APAKAH lebih besar itu pasti lebih baik (bigger is better)? Pertanyaan ini akan menarik jika diajukan kepada Jean Tirole, ekonom Perancis yang baru saja meraih Nobel Ekonomi 2014.

Tirole meneliti pasar dengan kompetisi tak sempurna. Pada kondisi ini, ada satu atau beberapa perusahaan yang mendominasi pasar. Mereka memiliki kekuatan pasar (market power) untuk menaikkan harga sehingga dapat merugikan konsumen. Untuk itu diperlukan regulasi spesifik terhadap perusahaan besar.

Momen Nobel Ekonomi 2014 ini membawa refleksi bagi kita untuk mempertanyakan kembali adagium bigger is better. Tak lama berselang setelah pengumuman Nobel Ekonomi 2014, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan dilantik. Rezim baru ini membawa visinya untuk mendorong penguatan desa serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Visi ini seolah membawa pesan yang sejalan, yaitu sejatinya small is beautiful.

”Jokowinomics”

Pergantian rezim bukanlah persoalan pergantian penguasa semata. Ia sejatinya merupakan transformasi cara pandang. Perubahan ide-ide dalam mengelola negara. Lalu apakah ide-ide baru dalam rezim ini? Lebih khusus lagi adalah pertanyaan bagaimana pendekatan Jokowi dalam pembangunan sosio-ekonomi (bolehlah kita sebut sebagai Jokowinomics) akan dijalankan?

Fachry Ali di harian Kompas tanggal 14 Oktober 2014 menyebutkan, ”Jokowinomics pada dasarnya adalah program pengeluaran besar-besaran (massive and expansive spending program)”. Mari kita memeriksa lebih lanjut ungkapan tersebut.

Franklin Roosevelt, Ronald Reagan, dan Barack Obama sama-sama membuat program pengeluaran besar, yang terukur melalui perbandingan belanja terhadap produk domestik bruto. Lalu mana yang lebih dekat ke Jokowinomics? Rooseveltnomics, Reaganomics, atau Obamanomics?

Walaupun sama-sama melakukan pengeluaran besar-besaran, karakter kebijakan ketiganya sangat berbeda. Kebijakan Reagan cenderung bersifat neoliberal, sementara Obama cenderung progresif. Kita tidak dapat menggunakan pengeluaran sebagai pembeda.

Untuk mendefinisikan Jokowinomics, ada baiknya melihat kembali visi dan misi kampanye Jokowi-JK. Dari dokumen tersebut akan terlihat Jokowinomics sebagai ”upaya membangun kekuatan ekonomi kolektif yang masif dan berjejaring”.

Jokowinomics adalah skema yang kompleks. Pada kesempatan ini penulis akan coba membahas satu agenda dari sembilan agenda prioritas Jokowi-JK (Nawa Cita). Pada butir ketiga Nawa Cita disebutkan: ”Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan”.

Tiga karang

Tak ada gagasan yang tumbuh dalam ruangan hampa. Untuk memahami sebuah ide, kita harus memahami konteks ketika gagasan itu dilahirkan. Demikian juga dengan komitmen Jokowi-JK untuk memperkuat desa. Gagasan ini lahir dari situasi aktual bangsa ini yang berhadapan dengan tiga karang besar, yang tidak pernah dijumpai sebelumnya.

Tantangan pertama adalah kesenjangan ekonomi, yang diukur melalui indeks gini. Badan Pusat Statistik menyebutkan, indeks gini Indonesia sejak tahun 2011 telah menembus angka 0,41. Ini memecahkan rekor tahun 1978 (0,39). Kesenjangan bukanlah hanya persoalan ekonomi, ia juga persoalan politik. Sejumlah penelitian empiris mengonfirmasi hubungan dua arah antara kesenjangan dan demokrasi. Tingkat kesenjangan tinggi akan merusak kualitas demokrasi. Demikian juga sebaliknya.

Batu karang kedua adalah defisit perdagangan. Setelah 50 tahun menikmati surplus perdagangan, Indonesia akhirnya jatuh ke dalam defisit. Neraca perdagangan tahun 2012 dan 2013 mengalami defisit 1,63 miliar dollar AS dan 4,08 miliar dollar AS. Sebelumnya, defisit terjadi tahun 1961 saat pemerintah mengimpor banyak senjata untuk mempertahankan Irian Barat. Defisit harus menjadi perhatian serius demi kesinambungan ekonomi dan politik bangsa ini ke depan.

Tantangan ketiga adalah urbanisasi. Tahun 1980, sekitar 78 persen penduduk Indonesia ada di perdesaan.  Saat ini situasinya berbeda. Tahun 2013 penduduk kota dan desa nyaris berimbang, 50,15 persen penduduk Indonesia berada di desa dan 49,85 persen di kota. Diperkirakan awal tahun 2015 akan tercipta rekor baru. Jumlah penduduk kota akan melewati penduduk desa. Jika tren ini berlanjut, diperkirakan tahun 2045 sekitar 86 persen penduduk tinggal di kota.

Total luas wilayah kota hanya sekitar 3,5 persen dari luas wilayah Indonesia. Jika urbanisasi tidak ditahan, pada 100 tahun kemerdekaan Indonesia, 3,5 persen luas wilayah itu harus menampung 86 persen penduduk. Permasalahan sosial di kota, seperti permukiman kumuh, kriminalitas, kemacetan, dan polusi, dapat menjadi semakin buruk. Sementara itu, di desa banyak potensi tidak tergarap.

Mendayung di antara karang

Rezim baru ini harus mendayung perahu kebangsaan kita melewati tiga batu karang besar tersebut. Untungnya ada celah sempit di sana. Jika kita mampu menembus celah ini, ketiga batu karang tersebut dapat dilewati bersamaan.

Celah tersebut adalah dengan melaksanakan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa secara konsisten. Ada enam semangat utama dalam UU ini, yaitu penghargaan atas keberagaman, payung hukum pemerintahan desa, memberi anggaran langsung ke desa, participatory budgeting, membuka kesempatan berusaha melalui badan usaha milik desa, dan mendorong proses transfer teknologi.

Namun, perlu diingat, ada arus liar di celah sempit itu. Penggelontoran dana tanpa disertai sistem pengawasan yang baik dapat menjadi kontra produktif. Untuk itu UU Desa telah dibekali dengan ”senjata” khusus, yaitu melibatkan partisipasi masyarakat (Pasal 82) dan pembangunan sistem informasi (Pasal 86).

Upaya mendorong anggaran dan teknologi ke desa diharapkan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi di desa. Hal ini pada akhirnya akan menurunkan indeks gini, mengurangi defisit perdagangan, dan menghambat urbanisasi secara simultan.

Salah satu implementasi nyata visi ini adalah di bidang energi. Tahun 2025 diperkirakan Indonesia harus mengimpor 1,5 juta barrel bahan bakar minyak per hari dengan harga diperkirakan 200 dollar AS per barrel.

Jawaban atas masalah ini adalah ”desa mandiri energi”, yaitu dengan membangun industri kecil bioenergi secara masif di desa-desa. Pada skenario pesimistis saja, hanya mampu mengurangi impor 10 persen pada 2025, dampak yang diberikan sudah sangat signifikan. Program ini diperkirakan akan dapat mengurangi indeks gini 1-3 poin, memperkuat neraca perdagangan 10,8 miliar dollar AS per tahun, mengurangi laju urbanisasi 12-33 persen, dan menambah pertumbuhan ekonomi 0,3-0,5 persen.

Tantangan aktual bangsa ini saat ini tak membutuhkan langkah besar dari seorang raksasa. Yang lebih dibutuhkan adalah langkah kecil dari banyak orang yang berjejaring dan bekerja sama, yaitu langkah-langkah kecil dari pelosok desa di penjuru negeri. Sebab, sejatinya ”Desa Hebat” melalui Jokowinomics adalah jembatan emas menuju ”Indonesia Hebat”.

Budiman Sudjatmiko Kader PDI-P dan Tim Skenario Bandung untuk Kebijakan Energi 2030