Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual — Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komnas Perempuan

Tanggal Rapat: 29 Mar 2021, Ditulis Tanggal: 8 Mar 2022,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Komnas Perempuan

Pada 29 Maret 2021, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komnas Perempuan mengenai Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Rapat dipimpin dan dibuka oleh Willy Aditya dari Fraksi Nasdem dapil Jawa Timur 11 pada pukul 10.40 WIB. (Ilustrasi: Kompas.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Komnas Perempuan
  • Dari berbagai kasus, Komnas Perempuan merumuskan atau mendorong untuk sebuah payung hukum yang komprehensif itu harus memuat 6 elemen kunci penghapusan kekerasan seksual, yaitu pencegahan, 9 bentuk tindak pidana, sanksi pidana, hukum acara pidana, hak korban, dan pemantauan. Enam elemen ini, diharapkan bisa membantu dan harus ada di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena jika satu elemen hilang, maka cara kita membaca atau menangani korban tidak lagi utuh atau komprehensif.
  • Komnas Perempuan mengingatkan bahwa Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil berdasarkan kondisi di tahun 2012-2016 yang tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini, menawarkan atau mengusulkan Naskah Akademik (NA) dan Draft RUU ke berbagai pihak melakukan dialog yang kemudian kawan-kawan di DPR-RI menjadikan sebagai usul inisiatif, sehingga kalau kita lihat sampai di tahun 2020, Komnas Perempuan memiliki dokumen hukum NA dan Draft RUU inisiatif DPR di tahun 2016, kemudian ada DIM revisi di tahun 2019.
  • Berdasarkan proses pembelajaran di tahun 2019, maka Komnas Perempuan kembali mendiskusikan dengan kawan-kawan Jaringan Masyarakat Sipil untuk menyempurnakan NA dan Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
  • Komnas Perempuan memahami dan bahwa pembahasan di tahun 2019 ini bersifat dinamis dan menjadi pembelajaran tersendiri bagi publik terkait kekerasan seksual. Betul bahwa di tahun 2019 RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum disahkan, tetapi kita harus melihat bahwa ini menjadi proses pembelajaran publik untuk mengetahui apa itu kekerasan seksual dan bagaimana memberikan bantuan terhadap korban.
  • Diakui juga bahwa dari pembahasan yang dinamis di tahun 2019 bahwa 6 elemen kunci yang dijabarkan, belum terinformasikan dengan baik dan menimbulkan cara membaca yang berbeda terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
  • Berdasarkan hal tersebut, Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil mengusulkan penyempurnaan dari NA dan Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di 2016 dengan menyandingkan dengan DIM Pemerintah di tahun 2019 dengan harapan informasi terkait pentingnya penghapusan kekerasan seksual ini terinformasikan dengan baik.
  • Komnas Perempuan sudah menyampaikan semacam tanya jawab terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dihimpun dari pembahasan di tahun 2019 maupun isu-isu yang muncul di publik untuk memberikan informasi apa yang sebenarnya dimaksudkan di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
  • RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini harus ditempatkan pula dalam kerangka pembangunan nasional baik RPJMN, SDGs, Visi Indonesia Seabad, dan goal yang tertinggi adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia.
  • Pembaruan atau penyempurnaan yang Komnas Perempuan isukan adalah misalnya di kajian teoritis, Komnas Perempuan menyampaikan 6 teori, pertama konsepsi negara hukum yang berlandaskan Pancasila, hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, kekerasan seksual sebagai kekerasan berbasis gender, pendekatan hukum perspektif keadilan gender, perlindungan korban kekerasan seksual, dan pembaharuan hukum pidana khusus untuk perlindungan korban kekerasan seksual baik melalui sarana pidana maupun sarana non pidana.
  • Di dalam NA dan Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang Komnas Perempuan usulkan terkandung nilai-nilai filosofis untuk perlindungan harkat dan martabat kemanusiaan, keadilan bagi korban dan pelaku, juga pemenuhan hak konstitusional warga negara. Untuk yuridis adalah untuk menjawab kekosongan hukum terkait payung hukum yang komprehensif, sedangkan sosiologis untuk membangun dan mendorong rekayasa sosial agar korban tertangani dengan baik dan meminimalisir victim blaming.
