Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pembahasan DIM RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) - Rapat Panja Baleg dengan Menteri PP-PA, Wakil Menteri Hukum & HAM, dan TA Baleg DPR-RI

Tanggal Rapat: 28 Mar 2022, Ditulis Tanggal: 5 Mar 2024,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Tim Pemerintah

Pada 28 Maret 2022, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI melaksanakan Rapat Panja dengan Menteri PP-PA, Wakil Menteri Hukum & HAM, dan TA Baleg DPR-RI tentang pembahasan DIM RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Rapat dipimpin dan dibuka oleh Willy Aditya dari Fraksi Nasdem dapil Jawa Timur 11 pada pukul 14.00 WIB. (Ilustrasi: Kompas.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
  • Sudah disampaikan oleh Pimpinan Ketua Panja bahwa DIM terdiri dari 588 DIM pada RUU TPKS yang terdiri dari 167 Tetap, 68 Redaksional, 31 Reposisi terkait substansi.
  • Jika dari Pemerintah ada 202 DIM yang substansi dan substansi baru 120 DIM. Pada kesempatan ini, kami sampaikan terkait dengan DIM RUU TPKS terdiri dari DIM Tetap 24 DIM, DIM Redaksional 70 DIM, DIM Substansi 34 DIM, dan DIM Substansi Baru 119 DIM.
  • Dari keseluruhan DIM ini terangkum di dalam 12 Bab dan 81 Pasal. Secara substansi krusial dari Pemerintah dapat kami sampaikan dari 12 Bab 81 Pasal ini adalah yang pertama pengaturan mengenai pengertian korban, saksi, keluarga, pelayanan terpadu, UPTD PPA, pendamping, penanganan, perlindungan, pemulihan, rehabilitasi, termasuk lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat baik itu di Pemerintah Pusat & Daerah.
  • Di tingkat menteri, pengaturan jenis2 TPKS yang diuraikan dengan unsur-unsur pidananya. Selain itu juga diatur pemberatan hukuman untuk pelaku pidana tambahan tindakan berupa rehabilitasi, penetapan hakim terkait dengan restitusi.
  • Kemudian, pengaturan, perbuatan, dan mempengaruhi proses penyidikan penuntutan dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka terdakwa atau saksi dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual.
  • Terkait dengan pengaturan penyelenggaraan pelayanan terpadu baik di pusat maupun di daerah, pengaturan pencegahan kekerasan seksual termasuk memperhatikan aspek situasi dan lokasi serta mengenai koordinasi pencegahan dan penanganan korban baik itu di tingkat pusat maupun daerah.
  • Pengaturan pendanaan termasuk agar pendanaan juga dapat digunakan untuk layanan kesehatan dan pengaturan mengenai kerjasama internasional, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Itu gambaran umum terkait yang terangkum di dalam 12 Bab 81 Pasal.
  • Berkaitan dengan gambaran tersebut, tentunya pada kesempatan ini kami menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya terkait dengan DIM-DIM yang tetap tidak perlu bahas lagi.
  • Kita akan fokus membahas terkait dengan substansi dan substansi baru. Pada hakekatnya, pada kesempatan ini kami sampaikan terkait dengan DIM Substansi dan DIM Substansi Baru semuanya adalah memperkuat daripada pasal-pasal yang sudah diusulkan oleh DPR.
  • Adapun poin-poin dalam DIM Substansi demikian juga DIM Substansi Baru antara lain itu adalah terkait dengan pencegahan dan rehabilitasi, ketentuan pidana tindak kekerasan seksual, hukum acara dan penyelenggaraan pelayanan terpadu baik di pusat maupun daerah one stop services melalui UPTD TPA.
  • Yang krusial juga terkait dengan restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual. Mungkin poin-poin itu yang secara garis besar akan termuat di dalam DIM Substansi maupun DIM Substansi Baru.







Wakil Menteri Hukum dan HAM
  • Secara garis besar sudah disampaikan oleh Ibu Menteri PP-PA. Namun, kalau kita melihat sampai substansi dan substansi baru sebanyak 322 DIM sebenarnya itu semata-mata adalah memperkuat posisi yang telah disampaikan oleh Bapak/bu DPR, karena ini merupakan hak usul inisiatif DPR.
  • Substansi baru itu banyak pada persoalan ketentuan pidana maupun pada hukum acaranya. Hukum acara ini diatur amat sangat detail, karena berdasarkan Komnas HAM, KPAI, dan lain sebagainya terjadi kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan ada sekitar 6.000 kasus, sementara yang sampai ke pengadilan itu kurang dari 300. Berarti kurang dari 5%.
  • Kami yang berlatar belakang hukum menganggap ada sesuatu yang salah dengan hukum acara kita, sehingga kita memberikan perhatian terhadap hukum acara mengenai tindak pidana yang nanti akan dijelaskan pada saat pembahasan DIM.
  • Kita berharap hukum acara ini tidak hanya berlaku bagi ketentuan pidana yang ada di dalam undang-undang ini, tetapi juga berlaku bagi kekerasan seksual yang berada diluar undang-undang ini.
  • Kami selalu memberikan keyakinan kepada publik bahwa undang-undang ini tidak akan tumpang tindih dengan undang-undang yang lain, karena ketika membuat membahas DIM, kita menyandingkan dengan undang-undang existing baik UU Perlindungan terhadap Kekerasan Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, termasuk kita melakukan sandingan dengan UU Pengadilan HAM karena di dalam UU Pengadilan HAM itu ada 1 item yang berbicara soal penyiksaan seksual termasuk perbudakan seksual, tetapi dalam UU Pengadilan HAM itu tidak memberikan definisi.
  • Memang ciri dan karakteristik ketika kita melakukan adopsi terhadap beberapa ketentuan internasional, kita tidak menjelaskan secara terperinci. Agar tidak tumpang tindih, maka kita kemudian menjelaskan.
  • Mengenai ketentuan pidana, kita mencoba menghimpun berbagai ketentuan yang belum diatur di dalam undang-undang yang existing maupun dalam RKUHP dimasukkan ke dalam undang-undang ini.



Tim Pemerintah
  • Kata-kata norma agama dan budaya kita hilangkan, karena ketika berbicara mengenai KS multi etnis dan multi religi, sehingga kita menggunakan istilah yang lebih universal.
  • Seperti yang kami sampaikan bahwa yang bisa diproses di pengadilan saat ini di bawah 5%, kehadiran UU ini bisa memberikan suatu pandangan yang lebih progresif dalam hukum acara.
  • Ini merupakan salah satu prinsip di dalam asas legalitas bahwa ketentuan pidana itu tidak boleh redundant, sehingga tidak bisa kita definisikan KS sementara nanti itu akan tumpang tindih dengan unsur dari delik-delik, sehingga kita menghapus definisi KS pada Ketentuan Umum, kita masuk dalam Ketentuan Pidana dalam pasal-pasal.
  • Ketika judul UU ini adalah UU TPKS, itu memberi pesan kepada yang membaca bahwa ini hukum pidana khusus internal. Di Indonesia, kurang dari 10 UU yang termasuk hukum pidana khusus internal.
  • Karena judul UU ini adalah UU Tindak Pidana, ini sudah menandakan UU ini adalah lex spesialis. Di dalam UU lex spesialis sistematis, tidak boleh ada definisi yang ganda. Kalau ini dichallenge di MK, saya yakin 100% pasti akan dibatalkan.
  • Dalam Tim Pemerintah ini yang menyusun adalah teman-teman dari Kejaksaaan dan Kepolisian yang menangani ribuan kasus. Lex spesialis sistematis harus dihindari pencantuman definisi di dalam Ketentuan Umum. Saya mempetaruhkan keilmuan saya di dalam UU ini.
  • Kami merujuk bahwa ini adalah hukum pidana khusus yang internal yang merupakan UU khusus pidana, sehingga ketika menyusun definisi akan merujuk pada UU existing.
  • Mengenai definisi korban, kami merujuk kepada UU induknya yaitu UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sehingga tidak terjadi tumpang tindih. Kami merujuk kepada UU yang existing.
  • Ada 12 K/L yang terlibat dalam perumusan UU ini. Hari ini hadir dari LPSK. Untuk TPKS ini merupakan salah satu jenis TP prioritas yang disebutkan dalam UU 13/2006 yang diubah menjadi UU 31/2014. Jadi, Korban KS sudah termasuk di dalam definisi di UU 31/2014.
  • Kami sudah muat rinci dalam hukum acara bahkan ada statement dalam hukum acara bahwa keterangan korban disabilitas mempunyai kekuatan yang sama sebagai saksi.
  • Fungsi LPSK itu sangat luas, jadi tidak hanya sebatas pada UU ini. Dalam UU lain LPSK juga punya peran. Hukum acara di dalam UU ini, tidak hanya berlaku pada TPKS dalam UU ini saja, tetapi juga dalam UU lain. Kalau dibatasi terlalu sempit.
  • Ketika berbicara mengenai VTF artinya kita mengambil dana dari pihak ketiga utk menanggulangi restitusi terhadap korban KS. Jika nanti melihat pasal-pasal selanjutnya itu dipastikan korban KS pasti mendapatkan restitusi.
  • Di dalam DIM ini selain menjatuhkan pidana denda, hakim wajib menetapkan besaran restitusi. Namun, jika Pelaku tidak sanggup membayar restitusi, maka disitulah penting bagi hadirnya negara untuk memberikan kompensasi.
  • Pelaku dalam memberikan restitusi ada step-stepnya. Begitu dinyatakan sebagai pelaku TPKS, Polisi dapat melakukan sita jaminan harta kekayaan untuk menjamin restitusi tersebut. Jika tidak sanggup, diganti dengan kurungan.
  • Untuk restitusi Pelaku yang bayar. Namun, kita melihat yang terjadi selama ini, karna adanya pilihan penggantian dengan kurungan, banyak diantara Pelaku yang justru lebih memilih dengan kurungan.
  • LPSK sudah melakukan pemulihan yang lebih luas tidak hanya dilakukan oleh Negara, tetapi juga BUMN dan lembaga filantropi. Jika kemudian Pelaku tidak memiliki harta untuk disita dan kemampuan untuk membayar, perlu dipikirkan pemulihan yang secara holistik.
  • Kalau kita melihat dari yang diusulkan DPR bahwa rehabilitasi adalah upaya intervensi terhadap pelaku. Seolah-olah rehabilitasi itu hanya punya pelaku.
  • Dalam paradigma hukum pidana modern yang berlaku universal, keadilan retributif itu sudah dirubah menjadi keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
  • Keadilan korektif itu punyanya pelaku, keadilan restoratif punyanya korban, dan keadilan rehabilitatif itu punyanya pelaku dan korban. Jadi mengapa itu ditujukan kepada pelaku dan korban.
  • Kita juga harus membayangkan bahwa bisa saja pelaku kekerasan seksual itu adalah anak. Anak juga harus direhabilitasi. Itu alasan kita menggunakan bahasa yang universal untuk mengakomodasi bahwa rehabilitasi tidak hanya terhadap korban, tetapi juga terhadap pelaku.












Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan