Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan dan Pandangan terhadap Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (Omnibus Law) — Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Ketua Pemerhati Pendidikan Kedokteran Pelayanan Kesehatan (P2KPK)

Tanggal Rapat: 16 Nov 2022, Ditulis Tanggal: 13 Jan 2023,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Ketua Pemerhati Pendidikan Kedokteran Pelayanan Kesehatan (P2KPK)

Pada 16 November 2022, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Ketua Pemerhati Pendidikan Kedokteran Pelayanan Kesehatan (P2KPK) mengenai Masukan dan Pandangan terhadap Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan (Omnibus Law). RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh M. Nurdin dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) dapil Jawa Barat 10 pada pukul 10.13 WIB. (Ilustrasi: Jejak Parlemen)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Koordinator Advokasi BPJS Watch dan Ketua Pemerhati Pendidikan Kedokteran Pelayanan Kesehatan (P2KPK)

Ketua Pemerhati Pendidikan Kedokteran Pelayanan Kesehatan (P2KPK):

  • Kita mengetahui bahwa RUU Kesehatan (Omnibus Law) ini telah mencabut beberapa UU yang terkait dengan bidang kesehatan sebanyak 9 buah dan juga memuat beberapa hal dan merevisi kurang lebih dari 5 UU lainnya.
  • Terkait definisi organisasi profesi. Kita mengetahui bahwa di dalam UU Praktik Kedokteran, definisi Organisasi Profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
  • Ada juga UU Nomor 20 Tahun 2013 yang juga mencantumkan tentang definisi Organisasi Profesi yaitu organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran dan kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah.
  • Kita mengetahui bahwa UU Praktik Kedokteran pernah dilakukan JR pada tahun 2017 dan dikatakan bahwa adanya perkembangan cara pandang masyarakat dan Pemerintah terhadap kebebasan berserikat yang tercantum di dalam UUD 1945 yang menandai adanya dinamika di dalam tubuh organisasi profesi kedokteran dan menuntut adanya perubahan memaknai organisasi profesi tersebut, sehingga pengertian organisasi diubah dalam UU Pendidikan Kedokteran menjadi seperti yang saya sampaikan.
  • Definisi ini diambil atau diadopsi oleh RUU Kesehatan Omnibus Law pada Pasal 1 angka 16 yang mengatakan bahwa Organisasi Profesi adalah wadah untuk berhimpun tenaga kesehatan yang se-profesi.
  • Hal ini juga sejalan dengan apa yang tercantum pada UU tentang Keperawatan Pasal 1 angka 15 yang mengatakan bahwa Organisasi Profesi Perawat adalah wadah yang menghimpun perawat secara nasional, berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • Demikian pula yang tercantum di dalam UU tentang Kebidanan. Oleh sebab itu, kami mengatakan bahwa RUU Kesehatan Omnibus Law ini telah menerima definisi Organisasi Profesi menurut UU Nomor 20 Tahun 2013 yang menyatakan bahwa Organisasi Profesi adalah organisasi yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran dan kedokteran gigi yang diakui oleh Pemerintah. Jadi, organisasi profesi ini harus jelas bidang keilmuannya dan juga harus diakui oleh Pemerintah.
  • Terkait dengan organisasi profesi, kami ingin membicarakan sedikit tentang status dan kedudukan kolegium kedokteran. Kita mengetahui bahwa pada UU Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 1 angka 13 tentang Praktik Kedokteran dikatakan bahwa Kolegium kedokteran Indonesia dan Kolegium kedokteran Gigi adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang ilmu yang bertugas mengampu cabang ilmu tersebut.
  • Hal ini menunjukkan bahwa kolegium dimaknai sebagai underbow atau bagian dari organisasi profesi, karena dibentuk oleh organisasi profesi.
  • Akibatnya adalah organisasi profesi dapat mengintervensi kebijakan kolegium. Hal ini sudah pernah terjadi bahwa organisasi profesi mengintervensi kebijakan kolegium pada saat organisasi menolak Uji Kompetensi Dokter Indonesia dan juga pada saat ingin didirikannya Prodi Dokter Pelayanan Primer, walaupun kedua hal ini telah diamanatkan dalam UU Pendidikan Kedokteran, sehingga pendirian Prodi Dokter Layanan Primer telah terlambat selama 8 tahun dalam pelaksanaannya.
  • Di dalam praktik penyelenggaraan kolegium dokter dan dalam organisasi profesi IDI, praktik kolegium kedokteran dibagi dua, yaitu Kolegium Dokter Spesialis yang terdiri dari kurang lebih 35 perhimpunan dokter spesialis, dan Kolegium Dokter Umum yang kita sebut sebagai Kolegium Dokter Indonesia.
  • Sebetulnya, di dalam UU Praktik Kedokteran tidak ada kolegium untuk dokter umum, karena kolegium ini didefinisikan dibentuk oleh masing-masing cabang ilmu, sedangkan dokter umum adalah batang tubuh dari ilmu kedokteran.
  • Maknanya kolegium ini dibentuk untuk masing-masing spesialis kedokteran, sedangkan dokter umum sebagai batang tubuh tidak perlu membentuk kolegium. Namun demikian, karena adanya kewajiban untuk mengeluarkan sertifikat kompetensi, maka dibentuk dengan terpaksa kolegium untuk dokter umum yang disebut sebagai Kolegium Dokter Indonesia.
  • Di dalam praktik global, sebetulnya tidak ada kolegium yang dibentuk oleh organisasi profesi. Kolegium itu umumnya merupakan badan yang berdiri otonom dan independen dari organisasi profesi.
  • Namun demikian, ada yang disebut sebagai kolegium untuk dokter praktik umum. Pengertian dokter praktik umum di Indonesia berbeda dengan praktik umum di luar negeri, di mana praktik umum di luar negeri itu adalah praktik yang dikerjakan oleh dokter keluarga, yaitu dokter yang sudah mendapatkan pendidikan lanjut. Jadi, bukan dokter pendidikan dasar.
  • Namun di Indonesia, pendidikan dokter umum ini dianggap merupakan dokter yang tidak perlu mendapatkan pendidikan lanjutan atau pendidikan spesialis.
  • Oleh sebab itu, kami berpendapat bahwa penjelasan Pasal 195 Ayat 4 RUU Kesehatan Omnibus Law yang dimaksud Kolegium masing-masing tenaga kesehatan adalah wadah untuk berhimpun Ketua Departemen dan Ketua Program Studi dari perguruan tinggi atau institusi penyelenggara pendidikan profesi tertentu serta dapat dibantu oleh ahli pendidikan.
  • Jadi, kolegium itu terpisah dari organisasi profesi dan keanggotaannya spesifik, yaitu Ketua Departemen dan Ketua Program Studi yang mampu atau yang menjalankan pendidikan untuk pendidikan spesialis.
  • Harapan kami agar organisasi profesi perlu dibedakan antara organisasi profesi sebagai wadah berhimpun yang mengurusi anggota dan kolegium yang mengurusi perkembangan ilmu tertentu. Mereka harus dibedakan dan perlu diakui oleh Pemerintah.
  • Kolegium kami harapkan bersifat independen. Hanya satu, tidak boleh ada dua kolegium dan tidak dibentuk serta tidak pula di bawah organisasi profesi.
  • Kolegium bukan merupakan bagian dari organisasi profesi seperti yang tercantum di dalam UU Praktik Kedokteran. Ini adalah harapan kami yang sangat penting untuk bisa diimplementasikan di dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law).
  • Terkait dengan konsil kedokteran Indonesia. Kita mengetahui bahwa di dalam UU Praktik Kedokteran pada Pasal 1 dan Pasal 14 ayat 4 itu telah mengatakan definisi Konsil Kedokteran Indonesia merupakan badan yang otonom, mandiri, non struktural, bersifat independen, dan terdiri dari 17 anggota yang merupakan unsur-unsur dari organisasi profesi, kolegium asosiasi pendidikan kedokteran, asosiasi rumah sakit, dan juga Pemerintah.
  • Keanggotaan ini diusulkan oleh Menteri dengan meminta usulan-usulan dari berbagai pihak tersebut. Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi atas Perkara Nomor 10 Tahun 2017, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan JR tentang UU Nomor 29 Tahun 2004 terkait larangan keanggotaan KKI merangkap jabatan sebagai pengurus organisasi profesi dengan alasan untuk menghindari konflik kepentingan.
  • yang merupakan pihak diregulasi tetapi juga merangkap Anggota KKI yang bertindak sebagai regulator. Hal ini sudah pernah terjadi dan sudah dilakukan JR.
  • Artinya, tidak layak atau tidak elok jika IDI sebagai anggota yang diregulasi menangkap sebagai Anggota KKI yang bertindak sebagai regulator.
  • Oleh sebab itu, kami berpendapat bahwa Konsil Kedokteran Indonesia harus bersifat independen. Independen dari 12 pihak yaitu dari Pemerintah maupun independen dari organisasi profesi, sehingga terjamin adanya mekanisme check and balances di KKI.
  • Di dalam praktik global, ada dua macam bentuk konsil yang keduanya merupakan badan yang independen sebagai badan publik dan berada di bawah Kemenkes.
  • KKI di global ada yang memang totally independen dan ada juga yang independen tetapi di bawah Kemenkes. Ada sesuatu yang pasti, yaitu tidak ada wakil organisasi profesi di dalam medical council.
  • Ini merupakan hal yang kami harapkan agar bisa berubah di dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law). Kami menerima beberapa hal yang tercantum di dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law) dimana mencantumkan beberapa tugas-tugas yang dikerjakan oleh konsil kedokteran.
  • Kami mengusulkan di dalam menjalankan tugas KKI tersebut, ada beberapa hal yang sebaiknya kita berikan kepada KKI, yaitu menerbitkan STR, mencabut STR Dokter maupun Dokter Gigi dengan persetujuan Menteri, melakukan pengelolaan STR, melakukan penonaktifan dan mengaktifkan kembali STR dengan persetujuan Menteri, melakukan pembinaan di bidang teknis keprofesian, menyusun standar kompetensi, melakukan pendataan praktik dokter dan dokter gigi berdasarkan SIP, dan melakukan pendataan, pelaksanaan, penjagaan, dan peningkatan mutu praktik dokter dan dokter gigi.
  • Kami juga mengusulkan bahwa di dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law) dimasukkan pembinaan teknis keprofesian yang dilakukan sebagai dukungan terhadap pembinaan dokter dan dokter gigi yang dilaksanakan oleh Menteri.
  • Pendataan tempat praktik dokter dan dokter gigi dilaksanakan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, keberadaan KKI walaupun independen, tetapi berkoordinasi dengan Kemenkes.
  • Harapan kami terhadap fungsi KKI adalah konsil kedokteran harus independen. Independen dari 2 pihak yaitu dari organisasi profesi maupun Pemerintah, sehingga bisa menjamin adanya mekanisme check and balance.
  • Jadi, walaupun KKI berkoordinasi dan berada di bawah pengawasan Kemenkes, tetapi tetap bersifat independen.
  • Usulan kedua, Anggota KKI merupakan perwakilan unsur-unsur stakeholders yang terdiri dari praktisi dokter, akademisi, praktisi bidang pendidikan kedokteran, akademisi bidang kedokteran, dan akademisi bidang hukum.
  • Pemerintah yang merupakan perwakilan Kemendikbud dan Kemenkes serta harus adanya wakil dari masyarakat. Anggota-anggota tersebut dipilih melalui suatu sistem seleksi yang independen, bukan ditunjuk dari wakil-wakil stakeholders tersebut.
  • Kami usulkan juga adalah tentang standar pendidikan dokter. Standar pendidikan dokter sebetulnya ada di dalam UU Praktik Kedokteran, tetapi di dalam RUU Kesehatan ini bisa dihapus.
  • Harapan kami terhadap standar pendidikan adalah standar ini dibuat oleh KKI, kolegium, dan para stakeholders yang dibutuhkan untuk membuat atau mengusulkan standar pendidikan.
  • Jadi, tidak ada unsur atau peran profesi di dalam standar pendidikan ini, karena profesi adalah berpraktik, sementara standar pendidikan adalah suatu hal yang harus dipatuhi atau dipenuhi oleh institusi-institusi pendidikan.
  • Namun demikian, kami berharap bahwa Pemerintah yang harus menetapkan dan mengesahkan standar pendidikan tersebut, karena kita tahu di sebuah negara standar pendidikannya harus dikeluarkan atau harus ditetapkan dan disahkan oleh Pemerintah.
  • Terkait dengan Surat Izin Praktik (SIP), di dalam Pasal 36 UU Praktik Kedokteran disebutkan salah satunya adalah untuk mendapatkan izin praktik harus memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
  • Kami berpendapat bahwa untuk mendapatkan SIP sebagaimana yang kita maksudkan seharusnya tenaga kesehatan memiliki antara lain adalah STR, tempat praktik, bukti pemenuhan kompetensi, persyaratan perpanjangan SIP, dan memenuhi kecukupan satuan kredit profesi serta adanya pengelolaan pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi yang dilakukan oleh Menkes. Saat seseorang berpraktik, ia harus memenuhi suatu standar dan standar itu ditetapkan oleh kementerian.
  • Berdasarkan pemikiran tersebut, kami setuju bahwa ketentuan SIP harus mendapatkan rekomendasi dari organisasi profesi dihapuskan, tetapi perlu disiapkan pihak pengelola SIP untuk menjamin agar dokter yang berpraktik itu berkualitas baik dengan administrasi yang cepat, mudah, dan murah. Jika saat ini birokrasinya cukup panjang dan harus ada uang yang dikeluarkan, kami berharap pengelolaan SIP di masa yang akan datang betul-betul bisa menjamin dokter yang berpraktik adalah dokter yang berkualitas, tetapi administrasinya bisa mudah, cepat, dan murah, sehingga tidak membebani para dokter.
  • Selain itu, kami mengusulkan tentang Standar Tanda Registrasi (STR). Kita mengetahui di dalam UU sudah ada tentang persyaratan registrasi dan kami berpendapat bahwa registrasi ini sebaiknya diterbitkan oleh masing-masing konsil tenaga kesehatan atas nama Menteri dengan memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan itu antara lain adalah berlaku tanpa jangka waktu. Jadi, sekali seorang itu teregistrasi sebagai dokter, kami berharap ia tidak perlu memperpanjang STR-nya. Saat ini berlaku hanya 5 tahun. Kemudian, STR tersebut dapat dicabut dan diperbaharui dalam hal antara lain adalah tenaga kesehatan berubah kualifikasi kompetensi atau profesinya atau jika beralih profesi.
  • Terkait pendidikan dan pelatihan kedokteran. Kita mengetahui sudah ada UU yang mencantumkan tentang pendidikan dan pelatihan tambahan dalam pendidikan kedokteran dan kami berharap jika tentang pendidikan dan pelatihan kedokteran ini dihapuskan, tetapi ada beberapa hal yang harus kita perhatikan.
  • Dalam Pasal 38 UU Nomor 29 tahun 2004 diterjemahkan oleh IDI dalam ART IDI Pasal 31 dan Pasal 32 sebagai berikut: Pasal 31 huruf a ART IDI menyebutkan bahwa badan pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan adalah badan kelengkapan pengurus besar dan pengurus wilayah. Pada Pasal 32 huruf d menyebutkan tugasnya adalah membantu pengurus besar melakukan penilaian dan akreditasi lembaga penyelenggara pendidikan kedokteran berkelanjutan dan membantu pengurus IDI pada tiap tingkatannya melaksanakan penilaian dan akreditasi kegiatan pendidikan kedokteran berkelanjutan.
  • Kami memaknai dari peraturan-peraturan di dalam ART IDI adalah IDI melakukan akreditasi penyelenggara pendidikan kedokteran berkelanjutan serta melaksanakan penilaian akreditasi kegiatan pendidikan berkelanjutan.
  • Kami berpendapat bahwa IDI bukan merupakan satuan pendidikan dan tidak mempunyai tanggung jawab terhadap satuan pendidikan.
  • Oleh sebab itu, kami berharap klausul tentang pendidikan dan pelatihan yang dikerjakan oleh IDI dapat diperbaiki.
  • Terkait perbaikannya kami akan memberikan usulan lanjut, tapi kami berharap pendidikan dan pelatihan berkelanjutan ini jangan diserahkan kepada organisasi yang tidak terkait dengan pendidikan.
  • Terhadap usulan kami tentang prodi Dokter Layanan Primer (DLP), klausul tentang perlunya adanya DLP ada di UU Pendidikan Kedokteran. Namun, penyelenggaraannya sempat terhambat selama kurang lebih 8 tahun, karena organisasi profesi menolak adanya DLP.
  • Saat ini, sudah dilakukan perbaikan dan koordinasi bersama Pemerintah. Akhirnya, DLP ini diubah atau disesuaikan menjadi Program Spesialis Dokter Keluarga Layanan Primer (KLP). Ini sudah berjalan.
  • Namun, melihat keadaan pelayanan kesehatan di Indonesia, kami berharap bahwa ada berbagai macam perbaikan dan penguatan yang perlu dilakukan untuk Program Studi Spesialis Dokter KLP.
  • Kami berharap bahwa program tersebut bisa diselenggarakan oleh institusi pendidikan kedokteran yang memiliki akreditasi kategori tinggi.
  • Kami sangat berharap bahwa pelayanan kesehatan primer bisa dikuatkan sesuai dengan rencana atau usulan transformasi kesehatan yang dikerjakan oleh Kemenkes.
  • Yang paling penting dari transformasi tersebut adalah penguatan SDM di layanan primer, sehingga seorang dokter yang berpraktik di layanan primer sebaiknya secara bertahap kita tambah kompetensinya menjadi dokter spesialis keluarga layanan primer.
  • Oleh sebab itu, kami mengusulkan agar di dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law) ada klausul yang mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter lainnya primer oleh institusi pendidikan kedokteran dengan kategori akreditasi tinggi dan dapat bekerja sama dengan institusi pendidikan kedokteran yang akreditasinya setingkat di bawahnya dalam menjalankan Program Spesialis Dokter KLP.
  • Intinya, kami ingin sumber daya manusia di pelayanan kesehatan primer ini dipercepat jalannya, karena sampai saat ini kami melihat masih lambat, sehingga keinginan kita untuk menguatkannya kurang cepat.
  • Kami setuju jika DLP diubah menjadi Pendidikan Spesialis Dokter Keluarga Layanan Primer, tetapi kami ingin di dalam RUU ini bahwa spesialis KLP ini dibutuhkan.
  • Jadi, harus ada klausul bahwa spesialis Dokter KLP dibutuhkan dan harus dilaksanakan dengan baik oleh Pemerintah. Pemerintah dalam hal ini adalah Kemenkes dan Kemendikbud.
  • Terkait Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Hingga hari ini, kurang lebih 2.500 atau 3.000 mahasiswa kedokteran yang belum lulus uji kompetensi. Namun, kurang lebih sekitar 96% mahasiswa kedokteran lulus UKMPPD.
  • Adanya UKMPPD sampai hari ini masih menjadi hal yang ingin dihapuskan oleh beberapa pihak. Kami kembali mengusulkan pentingnya Indonesia memiliki uji kompetensi yang merupakan standar agar seseorang itu boleh berpraktik sebagai dokter dan merupakan bukti kepada masyarakat bahwa dokter tersebut adalah dokter yang sudah kompeten.
  • IDI tetap menentang UKMPPD dan pernah melakukan beberapa kali JR untuk menghapuskan uji kompetensi pada tahun 2014, tetapi ditolak oleh MK dengan keputusannya pada tahun 2014.
  • Kami berharap bahwa di dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law) semakin menguatkan pentingnya menyelesaikan program profesi dokter maupun dokter gigi bagi mahasiswa agar mahasiswa yang lulus itu harus lulus uji kompetensi secara nasional sebelum diangkat menjadi dokter ataupun dokter gigi. Mahasiswa yang lulus uji kompetensi pertama kali tersebut harus memperoleh profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi dan uji kompetensi ini dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi bersama dengan Menteri.
  • Menteri tersebut adalah yang menyelenggarakan urusan Pemerintah di bidang kesehatan.
  • Kami menyatakan hal tersebut karena kami berpendapat bahwa uji kompetensi tetap dibutuhkan untuk menjamin bahwa variasi kualitas institusi pendidikan dapat mengeluarkan lulusan yang terjamin kualitasnya.
  • Semoga pemikiran-pemikiran kami dapat diambil dan dapat memperbaiki baik pelayanan maupun pendidikan kedokteran di Indonesia.

Koordinator Advokasi BPJS Watch:

  • Kami akan mengutip Naskah Akademik yang sudah beredar dan ini tentunya sudah diklarifikasi oleh Pimpinan bahwa tidak draft resmi dari DPR-RI.
  • Pasal 96 UU 13/2022 disebutkan bahwa masyarakat berhak mendapatkan Naskah Akademik. Ketika Naskah Akademik itu ada, kami membaca dan itu kami jadikan rujukan.
  • Potret persoalan JKN sebenarnya hanya ada 3, yaitu Kepesertaan, Faskes dan Pelayanan, dan Pembiayaan. Untuk pembiayaan, 2 tahun terakhir sudah relatif baik. Tahun 2021 surplus sampai aset bersih kita di Program JKN, tetapi memang persoalan kepesertaan dan faskes serta pelayaran masih punya persoalan yang harus bisa diperbaiki dalam kaitannya dengan pembentukan RUU Kesehatan dengan metode Omnibus Law.
  • Masalah kepesertaan akan berdampak pada persoalan pelayanan, faskes, dan pembiayaan, karena pendapatan utama Program JKN dari iuran. Kalaupun ada dari pajak rokok itu pun tidak terlampau besar.
  • Tentunya menjadi pokok bagaimana kepesertaannya harus dimaksimalkan. Jika sekarang ini disebutkan ada 83% peserta yang harus mencapai UHC 98% di tahun 2024, menurut kami yang harus dipotret adalah kepesertaan aktif.
  • Jika hanya kepesertaan tidak tepat, karena dalam UU SJSN disebutkan Peserta adalah orang yang mendaftar dan membayar iuran. Persoalannya, banyak peserta JKN yang menunggak iuran sehingga tidak mendapatkan pelayanan dan mengacu pada definisi di UU SJSN sebenarnya ia bukan peserta, karena tidak dapat layanan.
  • Sekitar 73% dari total yang ada saat ini menjadi peserta aktif. Jadi, masih jauh ke 98%. Tentunya banyak hal seperti ketidakpatuhan badan usaha. Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi 70 tahun 2011 yang belum dilaksanakan hingga saat ini, yaitu Pekerja bisa mendaftar sendiri ketika Pemberi Kerja tidak mau mendaftarkannya.
  • Saat ini, di badan usaha ada sekitar 16-17 juta pekerja formal yang didaftarkan ke BPJS Kesehatan dari sekitar 50 juta pekerja formal menurut BPS di Agustus 2022. Masih banyak pekerja formal yang belum didaftarkan.
  • Kami adakan penelitian kecil waktu itu, ternyata ada juga pekerja formal yang didaftarkan sebagai PBI dan mandirI, sehingga tidak mencerminkan kepesertaan sesungguhnya sebagai penerima upah pekerja formal.
  • Pada 1 Januari 2019, seluruh masyarakat kita sesuai dengan Perpres 82 wajib ikut Program JKN, tapi sampai saat ini masih banyak yang belum ikut. Hal ini terkait dengan bagaimana kepatuhan masyarakat kita untuk mengikuti Program JKN.
  • Terkait dengan bagaimana kepesertaan bayi baru lahir yang saat ini mendapat diskriminasi. Bayi ketika lahir tidak bisa memilih mau lahir dari Ibu Peserta JKN, sehingga ketika lahir dijamin langsung tanpa mengikuti masa aktivasi.
  • Bayi tidak punya hak untuk memilih, tetapi dalam praktik sekarang dan kasus-kasus yang beberapa kali kami tangani, bayi dari ibu yang belum menjadi peserta JKN atau dari ibu yang miskin tetapi PBI dikeluarkan tidak dapat langsung penanganan dari pembiayaan JKN, sehingga harus menunggu 14 hari. Yang pada akhirnya dapat merenggang nyawa dan sebagainya.
  • Artinya, saat ini Perpres 82/2018 Pasal 16 dan 28 diatur bayi yang lahir dari ibu peserta JKN aktif bisa langsung mendapatkan pelayanan, tapi bagi yang belum harus menunggu 14 hari.
  • Menurut kami ada kebijakan yang diskriminasi kepada bayi yang baru lahir. Hal ini yang menjadi harapan bagi kami agar dalam RUU ini dijelaskan bahwa hak hidup bayi harus dijamin, karena bayi tidak bisa memilih mau lahir dari ibu yang punya JKN atau tidak.
  • Terkait Kepesertaan PBI. Sekarang banyak masyarakat miskin kita yang dinonaktifkan sepihak oleh Kemensos, sehingga secara legalitas ia punya kartu, tapi ketika dibawa ke Faskes nonaktif, dan ia tidak tahu jika itu sudah dinonaktifkan.
  • Hal ini menjadi persoalan yang pada akhirnya banyak masyarakat miskin kita termarjinalkan dari pelayanan kesehatan dengan jaminan Program JKN.
  • Terkait dengan draft Naskah Akademik yang kami baca, di salah satu narasi yang dibangun dalam Naskah Akademik pada Pasal 15 yang membahas mengenai aturan pemberi kerja atau pendaftaran pekerja perlu diatur tentang apabila pemberi kerja tidak melaksanakan pendaftaran.
  • Menurut kami ini sangat baik untuk dipastikan bahwa Putusan MK dijalankan. Semoga ini bisa masuk ke dalam Batang Tubuh, karena sampai sekarang belum dijalankan sehingga pekerja yang tidak didaftarkan oleh pemberi kerja masih banyak yang belum terjamin dalam JKN.
  • Sebagai usulan untuk memperkuat kewenangan Direksi BPJS dalam menagih pembayaran iuran. Hal ini sudah ada, tetapi memang perlu diperkuat, sehingga sanksi hukum bisa memastikan seluruh pemberi kerja bergotong-royong dalam Program JKN untuk memastikan seluruh pekerja dan keluarganya dijamin oleh Program JKN.
  • Terkait penghapusan dana denda pelayanan juga menjadi persoalan. Ketika ada tunggakan, ia harus membayar tunggakan iuran dan ketika harus rawat inap, maka si Peserta JKN harus membayar denda yang maksimal 30 juta dengan rumus 5% dikali INA-CBG's dikali jumlah bulan tertunggak. Menurut kami ini sangat memberatkan.
  • Ketika awal-awal, tidak ada pengenaan denda seperti ini. Yang ada hanya mengenakan tunggakan iuran berapa persen dikali 2%. Saat ini, muncul di Perpres 64/2020 yang dinaikkan 100% menjadi 5%. Sebelumnya 2,5%.
  • Terkait dengan reaktivasi langsung bagi PBI yang dinonaktifkan, sehingga masyarakat miskin bisa langsung menjadi peserta JKN tanpa menunggu 1 bulan.
  • Kami melihat juga ada diskriminasi dalam Permensos 19, ketika belum 6 bulan di nonaktifkan, masyarakat yang dijamin oleh PBI yang dibiayai APBN itu bisa langsung aktivasi hari itu juga tapi kalau lewat 6 bulan harus nunggu 1 bulan, tetapi bagi masyarakat miskin yang dibiayai oleh APBD harus menunggu 1 bulan.
  • Hal ini semoga bisa untuk menjadi masukan agar masyarakat miskin kita tidak terdiskriminasi hanya gara-gara dibiayai oleh APBN dan APBD.
  • Terkait pelayanan dan faskes, tentunya kami mengamati bahwa Pasal 22 Ayat 1 UU SJSN sangat jelas. Pelayanan JKN preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
  • Jika kita lihat dalam regulasi turunannya, tampak bahwa ada beberapa pelayanan medis yang tidak dijamin dan itu muncul di Perpres 22/2018 di Pasal 52 ayat 1r yang memang sebelumnya itu ada.
  • Misalnya, korban trafficking, korban terorisme, korban KDRT, dan sebagainya itu tidak dijamin. Hal ini yang menyebabkan peserta JKN yang mengalami tindak pidana tidak mendapatkan layanan sehingga menjadi persoalan bagi mereka untuk membiayai sendiri. Pemerintah bilang itu tugasnya LPSK.
  • Apakah LPSK sampai ke pelosok seperti hadirnya BPJS kesehatan? Jadi, pembatasan manfaat ini harus juga dibuka sehingga bagian dari Pasal 22 yang mengatakan preventif, promotif, kuratif dan ini menjadi bagian yang lebih komprehensif dalam program JKN.
  • Obat dijamin di Pasal 22, tetapi ketika dalam turunannya, dalam formularium nasional, ada beberapa obat yang dikeluarkan seperti obat cancer usus besar.
  • Obat itu mahal yang dibutuhkan oleh penyintas cancer usus besar tapi tidak dijamin oleh JKN. Sebelum 2018, itu dijamin, tapi setelah ke sininya tidak dijamin.
  • Demikian juga obat bagi penyintas cancer payudara yang tadinya dihapus dari formularium nasional sehingga tidak dijamin, tapi sekarang dimunculkan lagi karena waktu itu ada penyintas cancer payudara yang menggugat ke pengadilan.
  • Obat sebagai hak pasien jangan di keluarkan dari fornas yang akhirnya tidak dijamin oleh JKN.
  • Dalam kecanggihan teknologi sekarang ini, kita terus mendorong bagaimana tele mesin, tele konsleting juga bagian dari pelayanan JKN sehingga bisa lebih melayani kepada masyarakat lansia dan masyarakat disabilitas sehingga tidak perlu lagi ke rumah sakit hanya untuk kontrol dan sebagainya. Ini juga bisa menurunkan tingkat antrian di rumah sakit untuk mendapatkan pembiayaan dari JKN.
  • Pelayanan JKN harusnya bisa mendorong perlakuan lebih, perlindungan lebih kepada masyarakat rentan seperti lansia, disabilitas, bayi baru lahir dan masyarakat miskin.
  • Dalam Pasal 5 UU 39/1999 tentang HAM dan UU Pelayanan Publik disebutkan bahwa masyarakat rentan harus mendapatkan pelayanan perlakuan lebih, jadi tidak boleh disamakan, tetapi dalam praktiknya tidak mendapatkan.
  • Bagaimana ketersediaan tempat tidur bagi peserta JKN yang sekarang sudah sampai 70% ini. Dalam Pasal 29 huruf e UU Rumah Sakit, UU yang juga bagian dari Omnibus law RUU Kesehatan ini, disebutkan bahwa salah satu kewajiban dari rumah sakit adalah memberikan fasilitas dan pelayanan kepada masyarakat miskin. Dengan masuknya Pasal 29 huruf e ini dan memang masyarakat miskin dijamin oleh JKN, kami berharap seluruh Rumah Sakit diwajibkan, tidak lagi diberikan opsional kepada rumah sakit swasta, sehingga dengan adanya kewajiban ini maka semua Rumah Sakit bisa melayani peserta JKN termasuk masyarakat miskin sehingga ketersediaan tempat tidur lebih banyak sehingga tidak lagi antrian menunggu operasi dan sebagainya.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan