Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Media Indonesia) Uang Mahar Masih Mengakar

12/12/2018



PEMILIHAN kepala daerah serentak 9 Desember 2015 di 269 daerah telah memasuki tahapan pendaftaran calon. Proses suksesi kepemimpinan lokal itu menjadi tonggak penting dalam regenerasi kepemimpinan nasional. Karena itu, seluruh tahapan pilkada serentak mestinya berjalan transparan dan penuh integritas.

Namun, di titik itulah perkara gawat transaksi politik masih menganga. Kendati dalam berbagai kesempatan pimpinan partai politik telah memberi jaminan bahwa dukungan yang diberikan tanpa mahar politik, tetap saja isu jual beli dukungan bagi calon yang akan menggunakan parpol menyeruak.

Setidaknya, ada tiga bakal kandidat yang berani membuka ke publik perihal permintaan 'uang perahu' untuk mendapatkan dukungan sejumlah partai politik dalam pencalonan mereka sebagai kepala daerah. Ketiganya ialah Sebastian Salang, Asmadi Lubis, dan Kabel Saragih. Mereka harus mengurungkan niat bertarung di pilkada gara-gara tak sudi membayar uang mahar yang diminta.

Sebastian di Kabupaten Manggarai, Asmadi di Kabupaten Toba Samosir, dan Kabel Saragih di Simalungun. Inilah ancaman nyata bagi demokrasi, saat uang menjadi penentu utama dalam proses kepemimpinan. Pengakuan Sebastian, Asmadi, dan Kabel boleh jadi barulah puncak gunung es praktik uang mahar.

Tidak tertutup kemungkinan banyak bakal calon kepala daerah lain mengalami hal yang sama, tetapi mereka mau saja mengikuti keinginan partai politik untuk menyerahkan mahar. Dengan pola rekrutmen yang berfondasi pada akar transaksional tersebut, hampir pasti para calon kepala daerah ketika terpilih nanti tidak akan mementingkan masyarakat yang sudah memilih mereka.

Sebaliknya, kepala daerah justru akan mengupayakan berbagai cara untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan sebagai mahar. Praktik mahar yang diyakini menjadi rumus umum tersebut jelas potensial menjadi cikal bakal korupsi. Data sebelumnya telah mengonfirmasikan hal itu.

Kementerian Dalam Negeri mencatat hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi. Jelas ada yang keliru dengan perilaku seperti itu. Padahal, UU 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota telah menegaskan biaya kampanye ditanggung negara.

Undang-undang tersebut juga membubuhkan sanksi tegas bagi pelaku praktik uang mahar. Dalam Pasal 47 UU disebutkan tiga bentuk sanksi. Pertama, jika terbukti dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, parpol yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama.

Kedua, terkait dengan pembayaran mahar atau imbalan tersebut, KPU dapat membatalkan penetapan calon kepala daerah. Ketiga, parpol atau gabungan parpol yang terbukti menerima imbalan atau mahar akan didenda 10 kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.

Kini saatnya perilaku transaksional diakhiri karena hal itu bertentangan dengan semangat rakyat yang menginginkan pilkada menghasilkan kepala daerah berkualitas dan berintegritas. Pilkada yang harusnya menjadi tonggak pembentukan kelembagaan demokrasi teramat sayang bila dinodai dengan praktik lancung uang mahar. Dengan memilih kepala daerah yang memiliki kompetensi dan berintegritas, akan terwujud daerah dengan tata kelola yang baik.