Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Penjelasan Badan Keahlian DPR-RI terhadap Penyusunan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) — Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Rapat Pleno dengan Badan Keahlian DPR-RI

Tanggal Rapat: 2 Feb 2022, Ditulis Tanggal: 4 Feb 2022,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Badan Keahlian DPR-RI

Pada 2 Februari 2022, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Rapat Pleno dengan Badan Keahlian DPR-RI mengenai Penjelasan Badan Keahlian DPR-RI terhadap Penyusunan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP). Rapat Pleno ini dibuka dan dipimpin oleh Supratman Andi Agtas dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dapil Sulawesi Tengah pada pukul 15.19 WIB. (ilustrasi: hukumonline.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Badan Keahlian DPR-RI
  • Sistematika Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP)
    • BAB I Pendahuluan
    • BAB II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris
    • BAB III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait
    • BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis
    • BAB V Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
    • BAB VI Penutup
  • BAB I Pendahuluan
    • Latar Belakang
      • Amanat Pasal 22A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Pengaturan mengenai tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.
      • Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi No.91/PUU-XVIII/2000: 1) Mengatur metode omnibus, dan 2) Meningkatkan kualitas partisipasi publik (meaningful participation)
    • Identifikasi Masalah
      • Teori dan praktik terkini mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.
      • Evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan yang terkait.
      • Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
      • Jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
    • Tujuan dan Kegunaan
      • Mengetahui teori dan praktik terkini mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkembang saat ini.
      • Mengetahui hasil evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan yang terkait.
      • Mengetahui apa yang menjadi landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
      • Mengetahui jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
    • Metode Penyusunan Naskah Akademik
      • Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dilakukan melalui studi kepustakaan/literatur dengan menelaah berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan terkait, baik di tingkat undang-undang maupun peraturan pelaksanaannya dan berbagai dokumen hukum terkait. Guna melengkapi studi kepustakaan dan literatur, dilakukan pula diskusi (focus group discussion) dan kegiatan uji konsep dengan berbagai pihak berkepentingan atau stakeholder dan para pakar atau akademisi.
  • BAB II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris
    • Kajian Teoritis
      • Definisi
        • Omnibus: for all; containing two or more independent matters, applied most commonly to a legislative bill which comprises more than one general subject. (Black’s Law Dictionary)
        • Omnibus Bill;
          • A legislative bill including in one act various separate and distinct matters, and frequently one joining a number of different subjects in one measure in such a way as to compel the executive authority to accept provisions which he does not approve or else defeat the whole document. (Black’s Law Dictionary) 
          • A draft law before a legislature which contains more than one substantive matter, or several minor matters which have been combined into one bill, ostensibly for the sake of convenience. (The Duhaime Legal Dictionary)
          • Omnibus Bill adalah teknik pembentukan undang-undang untuk mengubah dan memadukan pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan yang berasal dari beberapa undang-undang sekaligus dalam satu undang-undang. (Jimly Asshiddiqie)
        • Omnibus Law adalah hukum yang mencakup topik yang bermacam-macam dan sering tidak berkaitan satu sama lain (diverse or unrelated) yang harus dikonsolidasikan dan disinkronisasikan. (Muladi)
      • Manfaat Metode Omnibus Law dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
        • Mempersingkat proses legislasi;
        • Mencegah kebuntuan dalam pembahasan RUU;
        • Efisiensi biaya proses legislasi; dan
        • Harmonisasi Pengaturan.
      • Tujuan dan Tantangan
        • Menjawab dan membenahi berbagai sumbatan (debottlenecking) atas peraturan perundang-undangan.
        • Menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan dan memperbaiki kualitas.
      • Teori Partisipasi Masyarakat
        • Tangga Partisipasi berdasarkan Arnstein
          • Masyarakat mempunyai kewenangan penuh/partisipasi publik: kontrol warga negara, pendelegasian wewenang, dan kemitraan.
          • Partisipasi Simbolik: konsesi, konsultasi, dan pemberian informasi.
          • Tidak ada partisipasi: terapi dan manipulasi.
        • Partisipasi Masyarakat melalui e-Government
          • Publish: komunikasi satu arah.
          • Interact: komunikasi dua arah antara Pemerintah dengan masyarakat.
          • Transact: memberikan komunikasi dua arah di dalamnya terdapat transaksi pelayanan publik.
        • Perlu ada mekanisme yang standar dan baku yang diatur dalam undang-undang untuk memastikan hak warga negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:
          • Hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard);
          • Hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan
          • Hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapatnya (right to be explained).
    • Kajian terhadap Asas/Prinsip yang Terkait dengan Penyusunan Norma
      • Kejelasan tujuan;
      • Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
      • Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
      • Dapat dilaksanakan;
      • Kedayagunaan dan kehasilgunaan; dan
      • Kejelasan rumusan.
    • Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang Ada, serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat
      • Kondisi hiper regulasi dan overlapping peraturan perundang-undangan
      • Praktik omnibus law di beberapa negara common law dan civil law
        • Kanada
        • Amerika Serikat
        • Inggris
        • Selandia Baru
        • Australia
        • Jerman
        • Vietnam
        • Filipina
      • Partisipasi Masyarakat
        • Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Pasal 96).
        • Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Pasal 188).
        • Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
        • Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
        • Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 tentang Pembentukan Undang-Undang.
    • Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara
      • Implikasi Dampak Pengaturan Metode Omnibus
        • Analisis Biaya: biaya peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM)
        • Analisis Manfaat
          • Berkurangnya potensi disharmoni dan tumpang tindih pengaturan perundang-undangan.
          • Waktu pembahasan yang diperlukan lebih cepat daripada pembahasan RUU satu per satu.
          • Terciptanya efisiensi dan harmonisasi hukum.
          • Efisiensi penggunaan anggaran negara.
          • Lebih efektif dan efisien untuk mengakomodasi beberapa materi muatan sekaligus, serta dibutuhkan dalam mengatasi kebutuhan hukum.
      • Implikasi Pengaturan Partisipasi Masyarakat
        • Analisis Biaya
          • Perlunya penambahan anggaran untuk membuka dan mempermudah akses informasi publik.
          • Perlu upaya yang lebih/extra effort untuk berdiskusi bersama setiap kelompok masyarakat yang memiliki legal standing terhadap suatu RUU secara berimbang.
          • Memerlukan waktu yang cukup untuk kegiatan konsultasi publik.
        • Analisis Manfaat
          • Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga eksekutif dan legislatif.
          • Dapat membantu masyarakat memahami dan menerima peraturan perundang-undangan yang dibentuk.
          • Berkurangnya potensi aksi penolakan dari masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang disebabkan oleh kurangnya kepercayaan publik terhadap transparansi pembahasan peraturan perundang-undangan.
          • Tumbuhnya rasa memiliki (sense of belonging), rasa bertanggung jawab (sense of responsibility), dan akuntabilitas (accountability) masyarakat terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan.
  • BAB III Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundang-Undangan Terkait
    • Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
      • Pasal 1, Pasal 42, dan Pasal 64 Undang-Undang tentang PPP serta Lampiran II Undang-Undang tentang PPP belum menjadi landasan hukum pembentukan peraturan perundang-undangan dengan metode omnibus.
      • Pasal 96 Undang-Undang tentang PPP belum merumuskan dengan tepat terkait konsep meaningful participation.
    • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan  DPD sebagaimana telah diubah beberapa kali dan yang terakhir yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan  DPD (MD3)
      • Rancangan perubahan Undang-Undang tentang PPP sebagai akibat Putusan MK merupakan salah satu fungsi DPR di bidang legislasi (Pasal 69 Ayat (1) huruf a Undang-Undang tentang MD3).
      • Badan Legislasi DPR sebagai salah satu pengusul RUU dari internal DPR (Pasal 164 Undang-Undang tentang MD3 Perubahan Kedua).
    • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2-15 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda.
      • Pembentukan Peraturan Daerah (Perda) berpedoman pada Undang-Undang tentang PPP (Pasal 237 Ayat (2) Undang-Undang tentang Pemda).
      • Penggunaan metode omnibus merupakan solusi dalam mengatasi permasalahan hukum berupa obesitas jumlah peraturan perundang-undang.
  • BAB IV Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis
    • Landasan Filosofis
      • Negara Indonesia adalah negara hukum. Di dalam hukum terkandung kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
      • Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum.
      • Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
    • Landasan Sosiologis
      • Banyaknya masalah peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun di daerah yang menimbulkan tumpang tindih pengaturan yang tidak sinkron dan disharmonis.
      • Kebutuhan dan solusi penataan dan perbaikan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan dengan menambahkan metode omnibus dalam pembentukan peraturan tersebut.
    • Landasan Yuridis
      • Pasal 22A UUD NRI Tahun 29145 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Ketentuan a quo ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
      • Kekosongan hukum berkaitan dengan pengaturan metode omnibus dan peningkatan kualitas partisipasi masyarakat sebagaimana diamanatkan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
  • BAB V Jangkauan, Arah Pengaturan, dan Ruang Lingkup Materi Muatan
    • Jangkauan dan Arah Pengaturan
      • Mengakomodasi metode omnibus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan.
      • Memperjelas partisipasi masyarakat yang lebih bermakna (meaningful participation) dalam tahapan perencanaan, penyusunan, dan pembahasan peraturan perundang-undangan.
      • Perbaikan kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam Rapat Paripurna dan sebelum pengesahan.
      • Pembentukan peraturan perundang-undangan berbasis elektronik.
      • Perubahan sistem pendukung yaitu melibatkan pejabat fungsional lain yang terkait pembentukan peraturan perundang-undangan.
    • Ruang Lingkup Materi Muatan
      • Ketentuan Umum
      • Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
      • Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan yang menggunakan Metode Omnibus
      • Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan
      • Partisipasi Masyarakat
      • Pengubahan atau Pencabutan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan yang menggunakan Metode Omnibus
      • Pembentukan peraturan perundang-undangan secara elektronik
      • Dukungan terhadap Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
      • Lampiran
  • BAB VI Penutup
    • Kesimpulan
      • Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang tentang PPP sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, serta pengembangan dinamika legislasi diantaranya belum diakomodirnya metode penyusunan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus.
      • Kebutuhan untuk penyusunan peraturan dengan menggunakan metode omnibus dalam praktik mendapatkan kesulitan karena belum ada landasan hukum tertulisnya.
      • Perubahan terhadap Undang-Undang tentang PPP didasarkan pada 3 (tiga) landasan penting, yaitu landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.
    • Saran
      • Perlu segera dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang tentang PPP memberikan jaminan kepastian hukum mengenai penggunaan metode omnibus dan kejelasan mengenai partisipasi masyarakat.
  • Rumusan Materi Muatan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPP
    • Metode Omnibus adalah metode penyusunan Peraturan Perundang-undangan dengan menambah materi muatan baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-undangan, dan/atau mencabut Peraturan Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, dengan menggabungkannya ke dalam satu Peraturan Perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.
    • Menambahkan bagian dan Pasal tentang Perencanaan Peraturan Perundang-Undangan yang menggunakan Metode Omnibus
      • Bagian Ketujuh - Pasal 42A
        • Penggunaan Metode Omnibus dalam penyusunan suatu Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) harus ditetapkan dalam dokumen perencanaan.
      • Pasal 64
        • (1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
        • (2) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan Metode Omnibus.
        • (3) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran Il yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari undang- undang ini.
        • (4) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.
      • Pasal 97A
        • Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang menggunakan Metode Omnibus hanya dapat diubah dan/atau dicabut dengan mengubah dan/atau mencabut Peraturan Perundang-undangan tersebut.
      • Pasal 96
        • (8) Pembentuk peraturan perundang-undangan dapat menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). Penjelasan: Yang dimaksud dengan "hasil pembahasan" antara lain laporan rapat.
        • (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Presiden, Peraturan DPR, dan Peraturan DPD.
    • Penyempurnaan Teknik Penyusunan Naskah Akademik pada Huruf D Bab II Lampiran I
      • Ketentuan huruf D Bab II sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diubah, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
      • Lampiran I BAB II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris
        • Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru dilakukan dengan menganalisis dampak dari suatu norma dalam Undang- Undang atau Peraturan Daerah untuk memperkirakan biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh dari penerapan suatu Undang-Undang atau Peraturan Daerah. Kajian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode analisis terhadap dampak regulasi (Regulatory Impact Analysis) dan metode analisis lainnya.
    • Perbaikan Kesalahan Teknis setelah Persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam Rapat Paripurna dan Sebelum Pengesahan
      • Pasal 72
        • (1) RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
        • (2) Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat kesalahan teknis penulisan, dilakukan perbaikan oleh pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan Pemerintah yang diwakili oleh kementerian yang membahas RUU tersebut.
        • (3) Hasil perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut dan wakil dari Pemerintah yang membahas RUU tersebut.
        • (4) Perbaikan dan penyampaian RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
      • Pasal 73
        • (1) Dalam hal RUU telah disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 masih ditemukan kesalahan teknis, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang kesekretariatan negara bersama dengan kementerian yang membahas RUU tersebut melakukan perbaikan dengan melibatkan Pimpinan alat kelengkapan DPR yang membahas RUU tersebut.
        • (2) RUU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 atau RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Presiden dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU disetujui bersama antara DPR dan Presiden.
        • (3) Dalam hal RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
        • (4) Dalam hal sahnya RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    • Penjelasan Peraturan Perundang-Undangan Bersifat Mengikat
      • Pasal 84A
        • Penjelasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 merupakan tafsir otentik dan bersifat mengikat serta bagian tidak terpisahkan dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
    • Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Berbasis Elektronik
      • Pasal 97B
        • (1) Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilakukan berbasis elektronik.
        • (2) Pembubuhan tanda tangan dalam proses pengesahan atau penetapan dan pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan tanda tangan elektronik.
        • (3) Tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus bersertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
        • (4) Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkekuatan hukum sama dengan Peraturan Perundang-Undangan yang dibentuk dalam bentuk tercetak.
    • Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi serta Evaluasi
      • Pasal 97C
        • (1) Selain jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan yang harmonisasi rancangannya telah diatur dalam Pasal 46 ayat (2), Pasal 47 ayat (3), Pasal 48 ayat (3), Pasal 54 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 58, kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang peraturan perundang-undangan melaksanakan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi serta evaluasi seluruh jenis dan hierarki Rancangan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang.
        • (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri/Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang peraturan perundang-undangan.
    • Perubahan Sistem Pendukung
      • Selain Perancang Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 Ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan analisis legislatif dan tenaga ahli.
      • Penjelasan: Yang dimaksud dengan "analis legislatif* adalah aparatur sipil negara yang bertugas memberikan dukungan dalam pembentukan Undang-undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sedangkan yang dimaksud dengan "tenaga ahli" adalah tenaga ahli pada alat kelengkapan DPR, DPD, DPRD, Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan