Pertanian & Perkebunan
- Transportasi & Perhubungan
- Pariwisata
- Agraria & Tata Ruang
- Reformasi Birokrasi
- RUU Prolegnas Prioritas 2015
- Tenaga Kerja
- Perikanan & Kelautan
- Investasi
- Pertahanan & Ketahanan
- Intelijen
- Komunikasi & Informatika
- Kepemiluan
- Kepolisian & Keamanan
- Kejaksaan & Pengadilan
- Pekerjaan Umum
- Perumahan Rakyat
- Meteorologi
- Perdagangan
- Perindustrian & Standarisasi Nasional
- Koperasi & UKM
- Agama
- Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak
- Kependudukan & Demografi
- Ekonomi Kreatif
- Perpustakaan
- Kinerja DPR
- Infografis
Koran Sindo 4 Oktober 2014, Opini, Mahfud MD: RUU dan Perppu Pilkada
Meski seringdisebut sebagai bangsa pelupa, mungkin masih banyak di antara kita yang tidak lupaketika pada 1997 tiba-tiba Menteri Penerangan (Menpen) Harmoko dicopot oleh Presiden Soeharto. Setelah berhasil mengantarkan Golkar menjadi pemenang pemilu (1997) dengan kisaran keme-nangan 73%, Ketua Umum Golkar yang juga Menteri Penerangan (Men-pen) itu pada Juni 1997 dicopot dari jabatannya sebagai menpen.
Presiden Soeharto tiba-tiba melakukan reshuffle kecil, mencopot Harmoko dan mengangkat Kepala Staf Angkatan Darat Hartono seba-gaimenpen. Harkomosendirikemu-dian diparkir, diangkat menjadi menteri urusan khusus tanpa me-nyebut khusus untuk apa. Biasanya kalau ada urusan khusus, kekhusus-annya disebutkan secara eksplisit, tetapi untuk Menteri Urusan Khu-sus Harmoko tidak disebutkan apa tugaskhususnya.
Ketika masyarakat sedang ribut dan bertanya-tanya tentang peris-tiwa politik itu, tiba-tiba ada peristiwabaru. Menpen yang baru, Hartono, mengumumkan bahvva Ran-cangan Undang-Undang tentang Penyiaran (RUU Penyiaran) yangsudah disetujui dalam sidang paripurna DPR saat Harmoko menjadi menpen akan direvisi dan dibahas lagi dengan DPR karena Presiden tidak setuju pada sebagian isinya. Presiden tidak mau menandatangani RUU itusebe-lum isinya diperbaiki.
Masyarakat pun ribut. Harmoko menjelaskan, RUU itu sudah dibahas secara intensif oleh pemerintah ber-sama DPR selama delapan bulan. Kata Harmoko dirinya, selaku men-pen, mewakili pemerintah dengan sebuah amanat presiden (ampres) untuk membahas RUU itu sampai akhirnya disepakati bersama DPR. Kok, tiba-tiba Presiden meminta menpen yang baru untuk memba-hasnya kembali bersama DPR?
Anggota DPR dari PPP Aisyah Amini berteriak, "Tak ada mekanis-me pembahasan kembali kalau sudah disetujui pemerintah dan DPR." Tapi karena waktu itu kekuatan Presiden sangat hegemonik, DPR yang diketuai Kharis Suhud tak dapat me-ngelak dan membahas kembali RUU itu bersama Menpen Hartono dan mengubah sebagian isinya.
Setelah itu, barulah Presiden Soehartomenandatangani RUU itu menjadi undang-undang (UU). Diam-diam masyarakat pun menyimpan trauma.
Karena trauma, tak lama setelah Reformasi, pada saat me lakukan amendemen tahap ke-dua atas UUD 1945 MPR me-nambahkan ayat baru atas Pasal 20 UUD 1945, yakni ayat (5) yang menegaskan, "Jika dalam 30 hari setelah disepakati ber-samaolehDPRdanpemerintah sebuah RUU tidak ditandata-ngani oleh presiden, maka RUUitu sah sebagai UU dan harus di-undangkan." Jadi sejarah lahir-nya Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 adalah untuk memagari agar presiden tidak punya pintu untuk menolak sebuah RUU yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan tidak mau menandatanganinya.
Maka itu menjadi menghe-bohkan ketika pada 26 September 2014 Presiden Susilo Bam-bang; Yudhoyono, dari Washington DC, menyatakan (mungkin) dirinya tidak akan menandatangani RUU terse-but, bahkan mungkin akan menempuh jalur hukum ke MK atau ke MA. MensesnegSudi Si-lalahi pun, kalau pers tak salah kutip, membuat pemyataan aneh saat menegaskan, "RUU tak bisa berlaku menjadi UU kalau tidak ditandatangani oleh Presiden." Agak mengheran-kan, Presiden dan Mensesneg, saat itu, tak mengaitkan sama sekali pernyataannya dengan Pasal 20 ayat (5) dan sejarah yang melatarbelakanginya baik sebagai tafsirgramatis maupun sebagai tafsir historis.
Lebih jauh dari itu, saat bertemu khusus dengan Yusril Ihza Mahendra di Tokyo, Presiden SBY meminta saran kepada pa-kar hukum tata negara tersebut. Saran Yusril mengagetkan juga, yakni agar Presiden SBY maupun Jokowi tidak menandatangani RUU tersebut. Bahkan, masih saran Yusril, setelah dilantik sebagai presiden Jokowi mengemba-likansajaRUUitukeDPR.
Saya berbeda pendapat dengan Yusril. Menurut saya saran Yusril agar Jokowi me-ngembalikan RUU itu ke DPR bisa memasukkan Jokowi ke dalam situasi sulit. Presiden (SBY maupun Jokowi) bolehsaja tidak menandatangani sebuah RUU, sebab berdasar Pasal 20 ayat (5) sebuah RUU bisa berlaku sah sebagai UU baik ditandatangani maupun tidak ditandatangani oleh presiden. Tapi kalau mengembalikan sebuah RUU yang sudah disepakati bersama bisa diartikan presiden menggunakankewenangannya dengan melanggar hak konstitusional DPR. Hal itu bisa me-nimbulkan sengketa kewe-nangan yang bisa berujung ke pendakwaan politik (impeachment). Pandangan saya ini tentu bisa diperdebatkan.
Untungnya, masalahnya kini telah bergeser. Presiden SBY pada 2 Oktober 2014 telah menandatangani RUU tersebut sekaligus mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membatalkannya. Secara yuridis prosedural, presiden tidak salah mengeluarkan perppuka-renakewenanganuntukitume-mang diberikan oleh Pasal 22 UUD 1945.
Perppu adalah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang secara hierarkis setingkat dengan UU. Tapi, meski se-tingkat dengan UU, karena di-buat dalam keadaan genting dan memaksa, keberlakuan perppu dibatasi hanya sampai masa sidang DPR berikutnya. Dalam masa keberlakuannya itu perppubisa diuji melalui legislative review di DPR untuk ditentukan, apakah akan disetujui menjadi UU ataukah akan ditolak. Seperti halnya UU, perppu yang masih harus diuji di DPR tersebut bisa juga diuji ke MKmelalui judicial review. Alhamdulillah, ribut-ribut soal pilkada kini sudahmereda