Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pengambilan Keputusan RUU Pekerja Sosial serta RUU Pesantren dan Lembaga Keagamaan menjadi RUU Usul Inisiatif DPR - Rapat Pleno Baleg

Ditulis Tanggal: 16 Apr 2019,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Panja RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan Baleg

Pada 13 September 2018, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI menggelar rapat Pleno mengenai pengambilan keputusan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Sosial serta RUU Pesantren dan Lembaga Keagamaan untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR. Rapat dibuka dan dipimpin oleh Supratman Andi dari Fraksi Gerindra dapil Sulawesi Tengah pada pukul 14:59 WIB dengan skorsing 3 menit karena rapat baru dihadiri oleh 26 anggota dari 9 fraksi. Rapat dinyatakan terbuka untuk umum.

Sebagai Pengantar, Supratman menyatakan bahwa agenda rapat adalah mendegarkan laporan Panja dan pengambilan kepurusan RUU Pekerja Sosial serta RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan. Adapun RUU Pekerja Sosial diusulkan oleh Komisi 8

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Panja RUU Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan Baleg

Berikut merupakan pemaparan dan laporan Panitia Kerja RUU Pekerja Sosial dan RUU Pesantren dan Lembaga Keagamaan:

Laporan Panja disampaikan oleh Sarmuji dari Fraksi Golkar dapil Jawa Timur 6, sebagai berikut:

· Baleg sebagai Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR memiliki kewenanangan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi sebelum Rancangan Undang-Undang (RUU) dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat II pada sidang Paripurna.

· Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU tentang Pekerja Sosial telah dibahas
secara intensif dan mendalam dalam rapat Baleg pada tanggal 5 September 2018 dan 12 September 2018.

· Hal-hal pokok yang mengemuka dalam pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
RUU ini kemudian disepakati dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) bersama pengusul. Secara garis besar, pembahasan tersebut berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Terkait dengan judul RUU mengenai pekerja sosial yang disepakati oleh Panja, dari semula berjudul “RUU tentang Praktik Pekerja Sosial” diganti menjadi “RUU tentang Pekerja Sosial” hal ini disebabkan karena yang dominan diatur dalam RUU ini adalah pekerja sosial sebagai suatu profesi;

2. Terkait dengan perbaikan konsideran menimbang huruf D. Konsideran huruf D telah disempurnakan redaksional dengan merubah frasa “ketentuan perundang-undangan” menjadi frasa “undang-undang”;

3. Syarat uji kompetensi bagi sarjana bidang ilmu sosial dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a, yang sebelumnya mensyaratkan dengan kata “lulus” diganti dengan frasa “telah mengikuti” pendidikan dan pelatihan yang telah terakreditasi. Selanjutnya diberikan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf b, bahwa yang dimaksud dengan “telah mengikuti pendidikan dan pelatihan kesejahteraan sosial” adalah mereka yang telah mendapatkan sertifikat dari lembaga yang menyelenggarakan.

4. Ketentuan mengenai Surat Izin Praktik Pekerja Sosial (SIPPS) dalam Pasal 29 ayat (2) perlu penyempurnaan redaksional untuk kejelasan dengan mengganti subjek dari “SIPPS” menjadi “Pekerja Sosial”;

5. Imbalan jasa bagi mereka yang miskin dan yang terkena musibah merupakan orang atau orang sekelompok orang yang tergolong miskin atau sedang dalam masalah;

6. Judul Bab VII yang sebelumnya mengenai “Organisasi Pekerja Sosial” yang di dalamnya juga mengatur mengenai “Kode Etik dan Dewan Kehormatan”, maka selanjutnya dipisah menjadi 2 Bab, yaitu: (i) Bab
“Organisasi Pekerja Sosial” yang meliputi Pasal 37 dan Pasal 39 dan Bab “Dewan Kehormataan” meliputi Pasal 40 dan Pasal 41;

7. Ketentuan dalam frasa “bekerja sama dengan Organisasi Pekerja Sosial” dalam Pasal 43 huruf e dihapus dan frasa “oleh Organisasi Pekerja Sosial” dalam Pasal 43 huruf f dihapus karena mengenai Organisasi Pekerja Sosial sebaiknya diatur tersendiri dalam Peraturan Pemerintah atau dibuat oleh Peraturan Organisasi Pekerja Sosial itu sendiri;

8. Frasa “tenaga kesejahteraan sosial, penyuluh sosial, dan relawan sosial” dalam Pasal 49 ayat (1) dihapus karena RUU ini hanya mengatur mengenai “Pekerja Sosial”, ehingga rumusan Pasal 49 diperbaiki redaksi maupun substansinya;

9. Dalam Bab X Ketentuan Penutup diperlukan perbaikan rumusan Pasal 53 secara keseluruhan agar tercipta kejelasan rumusan serta disesuaikan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011tentang Pembentukan Perundang-Undangan dengan menggabungkan Pasal 54 dalam Pasal 53 ayat (2) dipindah ke dalam Bab IX tentang Ketentuan Peralihan agar tercipta kejelasan rumusan;

10. Ketentuan dalam Bab X tentang ketentuan penutup perlu ditambahkan mengenai “post legislative scrutiny” terkait pelaksanaan Undang-Undang ini setelah tiga tahun diberlakukan, sehingga sesuai amanat Undang-Undang MD3 agar pelaksanaan Undang-Undang dapat sesuai dengan tujuan pembentukannya, dan dampak yang ditimbulkan oleh Undang-Undang dapat segera dievaluasi manakala menimbulkan efek negatif bagi pemangku kepentingan dan masyarakat.

· Mengenai RUU Pesantren dan Lembaga Keagamaan, Baleg DPR-RI telah mendapat surat dari pimpinan Fraksi PPP Nomor: 1235/KD/XI/2017 pada tanggal 20 November 2017, dan surat dari pimpinan Fraksi PKB Nomor: B.11.204/FPKB/DPR-RI/1/2018, Januari 2018 yang pada intinya meminta Baleg untuk melakukan harmonisasi atas RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan tersebut. Berdasarkan surat itu, maka Baleg membentuk Panja Harmonisasi RUU tentang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Laporan Panja mengenai harmonisasi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah sebagai berikut:

1. Perumusan RUU Pesantren harus memperhatikan tiga fungsi pesantren, yaitu: sebagai Lembaga Pendidikan, Lembaga Penyiaran Ajaran Agama (Dakwah Islam), dan Lembaga Pemberdayan Masyarakat;

2. Pengaturan mengenai pendirian pesantren sebagai subkultur indegenius masyarakat Islam harus bersifat terbuka dan tidak dibatasi pengakuan keberadaanya dengan hanya sebatas mengakui yang berbadan hukum saja;

3. Perbaikan rumusan terkait ketentuan mengenai Pendidikan Keagamaan Islam terkait pendidikan diniyah, pendidikan pesantren dan program pendidikan lain, serta terkait penyelenggaraan pendidikan keagamaan Kristen, Katolik, Hindu, budha, dan Konghucu;

4. Ketentuan mengenai pemantauan undang-undang (post legislative scrutiny) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam ketentuan penutup Undang-Undang ini dengan rumusan: “Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada DPR paling lama tiga tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan”.

· Panja berpendapat bahwa usulan RUU Pekerja Sosial dan usulan RUU Pesantren dan Lembaga Keagamaan yang ada dalam tahap pengharmonisasian tersebut dapat menjadi RUU usul inisiatif DPR, tetapi Panja tetap akan menyerahkan keputusan kepada Baleg.

Berikut merupakan pemaparan Pimpinan Baleg, Supratman Andi dari Fraksi Gerindra dapil Sulawesi Tengah:

· Setiap fraksi diharap menyerahkan pandangan tertulis terkait dengan usulan RUU Pekerja Sosial dan RUU Lembaga Pesantren dan Keagamaan.

· Setelah semua fraksi menyetujui, maka selanjutnya setiap fraksi dapat menandatangani usulan RUU ini.


Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan