Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Lanjutan Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan Undang-Undang (DIM RUU) Cipta Kerja (Bab III, Pasal 36 dan 37, dimulai dari DIM 2061) — Badan Legislatif (Baleg) DPR-RI Rapat Panja dengan Tim Ahli Baleg DPR RI, Tim Pemerintah dan DPD RI

Tanggal Rapat: 1 Sep 2020, Ditulis Tanggal: 25 Sep 2020,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Tim Ahli Baleg, Tim Pemerintah, dan DPD RI

Pada 1 September 2020, Badan Legislatif (Baleg) DPR-RI mengadakan Rapat Panja dengan Tim Ahli Baleg, Tim Pemerintah dan DPD RI mengenai Lanjutan Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah Rancangan Undang-Undang (DIM RUU) Cipta Kerja (Bab III, Pasal 36 dan 37, dimulai dari DIM 2061). RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Supratman dari Fraksi Partai Gerindra dapil Sulawesi Tenggara pada pukul 13:50 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum. (Ilustrasi: tribunnews.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Tim Ahli Baleg, Tim Pemerintah, dan DPD RI

Tim Pemerintah

  • Tim Pemerintah akan menjelaskan konsepsi RUU Cipta Kerja sektor kehutanan. Dengan konsepsi ini, akan ada sedikit perubahan dalam Pasal dan DIM yang diusulkan Pemerintah sebelumnya. Tata ruang yang sudah dibahas sebelumnya tidak akan lepas dari pengukuhan kawasan hutan Indonesia yang baru, yang sesuai dengan kegiatan tata ruang.
  • Nilai strategis hutan:
    • Hutan merupakan penyangga kehidupan.
    • Hutan merupakan sumber plasma nutfah.
    • Hutan merupakan faktor penting bagi siklus air.
    • Hutan berperan dalam konservasi kesuburan tanah.
  • Hutan memberikan sumbangan makro ekonomi Indonesia di wilayah hulu, sembari memastikan ketersediaan bahan baku bagi industri.
  • Mapping perubahan substansi UU Kehutanan dalam RUU Cipta Kerja:
    • UU 41:
      • Pasal 15:
        • Substansi: Pengukuhan kawasan hutan.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Menambahkan norma tentang pemanfaatan informasi dan koordinat geografis serta satelit.
          • Menghapus penjelasan pasal 15 UU Kehutanan.
      • Pasal 18:
        • Substansi: Kecukupan luas kawasan hutan dan penghapusan frasa 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Luas kawasan hutan dan luas daerah aliran sungai dan atau pulau dijaga secara proporsional dengan mempertimbangkan hasil karakteristik, daya dukung dan daya tampung DAS dan atau pulau guna menjamin manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat serta keseimbangan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
          • Pengaturannya akan dilakukan dengan PP.
      • Pasal 19:
        • Substansi: Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan (DPCAS).
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Bahwa tim terpadu bekerja berdasarkan otoritas ilmiah (scientific authority) sehingga kajiannya lebih kepada aspek teknis.
          • Pemerintah mempunyai kewenangan untuk memutuskan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dengan mempertimbangkan semua aspek tidak hanya aspek teknis saja.
      • Pasal 26, 27, 28, dan 29:
        • Substansi: Pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Penyederhanaan perizinan berusaha pada perizinan pemanfaatan hutan dari 14 jenis izin menjadi 1 jenis izin, yaitu izin usaha pemanfaatan hutan.
          • Perizinan berusaha meliputi kegiatan pemanfaatan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
          • Pemberian perizinan berusaha tidak termasuk kegiatan perhutanan sosial sehingga mengusulakn penambahan pasal dan ayat baru yang mengatur perhutanan sosial.
          • Pengaturan kembali subjek hutan.
      • Pasal 30, 31, dan 32:
        • Substansi: Perubahan jenis-jenis perizinan dalam kawasan menjadi satu jenis perizinan, yaitu perizinan berusaha. Pembatasan perizinan berusaha dalam kawasan hutan..
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Perubahan nomenklatur izin menjadi perizinan berusaha.
      • Pasal 33:
        • Substansi: Pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Perubahan kewenangan dalam hal pengaturan, pembinaan, dan pengembangan pengolahan hasil hutan menjadi kewenangan yang diatur dengan PP dari sebelumnya..
      • Pasal 35:
        • Substansi: Pengenaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) kepada pemegang perizinan berusaha pemanfaatan kawasna hutan.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Penyederhanaan nomenklatur iuran, provisi, dan dana di sektor kehutanan yang sebenarnya adalah PNBP.
          • Mengusulkan penghapusan kewajiban penyediaan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
      • Pasal 38:
        • Substansi: Penggunaan kawasan hutan.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Mengusulkan ayat baru terkait untuk kepentingan pembangunan.
      • Pasal 48:
        • Substansi: Perlindungan hutan menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, pemegang perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan, pemegang hak pada hutan.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Merubah frasa pemerintah menjadi pemerintah pusat, pemegang izin usaha menjadi pemegang perizinan berusaha.
      • Pasal 49:
        • Substansi: Tanggung jawab atas terjadinya kebakaran pada areal kerja.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Perubahan norma dari wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan menjadi bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan.
      • Pasal 50:
        • Substansi: Kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
        • Perubahan: Berubah.
        • Keterangan:
          • Memperluas jangkauan pengaturan pada Pasal 50 UU Kehutanan dengan menambahkan beberapa norma baru.
          • Penyelarasan dengan UU No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan:
          • Penghapusan Pasal 50 ayat (1) karena telah diatur di UU No. 18 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
          • Penghapusan penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf d karena dikhawatirkan menjadi alasan adanya pembakaran hutan sehingga mencegah kebakaran hutan yang sering terjadi.
  • Prinsip dan konsep dasar perubahan pemanfaatan ruang wilayah/kawasan dalam RUU Cipta Kerja:
    • Poin pemanfaatan ruang wilayah dalam RUU Cipta Kerja:
      • Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
      • Pengintegrasian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).
      • Dapat dilaksanakan sebelum ditetapkan perubahan rencana tata ruang wilayah.
    • Penambahan konsep dari ketentuan sebelumnya, penambahan diarahkan untuk pemanfaatan ruang dalam kawasan dengan tetap memenuhi ketentuan bidang kehutanan dan diintegrasikan dalam perubahan RTRWP.
  • Posisi kawasan hutan di dalam RTRW:
    • Rencana Tata Ruang Wilayah:
      • Struktur ruang:
        • Sistem pusat permukiman.
        • Sistem jaringan prasarana.
      • Pola ruang:
        • Kawasan lindung:
          • Perlindungan kawasan bawahannya:
          • Kawasan hutan lindung.
          • Kawasan bergambut.
          • Kawasan resapan air.
          • Kawasan perlindungan setempat.
          • KSA/KPA dan cagar budaya.
          • Kawasan rawan bencana alam.
          • Kawasan lindung geologi, dan lainnya.
        • Kawasan budidaya:
          • Kawasan hutan produksi.
          • Kawasan hutan rakyat.
          • Kawasan pertanian.
          • Kawasan perikanan.
          • Kawasan pertambangan.
          • Kawasan industri.
          • Kawasan pariwisata.
          • Kawasan pemukiman dan atau.
          • Kawasan lainnya.
  • Bisnis proses keterkaitan RTRWP dan sektor kehutanan:
    • Tata batas kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan, pelepasan kawasan hutan.
    • Rencana tata ruang:
      • RTRW/Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
      • Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
    • Peta kawasan hutan ke rencana tata ruang diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007. Hal ini berkaitan dengan pola ruang dan perencanaan kehutanan.
    • Perencanaan kehutanan diatur dalam pasal 15, 18, dan 19 UU No. 41 Tahun 1999 mengenai:
      • Pengukuhan.
      • Kecukupan luas.
      • Dampak Penting dan Cakupan Luas serta bernilai Strategis (DPCLS).
      • Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) arahan pemanfaatan.
      • Tematik kehutanan:
        • Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS).
        • Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG).
        • Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB), dll.
    • Perizinan berusaha di sektor kehutanan diatur dalam Pasal 26-29 dan 38 UU No. 41 Tahun 1999 yang berkaitan dengan pengawasan.
    • Penegakan hukum diatur dalam UU No. 18 Tahun 2013 yang membahas mengenai:
      • Administrasi.
      • Pidana.
      • Perdata.
  • Pengukuhan kawasan hutan:
    • Memperhatikan rencana tata ruang wilayah:
      • Penunjukan kawasan hutan.
      • Penataan batas kawasan hutan.
      • Penataan kawasan hutan.
      • Penetapan kawasan hutan.
      • Catatan: Pada periode 2007 sd 2014 terdapat perubahan kawasan hutan dalam rangka review RTRWP sehingga ketidaksesuaian KH dengan pola ruang terminimalisasi. UU No. 41 Tahun 1999.
    • Penambahan pada Ps 37 RUU CK:
      • Penambahan:
        • Memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
        • Pemerintah pusat memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada daerah yang strategis.
        • Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PP.
      • Kondisi saat ini:
        • Sebelumnya didasarkan pada proses pengiriman berkas BATB.
        • Dulu masih menggunakan batas alam sebagai acuan dalam pengukuran. Menggunakan koordinat lokal dengan bias yang tinggi.
        • Belum diatur mengenai kriteria dan indikator wilayah prioritas pengukuhan kawasan hutan.
        • Belum tersedia regulasi penentuan wilayah prioritas kawasan hutan untuk kegiatan pengukuhan kawasan hutan.
  • Landscape forming factors:
    • Landscape:
      • Memiliki sejarah sosial, proses evolusi, suksesi struktur dinamika manusia dan modifikasi manusia, serta sebagai social-natural evolutionary history.
      • Landscape practice and population dynamic.
      • Proses antar struktur yang menentukan hubungan sosial, struktur spasial inti serta memberi arti bagi masyarakat.
    • Landscape in time and space:
      • Berkaitan dengan manusia, dipengaruhi ideas and values.
      • Tidak hanya apa yang ada atau terjadi, tetapi juga apa yang sedang berlangsung.
      • Ada visualisasi fisik, bau, suara, tekstur, atmosfir, rasa, dll.
      • Kurang diperhatikan pada dimensi sosial.
      • Landscape juga merupakan cultural image, mengilustrasikan ketampakan atau hal-hal yang diwakili struktur atau simbol-simbol di sekitarnya.
  • Landscape as context of space, time, and constitution:
    • Space: Human sense, at the different stages of life, tempat yang esensial untuk survival, zoning menurut atribut, socially define, space merupakan kerangka untuk mengembangkan zona.
    • Time: Mengandung arti proses mencapai tujuan dan perwakilan subyektif, durasi dan order atau sistematika, struktur, sekuens.
    • Time and space secara bersama-sama membentuk elemen yang ketiga yaitu social actions (Max Weber, 1968).
  • Kecukupan luas kawasan hutan:
    • Land status:
      • Hutan negara.
      • Hutan hak, hutan adat/rakyat.
      • 30% fungsi kawasan:
        • Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH):
          • Udara.
          • Air.
          • Darat/tutupan lahan.
    • Land use:
      • Land suitability.
      • Penapisan: Tata ruang, Environmental Investigation Agency (EIA), Strategic Environmental Assessment Life Cycle Assessment (SEA LCA)
    • Land cover:
      • Konsep bio-geofisik.
    • Kesemuanya mengarah pada forest cover.
  • Kecukupan luas kawasan hutan:
    • Pasal 18 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999:
      • Hutan 70%.
      • Non hutan 30%.
      • Terdapat beberapa provinsi yang kawasan hutannya kurang dari 30%.
      • Tidak ada parameter, jasa ekosistem, karakter wilayah, dan “aktivitas manusia” dalam penentuan kecukupan luas.
    • RUU CK:
      • Jasa ekosistem:
        • Pengatur.
        • Penyedia.
        • Pendukung.
        • Jasa sosial.
      • Ekoregion (wilayah geografis yang mirip dan keterkaitan luas) -> sebagai modalitas lahan.
      • Dibentuk karakteristik wilayah gunung/hutan: pengatur tata air kota, aktivitas manusia, danau/sungai: sumber air.
      • Semakin tinggi nilai jasa ekosistem, semakin tinggi daya dukung.
      • Dipastikan seluruh aktivitas kegiatan manusia harus dapat diterima secara sosial, budaya, dan lestari secara ekologis.
      • Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
        • Aktivitas manusia:
          • Menurunkan daya dukung.
          • Menurunkan daya tampung.
        • Kebijakan, Rencana, dan Program (KRP): i.e, Rencana Tata Ruang, Rencana Pembangunan Industri Provinsi (RPIP), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
      • Pendekatan kecukupan luas dengan ecoregion dengan parameter jasa ekosistem, karakteristik wilayah, aktifitas.
  • Skema perizinan dengan satu izin:
    • Pemungutan hasil hutan bukan kayu: Diberikan untuk memenuhi masyarakat setempat, dengan ketentuan paling banyak 20 (dua puluh) ton atau setara.
    • Pemungutan hasil hutan kayu: Diberikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dengan ketentuan paling banyak 50 (lima puluh) meter kubik dan tidak diperdagangkan.
    • Usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu: Diatur ketentuan baru mengenai pemanfaatan hasil hutan bukan kayu bersifat alami dan buatan.
    • Usaha pemanfaatan kawasan: Menambahkan bentuk usaha silvopastura, silvofishery, dan agroforestry.
    • Usaha pemanfaatan jasa lingkungan: Menambahkan bentuk usaha lembaga konservasi dan panas bumi.
    • Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu:
      • Penggabungan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) alam IUPHHK tanaman menjadi IUPHHK.
      • Menghilangkan mekanisme izin Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR) dan pemanfaatan rehabilitasi dilakukan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) atau melalui penjualan tegakan.
  • Kondisi saat ini:
    • Jenis izin usaha pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi (UU No. 41 Tahun 1999):
      • Izin usaha pemanfaatan kawasan.
      • Izin usaha pemanfaatan hutan.
      • Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (Hutan Alam (HA)/Restorasi Ekosistem (RE)&Hutan Tanaman (HT)).
      • Izin usaha pemanfaatan HHBK (HA&HT).
      • Izin pemungutan hasil hutan kayu (HA&HT).
      • Izin pemungutan HHBK (HA&HT)
    • Kondisi:
      • Izin terpisah.
      • Iuran izin berbeda-beda.
      • Jangka waktu berbeda-beda.
      • Dokumen lingkungan berbeda-beda sesuai izin.
      • Kewenangan pemberi izin berbeda-beda (Pemerintah Pusat, dan Daerah).
    • Subjek:
      • Hutan lindung:
        • Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK): Perorangan dan Koperasi
      • Hutan produksi:
        • Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK): Perorangan dan Koperasi.
        • Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL): Perorangan, Koperasi, Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
        • IUPHHK dan IUPHHBK: Perorangan, Koperasi, BUMS, BUMN, dan BUMD.
  • Kondisi yang diharapkan:
    • Perizinan berusaha di bidang pemanfaatan hutan (RUU Cipta Kerja):
      • Satu izin usaha pemanfaatan hutan produksi dengan kegiatan:
        • Pemanfaatan kawasan.
        • Pemanfaatan jasa.
        • Pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
        • Pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
      • Satu izin usaha pemanfaatan hutan dengan kegiatan:
        • Pemanfaatan kawasan.
        • Pemanfaatan jasa lingkungan.
        • Pemungutan hasil hutan bukan kayu.
      • Hutsos (Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Adat, Kemitraan dan Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS))
    • Kondisi:
      • Satu izin berusaha pemanfaatan hutan.
      • Iuran izin kumulatif.
      • Jangka waktu maks 60 tahun.
      • Dokumen lingkungan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)/Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL).
      • Kewenangan pemberi izin pusat.
    • Subjek:
      • Hutan lindung:
        • IUPK dan IUPHHBK: Perorangan dan Koperasi.
      • Hutan produksi:
        • IUPK, IPHHK dan IPHHBK: Perseorangan dan Koperasi.
        • IUPJL: Perseorangan, Koperasi, BUMS, BUMN, BUMD.
        • IUPHHK dan IUPHHBK: Perorangan, Koperasi, BUMS, BUMN, dan BUMD.
  • Penatausahaan hasil hutan dan pemasaran hasil hutan:
    • Penatausahaan hasil hutan dan penatausahaan PNBP dilakukan secara self assesment melalui:
      • Elektronik.
      • Non elektronik.
    • Penghitungan kewajiban pembayaran PNBP terhadap hasil hutan kayu dilakukan berdasarkan:
      • Luas tebangan untuk kayu hutan tanaman non pertukangan.
      • Rencana penebangan berdasarkan Laporan Hasil Crushing untuk kayu hutan alam dan kayu hutan tanaman.
    • Pihak-pihak yang terlibat dalam perencanaan sampai dengan pelaksanaan post audit dalam menyelamatkan PNBP berhak diberikan insentif sebesar 10% dari nilai denda.
    • Pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan dan penatausahaan PNBP self assessment dilaksanakan dalam bentuk post audit.
  • Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat oleh masyarakat sekitar hutan atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk tujuan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya demi mewujudkan Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan.
    • Kebijakan perhutanan sosial:
      • Pemberian akses kelola kawasan hutan (HKm, HD, HTR, HK, dan HA).
      • Penanganan konflik tenurial.
      • Pengembangan usaha kelompok masyarakat.
      • Pendampingan.
  • Kriteria keberhasilan perhutanan sosial:
    • Kriteria:
      • Institutional set-up (sosial):
        • Indikator:
          • Input: Kelompok tani/lembaga desa.
          • Output: Koperasi/BUMDes.
      • Forest management (ekologis):
        • Indikator:
          • Input: Rencana Jangka Panjang.
          • Output: Meningkatkan tutupan lahan hutan (karbon stok meningkat).
      • Business development (ekonomi):
        • Indikator:
          • Input: Rencana Bisnis, Desa sentra produksi.
          • Output: Peningkatan pendapatan, Penurunan kemiskinan.
  • Capaian perhutanan sosial sampai dengan 29 Juli 2020:
    • Realisasi 4.206.717,32 Ha.
    • Kurang lebih 865.104 KK.
    • 6.668 unit SK izin/Hak.
  • Penyelesaian berkaitan tumpang tindih sudah selesai di Tata Ruang. Jadi, diusulkan DIM 2064 dicabut saja.
  • Dalam PP akan diatur cara inventarisasi hutan.
  • Konsepsi yang Pemerintah sampaikan tadi menjadi dasar sebagai perubahan usulan di awal. Pemerintah membedakan bahwa untuk Pasal 26 khusus untuk Hutan Lindung dan Pasal 28 khusus untuk Hutan Produksi.
  • Hal yang berkaitan dengan Pasal 26-29 DIM 2074-2078 dirumuskan ulang dengan merubah frasa "izin" menjadi "perizinan berusaha" agar subjeknya sama semua. Tapi untuk normanya kembali ke UU Existing.
  • Di konsepsi penanam modal sudah dijelaskan tanpa penyebutan frasa "Indonesia" dalam frasa Badan Usaha. Itu sudah berarti Badan Usaha yang mendirikan usahanya sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.

Tim Ahli Baleg DPR RI

  • DIM 2061:
  • Rancangan Undang-Undang: (3) Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
  • Fraksi:
    • PDI-P: Mohon penjelasan Pemerintah tentang pengukuhan kawasan hutan.
    • PG: Merubah Redaksi: (3) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
    • P. Gerindra: Pendalaman. Norma baru ini bersifat teknis, seharusnya tidak perlu diatur di UU ini, cukup di PP. Jika pun harus dimasukkan, perlu ditegaskan di bagian Penjelasan UU ini, ahwa menafikan keharusan kunjungan lapangan untuk penataan batas kawasan hutan.
    • P. Nasdem: Tetap.
    • PKB: Merubah Redaksi: (3) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatas dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit.
    • PD: Tetap.
    • PKS: Tetap.
      • Catatan: 1 cm pada peta dapat menggambarkan 10 km pada kondisi sebenarnya. Hal tersebut akan berdampak sangat signifikan bagi implementasi di lapangan. Pastikan menggunakan peta citra dengan presisi tinggi.
    • PAN: Tetap.
    • PPP: Mengusulkan agar menambahkan kata “dapat” setelah frasa kawasan hutan sehingga bunyinya menjadi: (3) Pengukuhan kawasan hutan dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat geografis atau satelit..
    • DPD RI: Tetap.
  • DIM 2062:
    • Rancangan Undang-Undang: (4) Pemerintah Pusat memprioritaskan percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada daerah yang strategis.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Memohon penjelasan Pemerintah tentang yang dimaksud dengan daerah yang strategis.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Tetap.
      • P. Nasdem: Tetap.
      • PKB: Tetap.
      • PD: Tetap.
      • PKS: Dihapus.
      • PAN: Perlu penjelasan lebih lanjut dari Pemerintah mengenai prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan.
      • PPP: Tetap.
      • DPD RI: Meminta Penjelasan Pemerintah terkait konsep daerah yang strategis.
  • DIM 2063:
    • Rancangan Undang-Undang: (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana di maksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Menyesuaikan/menunggu penjelasan dari DIM 2061 dan 2062.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Tetap.
      • P. Nasdem: Diusulkan dihapus.
      • PKB: Tetap.
      • PD:
      • PKS: Dihapus.
      • PAN: Tetap.
      • PPP: Mengusulkan agar menghapus frasa “Peraturan Pemerintah” diganti dengan frasa “Peraturan Menteri”.
  • DIM 2064:
    • Rancangan Undang-Undang: (6) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan dengan rencana tata ruang, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih di maksud diatur dengan Peraturan Presiden.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Memohon penjelasan Pemerintah tentang prinsip dasar penyelesaian masalah tumpang tindih.
      • PG: (6) Dalam hal terjadi tumpang tindih antara kawasan hutan yang sudah ditetapkan dengan rencana tata ruang izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian tumpang tindih diatur dengan Peraturan Pemerintah.
  • DIM 2065:
    • Ketentuan Undang-Undang: Penjelasan Pasal 15 ayat (1): Penunjukan kawasan hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:
      • A. pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luas;
      • B. pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong batas;
      • C. pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan
      • D. pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan dengan tanah hak.
    • Rancangan Undang-Undang: Penjelasan Pasal 15 dihapus.
    • Kajian tim ahli DPR: Tetap.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Meminta penjelasan Pemerintah terkait penghapusan ketentuan penjelasan pasal 15 ayat (1). Usul: Sebaiknya tetap karena dalam RUU CK, ketentuan mengenai penunjukan kawasan hutan tetap diatur.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Tetap.
      • P. Nasdem: Tetap.
      • PKB: Kembali ke Penjelasan Pasal 15 UU Eksisting UU No. 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
  • DIM 2067:
    • Ketentuan: Pasal 18 (1) Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
    • Rancangan Undang-Undang: Pasal 18 (1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
    • Kajian tim ahli DPR: Tetap. Dalam UU No. 41 Tahun 1999 terdapat batas minimum sejumlah 30% untuk DAS/Pulau. Namun, pada RUU CK hanya berdasarkan pada kondisi fisik dan geografis DAS/Pulau yang diatur Pemerintah. Hal ini akan berakibat pada penyusutan wilayah minimum kawasan hutan untuk DAS/Pulau.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Tetap.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Tetap.
      • P. Nasdem: Perlu penjelasan dari Pemerintah.
      • PKB: Tetap.
      • PD: Tetap.
      • PKS: Tetap.
      • PAN: Tetap.
      • PPP: Mengusulkan agar menambahkan dikembalikan kepada ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
  • DIM 2068:
    • Ketentuan Undang-Undang: (2) Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas DAS dan/atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
    • Rancangan Undang-Undang: (2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Meminta penjelasan pemerintah, tidak adanya pembatasan minimal 30% akan membuka seluruh lahan hutan Indonesia menjadi lahan investasi, dimana dalam hal ini dapat berpotensi menimbulkan imunitas terhadap korporasi dalam konteks hukum. Usulan: Tetap memakai UU Existing agar hadirnya investasi dan besarnya peluang kerja juga menjadi sumber dari standar nilai dari moto kehutanan yang selama ini digunakan, yaitu: masyarakat sejahtera, hutan lestari.
      • PG: Tetap
    • P. Gerindra: Diubah.
    • P. Nasdem:
    • PKB:
    • PD: Tetap.
    • PKS: Diubah. (2) Luas kawasan hutan yang dipertahankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal 30% dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.
  • DIM 2071:
    • Ketentuan Undang-Undang: Pasal 19 (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.
    • Rancangan Undang-Undang: Pasal 19 (1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintahan Pusat dengan mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.
    • Kajian tim ahli DPR: Tetap. Perubahan peruntukan kawasan hutan yang strategis tidak persetujuan DPR. fungsi pengawasan DPR terhadap kebijakan pemerintah akan hilang terutama dalam hal peruntukan kawasan hutan. Hal ini akan berakibat tuntutan dari rakyat rakyat kepada DPR sebagai wakilnya akan semakin ramai apabila terjadi pengrusakan hutan karena kurang fungsi pengawasan.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Meminta penjelasan Pemerintah frasa “didasarkan” menjadi “mempertimbangan” memiliki makna yang berbeda. Jika hasil penelitian terpadu hanya menjadi pertimbangan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, maka apa pertimbangan lain yang menjadi dasar perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Pendalaman. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan bisa juga diakibatkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang dimenangkan oleh masyarakat.
      • DPD RI: Kembali ke UU Eksisting.
  • DIM 2074:
    • Ketentuan Undang-Undang: Pasal 26 (1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
    • Rancangan Undang-Undang: Pasal 26 (1) Pemanfaatan hutan dapat dilakukan di hutan lindung dan hutan produksi dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah pusat.
    • Kajian tim ahli DPR: Tetap. Dengan dihapuskannya kepada siapa izin pemanfaatan hutan diberikan akan membuat ketidakjelasan.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Meminta penjelasan Pemerintah pemanfaatan hutan lindung tidak boleh sama dengan pemanfaatan hutan produksi, karena hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan sehingga pemanfaatannya hanya boleh sebatas pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, serta pada bukan kayu seperti pada ayat dalam undang-undang lama.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Tetap.
      • P. Nasdem: Tetap. Penambahan ayat (2) Pemanfaatan hutan di hutan lindung dan hutan produksi yang dilakukan oleh masyarakat melalui kegiatan dengan perizinan perhutanan sosial dikecualikan dari perizinan berusaha sebagaimana ayat (1). (3) Pemanfaatan hutan dalam kawasan hutan konservasi bagi keperluan panas bumi sebagaimana diatur dalam UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dikecualikan dari perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). (4) Pemanfaatan hutan dalam kawasan hutan konservasi bagi keperluan sumber air untuk keperluan non komersial sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air dikecualikan dari perizinan berusaha sebagimana dimaksud dalam ayat (1)
      • PKB: Tetap.
      • PD: Tetap.
      • PKS: Diubah. Kembali ke UU Eksisting.
      • PAN: Kembali ke UU Eksisting.
      • PPP: Kembali ke UU Eksisting..
      • DPD RI: Kembali ke UU Eksisting.
  • DIM 2080:
    • Ketentuan Undang-Undang: Pasal 30 Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerjasama dengan koperasi masyarakat setempat.
    • Rancangan Undang-Undang: Pasal 30 Dalam rangka memberdayakan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat diwajibkan bekerjasama dengan koperasi atau badan usaha milik desa yang dikelola masyarakat setempat.
    • Kajian tim ahli DPR: Tetap.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Mohon penjelasan tentang kerjasama BUMN, BUMS dengan koperasi atau BUMDES dan apakah ada sanksi kalau tidak dilaksanakan.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Diubah. Pengelolaan hutan tidak diserahkan kepada badan usaha asing. Pasal 30 Dalam rangka memberdayakan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan dari pemerintah pusat diwajibkan bekerjasama dengan koperasi atau BUMDes yang dikelola masyarakat setempat.
      • P. Nasdem: Perbaikan rumusan: Dalam rangka memberdayakan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta dan koperasi yang memperoleh perizinan berusaha dari pemerintah diwajibkan bekerjasama dengan koperasi atau badan usaha milik desa yang dikelola masyarakat setempat atau kelompok tani hutan.
      • PKB: Tetap.
      • PD: Tetap.
      • PKS: Tetap.
      • PAN: Tetap.
      • PPP: Mengusulkan agar menghapus frasa “perizinan berusaha” diubah dengan frasa “izin usaha”, dan menghapus frasa “Pemerintah Pusat” diganti dengan frasa “pemanfaat jasa lingkungan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu”.
  • DIM 2083:
    • Ketentuan Undang-Undang: (2) Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    • Rancangan Undang-Undang: (2) Ketentuan mengenai pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Memohon penjelasan Pemerintah:
        • 4. Penataan ulang terhadap izin usaha pemanfaatan hutan (sesuai penjelasan pasal 2).
        • 5. Konsep batasan izin usaha apakah berdasar pembatas luasan, penataan lokasi usaha atau hal-hal lainnya.
        • 6. Bagaimana pencegahan praktik oligopoli dan konglomerasi usaha
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Tetap.
      • P. Nasdem: Tetap.
      • PKB: Tetap.
      • PD: Tetap.
      • PKS: Tetap.
      • PAN: Tetap.
      • PPP: Tetap.
      • DPD RI: Tetap.
  • DIM 2085:
    • Ketentuan Undang-Undang: Pasal 32 Pemegang izin sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tempat usahanya.
    • Rancangan Undang-Undang: Pasal 32 Pemegang perizinan berusaha berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan hutan tenpat usahanya.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Tetap.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Diubah. Kejelasan norma. Pasal 32 Pemegang perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan berkewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya.
      • P. Nasdem: Tetap.
      • PKB: Tetap.
      • PD: Tetap.
      • PKS: Tetap.
      • PAN: Diubah. Menambahkan frasa “sebagaimana diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29” setelah frasa “perizinan berusaha”.
      • PPP: Tetap.
      • DPD RI: Tetap.
  • DIM 2091:
    • Ketentuan Undang-Undang: Pasal 35 (1) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.
    • Rancangan Undang-Undang:Pasal 35 (1) Setiap pemegang perizinan berusaha terkait pemanfaatan hutan dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja.Penerimaan Negara Bukan Pajak di bidang kehutanan.
    • Kajian tim ahli DPR: Tetap.
    • Fraksi:
      • PDI-P: Meminta penjealsan pemerintah, apakah PNBP terdapat unsur iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kiinerja seperti yang tertera pada UU Eksisting?.
      • PG: Tetap.
      • P. Gerindra: Tetap.
      • P. Nasdem: Tetap.
      • PKB: Tetap.
      • PD: Tetap.
      • PKS: Diubah. Kembali ke UU eksisting.
      • PAN: Kembali ke UU eksisting.
      • PPP: Kembali ke UU eksisting.
      • DPD RI: Tetap.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan