Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Berita Terkait

Kategori Berita

(Tempo) Opini: Matahari Kembar di Polri. oleh Joko Riyanto

12/12/2018



Joko Riyanto,
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Komisaris Jenderal Budi Gunawan dilantik menjadi Wakil Kepala Kepolisian RI dalam upacara tertutup di Markas Besar Polri, Jakarta, Rabu (22 April 2015). Anehnya, pelantikan itu sangat singkat dan hanya dihadiri sejumlah perwira tinggi Polri serta seorang anggota Komisi Kepolisian Nasional.

Kita layak bertanya: mengapa harus Budi Gunawan? Padahal Presiden Jokowi membatalkan Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri dengan alasan sosiologis, yakni untuk "menjaga ketenangan dalam masyarakat". Dulu, salah satu kegaduhan politik yang cukup signifikan adalah pengusulan dan pengangkatan BG sebagai calon Kapolri. Sekarang justru Jokowi merestui BG dan dilantik sebagai Wakil Kepala Polri (Wakapolri). Padahal penolakan masyarakat terhadap BG sebagai Wakapolri sangat kuat. Ini artinya, Presiden mengabaikan alasan "demi ketenangan publik". Ia memilih memenuhi desakan partai-partai politik. Ia pun seolah memberi legitimasi terhadap klaim elite kepolisian bahwa pelantikan kemarin merupakan "rehabilitasi atas nama baik BG" (Koran Tempo, 23 April 2015).

Sejumlah koalisi masyarakat sipil khawatir akan munculnya potensi dualisme kepemimpinan atau "matahari kembar" di Polri. Mereka khawatir Kapolri Badrodin Haiti tidak akan efektif memimpin karena memiliki wakil dengan pengaruh yang sangat besar di tubuh Polri. Saya justru lebih khawatir Badrodin Haiti hanya dijadikan "Kapolri boneka". Bukan tidak mungkin, Badrodin akan "disetir" oleh BG dalam setiap kebijakannya karena BG punya pengalaman, kepandaian, dan pengaruh kuat dalam Polri. Apalagi, anak buah BG menduduki posisi strategis, seperti Budi Waseso yang menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Viktor Edison Simanjuntak sebagai Direktur Tindak Pidana Khusus, dan Anton Charliyan yang menjadi Kepala Divisi Humas.

Namun Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah menegaskan bahwa tak ada "matahari kembar" di tubuh Polri. Dia memastikan tak ada perpecahan dengan memilih Komjen BG sebagai Wakapolri. "Saya Kapolri. Saya pegang komando. Semua ikut perintah saya," kata Badrodin. Kita belum sepenuhnya percaya atas penegasan Kapolri. Maka adalah tugas kita bersama masyarakat untuk terus mengawasi kinerja pimpinan Polri. Potensi "matahari kembar" di Polri memang harus diwaspadai, tapi satu hal yang terpenting adalah menyangkut status tersangka yang ditetapkan oleh KPK terhadap BG.

Meski status tersangka digugurkan oleh putusan praperadilan kontroversial Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, proses hukum BG sebenarnya belum menyentuh substansi perkaranya. Kasus BG telah dilimpahkan ke kepolisian, ini artinya "jeruk makan jeruk". Publik curiga kasus BG akan dihentikan, apalagi berkas kasus BG akan ditangani anak buah BG. Nah, supaya tidak ada anggapan ada "matahari kembar" di Polri, kepolisian harus independen dan profesional menuntaskan kasus hukum BG.

Sebaiknya Presiden Jokowi memerintahkan Kapolri agar terbuka menyikapi kasus BG. Sangat baik langkah Polri yang ingin melakukan gelar perkara kasus BG. Dengan demikian, Polri tidak terus-terusan dicurigai melindungi orang-orangnya sendiri dan menghapus stigma polisi korup.

 

http://koran.tempo.co/konten/2015/04/24/371172/Matahari-Kembar-di-Polri