  • Untuk peta pengaturan di dalam NA dan Draft RUU PKS ada sedikit yang berbeda dengan draft di tahun 2017. Pertama, hukum pidana terdiri dari hukum pidana materiil dan formil, kemudian ada hak korban, saksi, ada pencegahan, koordinasi, pengawasan, dan peran serta masyarakat.
  • Di usulan Komnas Perempuan dan Jaringan Masyarakat Sipil untuk tahun 2020 ini bisa menyandingkan dengan sistematika versi DPR tahun 2007 dan DIM Pemerintah di tahun 2019.
  • Definisi kekerasan seksual yang di tahun 2019 banyak mendapatkan tantangan untuk diperbaiki. Di tahun 2020, Komnas Perempuan mengusulkan definisinya menjadi kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang merendahkan dan/atau menyerang terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau fungsi reproduksi seseorang dengan memanfaatkan kerentanan ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang berdasarkan jenis kelamin yang dapat disertai dengan status sosial lainnya dan seterusnya.
  • Hal yang ditambahkan di dalam Ketentuan Umum adalah tindak pidana kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sesuai ketentuan undang-undang ini. Penambahan tindak pidana kekerasan seksual untuk menjawab bahwa hanya kekerasan seksual yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana di dalam undang-undang ini yang bisa dipidana, sedangkan yang lainnya otomatis tidak. Jadi, ini untuk menekankan bahwa hanya yang memenuhi unsur tindak pidana.
  • Terkait tindak pidana kekerasan seksual di tahun 2020, Komnas Perempuan mengusulkan didasarkan kepada gradasi ringan ke berat, yaitu mulai dari pelecehan seksual dan yang terberat adalah penyiksaan seksual.
  • Komnas Perempuan sampaikan sandingan atau hukum yang berlaku terkait kekerasan seksual. Banyak pertanyaan terkait untuk apa lagi ada RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, padahal sudah diatur. Kalau dilihat dari KUHP, UU PKDRT, UU TPPO, UU Perlindungan Anak, UU Perlindungan HAM, UU Penyandang Disabilitas, sampai ke PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, dapat dilihat bahwa definisi kekerasan seksual itu tidak ada. Di UU PKDRT lingkupnya domestik, dan di PP 61 tahun 2014 tanpa sanksi.
  • Untuk tindak pidana kekerasan seksual fisik itu hanya ada di 2 undang-undang, yaitu KUHP dengan menggunakan istilah pencabulan, dan UU Perlindungan Anak juga dengan istilah pencabulan, tetapi itu untuk lingkup anak, sedangkan di undang-undang yang lain tidak ada.
  • Untuk pelecehan seksual non fisik belum ada satu pun peraturan yang memuat pelecehan seksual non fisik. Untuk eksploitasi seksual itu ada di UU TPPO, tetapi harus memenuhi syarat proses, cara, dan tujuan, dan di UU Perlindungan Anak hanya untuk anak.
  • Untuk pemaksaan kontrasepsi, dapat dilihat ini sebenarnya upaya menerjemahkan dari UU Pengadilan HAM dan UU Penyandang Disabilitas. Di UU Pengadilan HAM, pemasangan kontrasepsi harus memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif. Ini berarti kalau tidak ada syarat tersebut, maka pemaksaan kontrasepsi tidak bisa dipidana, sedangkan di UU Penyandang Disabilitas maupun di UU Pembangunan Keluarga istilah itu ada, tetapi tanpa sanksi dan tanpa unsur.
  • Untuk perkosaan, kita tahu ini hanya ada di KUHP, UU PKDRT, dan UU Perlindungan Anak dengan lingkup yang terbatas. UU PKDRT hanya lingkup domestik, UU Perlindungan Anak hanya untuk anak, dan yang lebih utama pemerkosaan itu mengacu kepada definisi KUHP yaitu penetrasi penis ke vagina yang mengeluarkan sperma. Berarti, perkosaan hanya diakui antara laki-laki terhadap perempuan. Padahal, kasus-kasus yang kami dapati pemerkosaan tidak terbatas hanya penetrasi penis ke vagina, tapi juga penetrasi ke anus, penetrasi ke mulut, tidak hanya dengan menggunakan penis, tetapi juga menggunakan alat-alat, menggunakan buah-buahan atau tangan, tetapi itu tidak bisa dikenakan pasal pemerkosaan. Di dalam praktiknya itu turun menjadi pasal pencabulan yang ancamannya menjadi lebih rendah.
  • Untuk pemaksaan perkawinan, di UU Perlindungan Anak sudah ada, tetapi tanpa sanksi dan lingkupnya hanya anak, sehingga ketika ada pemaksaan perkawinan ada dorongan untuk pemaksaan usia anak seperti misalnya beberapa waktu yang lalu kita juga bingung harus menggunakan undang-undang yang mana, karena tanpa sanksi. Ada larangan untuk menikahkan anak, tetapi tanpa sanksi.
  • Begitu juga untuk pemaksaan pelacuran, ini ada upaya menerjemahkan dari UU Pengadilan HAM, disitu tidak ada definisi harus dan harus memenuhi syarat TSM. Untuk perbudakan seksual juga demikian, dan penyiksaan seksual.
  • Komnas Perempuan ingin menekankan kepada penyiksaan seksual, karena penyiksaan seksual yang dimaksud didorong di tahun 2017 maupun saat ini adalah UU 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Anti Penyiksaan dan menerjemahkan dari UU Pengadilan HAM itu bukanlah pengertian kekerasan seksual yang diartikan dengan cara menyiksa. Ini menjadi penting karena penyiksaan seksual di sini dimaksudkan sebagai bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dilakukan oleh aparatur negara untuk mendapatkan informasi atau pengakuan atau sebagai bentuk penghukuman.
  • Komnas Perempuan mengira belum ada sama sekali dibahas di maupun di NA maupun Draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di tahun 2017, yaitu kekerasan berbasis gender siber. Oleh karena itu, Komnas Perempuan mendorong penyempurnaan untuk memasukkan isu ini, karena isu ini dalam setahun terakhir sangat naik signifikan.
  • Terdapat proses diskusi terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang overcriminalization, karenanya Komnas Perempuan mengusulkan agar sistem pemidanaan di dalam RUU ini menggunakan double track system dimana ada pidana dan ada tindakan yang dapat dilakukan bersamaan.
  • Usulan yang tahun 2020 ini telah disesuaikan dengan buku 1 KUHP baik dalam konteks pidana pokok, pidana tambahan, maupun tindakan.
  • Hal lain yang ingin harus dilihat adalah tindakan rehabilitasi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana kekerasan seksual dalam bentuk konseling maupun intervensi lain untuk perubahan perilaku.
  • Untuk hak korban, ini tidak jauh berbeda dari draft 2017, tetapi Komnas Perempuan mengusulkan ada penambahan bahwa korban tidak dapat dituntut secara pidana atau perdata terhadap peristiwa kekerasan seksual yang dilaporkan dan/atau diajukan. Ini menjadi penting karena salah satu hal mengapa korban tidak mengklaim keadilannya di sistem peradilan pidana adalah ancaman untuk dilaporkan balik, sehingga kemudian korban memutuskan dalam posisi untuk mencabut laporannya.
  • Peran serta masyarakat jika di draft sebelumnya lebih kepada upaya-upaya pencegahan, maka di dalam usulan draft 2020, Komnas Perempuan mengusulkan bahwa peran masyarakat dapat dilakukan di tahapan pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan, dan pengawasan, karena kita harus mengakui bahwa lembaga-lembaga layanan berbasis komunitas atau berbasis masyarakat banyak membantu proses-proses penanganan perlindungan dan pemulihan korban, sehingga RUU ini juga menjadi media untuk mengakui peran-peran dari lembaga-lembaga layanan berbasis masyarakat.
  • Terakhir, Komnas Perempuan mohon berkenan dari DPR untuk menerima Naskah Akademik tawaran dari Jaringan Masyarakat Sipil dan Komnas Perempuan sebagai penyempurnaan dari NA dan draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan