Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pengambilan Keputusan Tingkat I atas Hasil Pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) — Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI Rapat Pleno dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA)

Tanggal Rapat: 6 Apr 2022, Ditulis Tanggal: 27 Apr 2022,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Pada 6 April 2022, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI menyelenggarakan Rapat Pleno dengan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) mengenai Pengambilan Keputusan Tingkat I atas Hasil Pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Rapat Pleno ini dibuka dan dipimpin oleh Supratman Andi Agtas dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dapil Sulawesi Tengah pada pukul 13:29 WIB. (ilustrasi: bbc.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Willy Aditya (Fraksi Partai NasDem, Jawa Timur 11) membacakan Laporan Ketua Panja RUU tentang TPKS

  • Hari ini menjadi hari yang bersejarah, tapi tidak hanya sejarah. Ini adalah peletakan batu dari peradaban kita. Ikhtiar kita memperjuangkan RUU ini adalah seberapa beradabnya manusia Indonesia dalam menghargai perempuan dan anak.
  • Kita sudah menyusun RUU ini secara bersama-sama. Ketika Willy ditunjuk menjadi Ketua Panja penyusunan RUU TPKS, suatu prinsip yang dikedepankan adalah prinsip dialog.
  • Berbeda ideologi, keyakinan, dan spektrum politik akhirnya dapat bersepakat di bawah bendera Merah Putih dan Pancasila untuk kemaslahatan perempuan dan anak Indonesia.
  • RUU ini menjadi role model bagaimana sebuah undang-undang diperjuangkan, bagaimana kolaborasi political will dari Pemerintah dan DPR serta partisipasi dari masyarakat sipil. Semoga kedepan ini bisa menjadi cerminan bagaimana ketika sebuah undang-undang pro publik bisa dipercepat.

My Esti (Fraksi PDI-P, Yogyakarta) membacakan Pandangan Mini Fraksi PDI-P terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • Saat ini, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sangat dinantikan oleh masyarakat sebagai wujud keberpihakan negara terhadap permasalahan kekerasan seksual yang semakin marak terjadi.
  • Masyarakat sangat paham bahwa kekerasan seksual bukan hanya kejahatan terhadap kesusilaan semata, namun juga memiliki dampak yang amat sangat serius dan traumatik bagi korban serta mungkin berlangsung seumur hidup.
  • Bahkan, di beberapa kasus kekerasan seksual dapat mendorong korban untuk melakukan bunuh diri. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual di Indonesia saat ini belum dapat dikatakan optimal dalam memberikan pencegahan dan perlindungan serta memenuhi kebutuhan korban kekerasan seksual akan rasa keadilan.
  • Oleh karenanya, RUU TPKS menjadi sangat penting dalam menyelesaikan berbagai persoalan hukum atas kekerasan seksual sebagaimana telah diamanatkan dalam Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia.
  • Pada Mei 2016 yang lalu, 5 atau 6 tahun yang lalu, Ibu Ketua Umum PDI-P, Ibu Megawati Soekarnoputri bersama berbagai organisasi perempuan meluncurkan gerakan Indonesia melawan kekerasan seksual.
  • Ibu Megawati dalam pidato peluncuran gerakan Indonesia melawan kekerasan seksual antara lain menyatakan gerakan kemanusiaan, gerakan menegakkan kebenaran dan keadilan, kita bangun gerakan untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan seksual kepada siapapun dan dimanapun, kita hentikan stigma terhadap para korban yang hanya membuat korban semakin menjadi korban.
  • Dari pidato tersebut membuktikan bahwa Ibu Megawati memandang perlu dan penting RUU TPKS ini segera disahkan dan hingga pada periode ini masih konsisten memerintahkan Fraksi PDI-P untuk memasukkan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ke dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2021 dan hingga dalam proses pembahasannya menjadi RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
  • Maka dari itu, melalui RUU ini diharapkan menjadi payung hukum yang akan memberikan penjelasan serta kepastian hukum dalam pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban yang pada akhirnya akan menjadi undang-undang yang bersifat khusus terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini.
  • Setelah melaksanakan pembahasan yang mendalam terkait RUU tentang TPKS, Fraksi PDI-P memberikan dukungan penuh dengan beberapa catatan diantaranya sebagai berikut: 
    • Fraksi PDI-P mengapresiasi RUU TPKS yang telah memberikan pembaharuan hukum yang berkaitan dengan hak-hak korban;
    • Fraksi PDI-P mengapresiasi RUU TPKS yang telah mengakomodir pengaturan mengenai kekerasan seksual berbasis elektronik sebagai bagian dari delik pidana kekerasan seksual. Terlebih, pengaturan yang belum tercantum di Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Pornografi termasuk penghapusan atau pemutus akses informasi elektronik yang mengandung muatan tindak pidana kekerasan seksual, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat saat ini;
    • Fraksi PDI-P mengapresiasi RUU TPKS yang telah memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat dari TPKS dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku TPKS atau pihak ketiga sebagai ganti bagi korban yang diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima;
    • Fraksi PDI-P mendukung adanya pelayanan terpadu oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu untuk penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban keluarga korban dan saksi, sehingga mampu mengatasi berbagai hambatan yang dialami korban selama ini. Baik dari sisi pembuktian, pengetahuan, dan keterampilan penegak hukum dalam penanganan korban, sarana prasarana untuk perlindungan dan pemulihan, dan rumah aman bagi korban guna memberikan rasa aman; 
    • Fraksi PDI-P mengapresiasi adanya pengaturan tentang koordinasi antar lembaga terkait dengan pengawasan TPKS yang terjadi. Selain itu, adanya pengaturan terkait dengan peran serta masyarakat dan keluarga dalam upaya pencegahan agar tidak terjadi lagi tindak kekerasan seksual.
  • Berkaitan dengan hasil pembahasan RUU TPKS, maka Fraksi PDI-P DPR-RI menyatakan sikap menyetujui RUU TPKS untuk dapat disahkan menjadi undang-undang.
  • Sebagai reformasi hukum melalui undang-undang ini telah dibawa oleh PDI-P yang terus mengawal proses pembentukan RUU TPKS agar menjadi produk hukum yang berkeadilan bagi para korban.
  • Fraksi PDI-P menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Pimpinan, khususnya Pak Willy yang sudah memimpin di Panja dan Pimpinan yang lain, anggota yang terus-menerus secara maraton melakukan pembahasan, dari sekretariat Baleg yang terus mengikuti pembahasan dan berikan masukan-masukan. Begitu juga kepada Pemerintah yang dipimpin oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM dan kepada seluruh jaringan perempuan yang ikut terlibat di dalam proses pembahasan ini. Penghargaan yang tulus ini kami berikan kepada semua yang terlibat dan semoga kita semua akan mampu terus mengawal ini di dalam implementasinya.

Supriansa (Fraksi Partai Golkar, Sulawesi Selatan 2) membacakan Pandangan Mini Fraksi Partai Golkar terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • Supriansa akan menyampaikan catatan sebelum menyatakan persetujuannya dalam RUU ini. Meski demikian, Fraksi Partai Golkar menegaskan kembali bahwa pada pasal yang mengatur tentang korporasi dimana Fraksi Partai Golkar menyatakan perlu ada pembedaan antara korporasi dengan tindakan orang per orang, sehingga tindakan orang per orang tidak dapat dipersamakan sebagai tindakan korporasi termasuk pada saat pencabutan izin usaha terhadap perusahaan tersebut jika dilakukan orang per orang bukan perusahaan. 
  • Dengan pertimbangan tersebut, Fraksi Partai Golkar menyatakan bahwa:
    • Mengingat pentingnya RUU TPKS, maka Fraksi Partai Golkar menyatakan setuju untuk disahkan di sidang Paripurna untuk menjadi Undang-Undang dan selanjutnya untuk diproses sesuai mekanisme ketentuan perundang-undangan yang berlaku; 
    • Mengingat bahwa RUU ini bertujuan melindungi korban kekerasan seksual yang menjadi inisiatif DPR-RI dan Badan Legislasi elah melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap RUU tersebut, maka Fraksi Partai Golkar menekankan pentingnya RUU ini dan sikap kehati-hatian dalam merumuskan substansi norma-norma yang akan diatur dalam undang-undang ini perlu kecermatan dan kehati-hatian oleh AKD yang akan ditunjuk dalam Pembahasan Tingkat I bersama Pemerintah dalam pembahasan selanjutnya.
    • Sehubungan dengan itu, dengan mengucapkan Bismillah, Fraksi Partai Golkar DPR-RI setuju dan sepakat RUU TPKS ini disahkan menjadi UU di Sidang Paripurna DPR-RI yang selanjutnya diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sodik Mudjahid (Fraksi Partai Gerindra, Jawa Barat 1) membacakan Pandangan Mini Fraksi Partai Gerindra terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah lama terhenti dan dinantikan oleh rakyat Indonesia. Pembicaraan Tingkat I antara Badan Legislasi DPR RI dengan Pemerintah berjalan sangat baik.
  • Hal tersebut didorong keinginan bersama untuk mengurangi angka kekerasan seksual di Indonesia. Secara khusus, Sodik menyampaikan apresiasi kepada Ketua Panja yang telah akomodatif, dialogis, dan memimpin persidangan dengan baik dan juga wakil Pemerintah yaitu Wakil Menteri Hukum dan HAM yang sangat menguasai konten dan sistematika hukum. Adapun kesepakatan politik yang dicapai dan diapresiasi antara DPR dan Pemerintah antara lain mencakup Pemerintah memperkuat substansi usulan DPR-RI antara lain terkait pemberatan hukum, tujuan UU TPKS, perluasan TPKS, penguatan peran LPSK, serta pembentukan Dana Bantuan Korban/Victim Trust Fund.
  • Walaupun demikian, Fraksi Partai Gerindra menyampaikan beberapa catatan:
    • Dalam landasan sosiologis, seharusnya tetap mempertahankan frasa norma agama dan norma budaya. Fraksi Partai Gerindra berpandangan norma agama akan memperkuat komitmen rakyat dan bangsa Indonesia yang religius untuk secara serius melawan berbagai bentuk kekerasan seksual dan penyimpangan seksual. Sementara, norma budaya diyakini karena rakyat Indonesia sangat kuat keterikatannya pada budaya yang juga anti dan melawan berbagai bentuk kekerasan dan penyimpangan seksual. Dihapuskannya fasa norma agama dan norma budaya berarti mengurangi pemberdayaan komitmen rakyat dan bangsa Indonesia kepada agama dan budaya dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual; 
    • Pasal 25 ayat 4, 5, dan 6, Fraksi Partai Gerindra berpandangan keberpihakan para penyandang disabilitas menjadi penting dan mendesak. Alhamdulillah dalam sidang terakhir sidang mengakomodasi aspirasi dari kaum disabilitas dan mengurangi kesan diskriminasi kepada kaum disabilitas; 
    • Pembentukan Dana Bantuan Korban perlu diperkuat dengan aturan dan konsistensi APBN terutama apabila sumber-sumber yang ditentukan dalam undang-undang ini berjalan tidak normal; dan 
    • Terkait Pasal 86 tentang Peran Serta Keluarga, Fraksi Partai Gerindra menilai bahwa ini perlu diapresiasi karena merupakan hal strategis dalam pencegahan TPKS. Fraksi Partai Gerindra menilai perlu ada penguatan frasa tersebut antara lain berupa reward and punishment kepada keluarga aktif atau tidak aktif dalam pencegahan TPKS. 
  • Berdasarkan pandangan dan catatan di atas, maka Fraksi Partai Gerindra DPR-RI menyatakan menyetujui RUU TPKS untuk dilanjutkan pembahasan ke tingkat selanjutnya.

Taufik Basari (Fraksi Partai NasDem, Lampung 1) membacakan Pandangan Mini Fraksi Partai NasDem terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • Kita patut bersyukur, hari ini, Kamis 6 April 2022 setelah penantian yang panjang DPR-RI bersama Pemerintah telah menyelesaikan pembahasan sebuah naskah RUU yang mampu memberikan jaminan perlindungan bagi korban kekerasan seksual dan membangun kesadaran untuk memberikan penghormatan pada harkat dan martabat manusia.
  • Fraksi Partai NasDem DPR-RI yang sejak awal mengawal mengusulkan dan mendorong RUU TPKS untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas Tahunan dan meminta agar pembahasan dilakukan secara komprehensif di Badan Legislasi DPR-RI menilai bahwa pengambilan keputusan pembicaraan Tingkat I pada hari ini merupakan tonggak baru bagi perjuangan panjang berbagai lapisan masyarakat dalam mendorong kehadiran negara dalam merespon kondisi Indonesia darurat kekerasan seksual yang upayanya bahkan telah digagas sejak tahun 2001.
  • Fraksi Partai NasDem DPR-RI menilai sejak proses penyusunan hingga pembahasan Tingkat I bersama pihak eksekutif, Baleg telah banyak mengakomodir berbagai masukan, berupaya mengisi kekosongan hukum serta mencari jalan tengah terbaik atas beberapa substansi yang menjadi perdebatan di masyarakat. Fraksi Partai NasDem menilai RUU ini komprehensif mengatur dari hulu ke hilir, mulai dari pencegahan, penanganan, sampai kepada pemulihan korban.
  • RUU ini juga progresif karena rumusan jenis-jenis TPKS di dalamnya telah berhasil disusun dalam kerangka konsepsi kekerasan seksual yang melihat adanya relasi kuasa dan ketimpangan gender sebagai karakteristik khas dari kekerasan seksual serta memastikan tindak pidana lainnya yang diatur dalam undang-undang lain tetap masuk dalam kategori kekerasan seksual untuk tunduk pada peraturan hukum acara pidana dalam undang-undang ini dan peraturan hukum acara pidana ini juga memberikan catatan-catatan progresif bagi perkembangan hukum acara pidana di Indonesia, serta juga ada pengakuan terhadap hak-hak korban dan lain-lain yang merupakan hal-hal yang baru yang mewarnai reformasi hukum pidana dan hukum acara pidana di Indonesia. RUU TPKS ini memberikan kontribusi besar bagi reformasi hukum di Indonesia dan membuka babak baru bagi perjuangan untuk menghapus kekerasan seksual. 
  • Fraksi Partai NasDem menggarisbawahi beberapa hal diantaranya:
    • Norma baru yang menjadi di bagian dari pembaharuan hukum di Indonesia dalam RUU TPKS ini telah berhasil memberikan penegasan atas hak restitusi bagi korban kekerasan seksual dan penyitaan harta pelaku sebagai upaya memberikan jaminan restitusi dari pelaku kepada korban; 
    • Diakomodirnya Victim Trust Fund atau Dana Bantuan Korban sebagai terobosan yang akan memastikan kehadiran negara dalam penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual dalam bentuk pemberian kompensasi apabila harta pelaku yang disita tidak mampu memenuhi besaran restitusi yang diputuskan oleh pengadilan, serta mekanisme pendanaan yang memungkinkan adanya peran serta masyarakat dalam rangka penanganan kasus kekerasan seksual; 
    • Diakomodirnya kekerasan berbasis elektronik dalam RUU ini dan diakuinya right to be forgotten atau hak untuk dilupakan sekaligus upaya perlindungan korban melalui penghapusan bukti digital, sehingga data tersebut tidak dapat lagi diakses oleh publik; 
    • Diakomodirnya norma baru terkait kekhususan dalam hukum acara yang seluruhnya memiliki perspektif perlindungan terhadap korban, diantaranya adanya mekanisme perlindungan korban agar tidak mengalami reviktimisasi pada proses peradilan melalui alat bukti berupa keterangan saksi melalui perekaman elektronik, diakuinya visum psikiatrikum sebagai alat bukti, serta penegasan panduan bagi aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dan martabat manusia, serta tidak menjustifikasi kesalahan dan melakukan viktimisasi melalui pertanyaan yang bersifat menjerat atau menimbulkan trauma bagi korban kekerasan seksual; dan
    • Telah memuat secara eksplisit fungsi pemantauan oleh Komnas Perempuan dan tiga lembaga negara hak asasi manusia yang menangani kekerasan terhadap perempuan, hak asasi manusia, perlindungan anak dan disabilitas, sebagai bagian dari proses check and balances atau correctional system, dan mendorong efektivitas pencegahan dan penanganan korban.
  • Pembahasan RUU ini yang telah kita jalani bersama merupakan bukti keseriusan berbagai elemen masyarakat terhadap upaya penghapusan praktik kekerasan seksual di Indonesia. Untuk itu, terhadap RUU TPKS, Fraksi Partai NasDem DPR-RI menyatakan menerima dan menyetujui untuk dilanjutkan ke tahap pembicaraan Tingkat II melalui Rapat Paripurna DPR-RI untuk diputuskan menjadi undang-undang.

Nur Nadlifah (Fraksi PKB, Jawa Tengah 9) membacakan Pandangan Mini Fraksi PKB terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • Sebagaimana diketahui bahwa RUU TPKS sangat dinantikan masyarakat sebagai wujud kehadiran dan keberpihakan negara terhadap permasalahan kekerasan seksual.
  • Fraksi PKB sejak awal sangat konsen dan mengusulkan pembentukan RUU TPKS. Saat ini, setelah melalui berbagai tahapan, dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 Januari 2022, RUU TPKS usulan Baleg disetujui dan ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif DPR.
  • Dalam penyusunan RUU tentang TPKS guna menjalankan asas transparansi dalam pelaksanaan fungsi legislasinya, baik Baleg maupun Fraksi PKB telah mendapatkan berbagai masukan dari para pakar dan akademisi, aktivis, organisasi masyarakat, dan organisasi keagamaan, dan berbagai pemangku kepentingan terkait.
  • Fraksi PKB sepakat bahwa RUU tentang TPKS merupakan upaya pembaruan hukum yang diwujudkan secara komprehensif untuk mewujudkan upaya pencegahan, perlindungan, akses keadilan, pemulihan, dan pemenuhan kebutuhan anak korban TPKS.
  • Oleh karena itu, dalam RUU ini perlu mengatur mengenai pencegahan segala bentuk kekerasan seksual, hukum acara yang berpihak pada korban, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban TPKS penindakan dan rehabilitasi pelaku dalam TPKS, dan upaya mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.
  • Setelah melalui berbagai tahapan dan pembahasan berdasarkan Daftar Inventaris Masalah (DIM) RUU TPKS, dengan ini Fraksi PKB memberikan pandangan sebagai berikut:
    • Fraksi PKB berpendapat bahwa RUU TPKS ini adalah upaya menciptakan instrumen penting untuk membangun moralitas masyarakat dan bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa;
    • Fraksi PKB berpendapat bahwa pembahasan RUU TPKS ini telah berjalan dengan dinamis dan positif. Kita selaku Panja maupun Pemerintah telah memberikan masukan-masukan konstruktif dan memiliki semangat yang sama untuk menyelesaikan RUU dengan penuh kehati-hatian untuk memastikan materi muatan pasal-pasal yang diatur bisa diimplementasikan dengan tepat dan tidak multitafsir; 
    • Fraksi PKB berpendapat secara substansial RUU ini telah memadai dan mengatur dalam pengaturan yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi, dan memulihkan korban TPKS, memberikan landasan hukum yang tegas dalam penanganan hukum, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, dan mencegah agar kekerasan seksual tidak terulang kembali;
    • Fraksi PKB berpandangan bahwa kemajuan teknologi dan dunia digital saat ini membawa manfaat yang luar biasa. Namun, pada aspek tindak pidana termasuk TPKS, bisa saja terjadi berlandaskan pada penggunaan teknologi digital tersebut. Dari berbagai data yang telah Fraksi PKB terima, kekerasan terhadap perempuan yang di dalamnya termasuk kekerasan dan pelecehan secara berbasis gender melalui dunia maya, digital dan/atau elektronik mengalami peningkatan yang luar biasa tingginya;
    • Fraksi PKB berpendapat RUU ini telah mengatur kemaslahatan yang nyata, memberikan perlindungan kepada korban yang sangat banyak jumlah dan beragam penderitaannya yang belum mendapatkan perlindungan hukum semestinya dan tidak tersandera oleh kekhawatiran yang sifatnya dugaan sesuai dengan kaidah kemaslahatan yang nyata harus lebih diutamakan daripada kemafsadatan yang masih dugaan;
    • Fraksi PKB berharap pengaturan berdasarkan RUU ini nanti dilakukan penjelasan dan sosialisasi yang masif kepada masyarakat. Pengaturan yang ada tidak memunculkan berbagai pendapat dan tafsir yang bermacam-macam atas rumusan pengaturan yang ada; dan
    • Sebagai pertimbangan yang cukup urgen, Fraksi PKB berpendapat perlunya kecermatan kembali dalam perumusan RUU terutama ketentuan yang dinilai bersifat diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Hal ini perlu dilakukan untuk mencari solusi rumusan ketentuan yang tepat dalam mengakomodasi peran perlindungan negara terhadap saksi atau korban penyandang disabilitas. Jangan sampai ada ketentuan yang membatasi saksi atau korban penyandang disabilitas untuk memberikan dan dipertimbangkan keterangannya dengan nilai yang sama dengan saksi atau korban lain.
  • Fraksi PKB meyakini kita semua sebagai wakil rakyat dengan kearifan dan kenegarawanan kita mampu menghadirkan UU TPKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberikan perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual. 
  • Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan perlunya akomodasi terhadap catatan yang disampaikan di atas, dengan mengucapkan Bismillah, Fraksi PKB menyetujui RUU tentang TPKS untuk ditindaklanjuti dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I DPR.

Santoso (Fraksi Partai Demokrat, DKI Jakarta 3) membacakan Pandangan Mini Fraksi Partai Demokrat terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • Saat ini, Indonesia dalam kondisi darurat masalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan suatu isu yang menjadikan kekhawatiran di masyarakat, kekerasan seksual merupakan pelanggaran HAM, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan bertentangan dengan Pancasila khususnya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
  • Masalah kekerasan seksual terhadap perempuan sebagaimana kekerasan terhadap kelompok difabel dan anak-anak menjadi kekhawatiran tersendiri sehingga menyadarkan kita tentang keseriusan masalah kekerasan seksual yang membutuhkan perhatian dari semua pihak, sehingga perlu adanya tindak lanjut dalam penegakan hukum yang konsisten sesuai dengan asas keadilan agar dapat memberikan kepastian hukum bagi korban dan pelaku.
  • Di sisi lain, langkah-langkah preventif kekerasan seksual masih dianggap lemah dan membutuhkan manajemen pencegahan dan penanggulangan yang strategis dan bersifat komprehensif agar dapat memperkuat dan menyelaraskan upaya pencegahan kekerasan seksual secara berkelanjutan.
  • Selama ini, penjaminan hukum terhadap korban tindak kekerasan seksual dituangkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain KUHP yang menjamin pembinaan terhadap pelaku tindak pemerkosaan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Akan tetapi, salah satu permasalahan yang dihadapi terkait peraturan perundang-undangan mengenai kekerasan seksual di Indonesia adalah bahwa ketentuan-ketentuan ini masih diatur dalam peraturan-peraturan yang terpisah dan belum ada satu peraturan perundang-undangan yang mengatur kekerasan seksual secara spesifik dan terintegrasi.
  • Fraksi Partai Demokrat berharap dengan disahkannya RUU ini tidak hanya menjadi payung hukum, tetapi juga dapat memberikan rasa aman dan menjadi jawaban bagi kekhawatiran masyarakat, memberikan keadilan bagi korban, dan memberikan hukuman yang tegas, serta efek jera bagi pelaku kekerasan seksual. Hukuman yang diatur harus disesuaikan dengan bentuk kekerasan seksual yang dilakukan latar belakang pelaku dan akibat yang ditimbulkan. Dengan adanya aturan ini diharapkan hukuman yang dijatuhkan dan pembinaan dapat berjalan adil dan proporsional.
  • Terkait aturan mengenai kekerasan seksual berbasis elektronik, Fraksi Partai Demokrat berpandangan aturan ini dibutuhkan untuk menghadirkan rasa aman dari kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di ruang digital.
  • Fraksi Partai Demokrat berpandangan harus dimasukkannya peningkatan ketentuan denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana kekerasan seksual dari yang awalnya paling sedikit Rp200 Juta menjadi paling sedikit Rp5 Miliar dan yang awalnya paling banyak Rp1 Miliar menjadi Rp15 Miliar. Peningkatan ketentuan denda ini diharapkan dapat menimbulkan rasa takut, menimbulkan efek jera, dan menjadi rambu pengingat bagi korporasi agar tidak melakukan kekerasan seksual.
  • Fraksi Partai Demokrat mendukung aturan Dana Bantuan Korban untuk memberikan kepastian dan penguatan bagi pemenuhan hak-hak korban. Adanya aturan ini diharapkan dapat menjadi ganti rugi dan membantu proses pemulihan korban dari kerugian materil yang dideritanya.
  • Fraksi Partai Demokrat berharap agar RUU TPKS ini akan memperkuat penyelenggaraan koordinasi tidak hanya Pemerintah dan Pemerintah daerah saja, juga memperkuat koordinasi dan kerjasama LPSK sebagai upaya perlindungan, pencegahan penanganan, pendampingan dan pemulihan terhadap korban kekerasan seksual dengan memperhatikan aspek kompetensi dan kontinuitas perencanaan secara cepat, terpadu dan terintegrasi.
  • Fraksi Partai Demokrat berharap RUU TPKS ini mampu memberikan dukungan yang maksimal untuk penyelenggaraan pemulihan korban dan pemantauan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas, dan Masyarakat Sipil.
  • Fraksi Partai Demokrat memahami bahwa dalam upaya melindungi korban kekerasan seksual dan upaya pencegahan kekerasan seksual guna memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum harus didasari oleh sebuah peraturan perundang-undangan, sehingga Fraksi Partai Demokrat menyetujui RUU TPKS untuk dibahas pada tingkat selanjutnya.

Al Muzzammil Yusuf (Fraksi PKS, Lampung 1) membacakan Pandangan Mini Fraksi PKS terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • Menyikapi hasil Panja pembahasan RUU TPKS oleh Panja Baleg bersama Pemerintah, F-PKS menyampaikan catatan-catatan sebagai berikut:
    • F-PKS mengutuk keras dan menolak segala bentuk kejahatan seksual, mendukung terhadap upaya-upaya pemberatan pidana termasuk pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual serta mendukung upaya penanganan perlindungan dan pemulihan terhadap korban kejahatan seksual yang meliputi layanan pengaduan, kesehatan, bantuan hukum, pemenuhan hak, dan pemberian bantuan bagi korban serta pemulihan untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual dan sosial korban. Hal ini dibuktikan dengan F-PKS memiliki lembaga khusus yaitu Rumah Keluarga Indonesia (RKI) dengan 1.000 konsultan yang berfokus untuk memberikan advokasi, perlindungan dan konsultasi yang berkaitan dengan kejahatan seksual yang menyebar di seluruh Indonesia bahkan jauh sebelum RUU TPKS dibahas.
    • Di sisi lain, F-PKS juga prihatin dengan maraknya tindakan perzinahan, gaya hidup seks bebas serta perilaku penyimpangan seksual. Sejak awal penyusunan RUU TPKS di Baleg, F-PKS mendorong agar rumusan tindak pidana dalam RUU TPKS ini memasukkan secara lengkap jenis-jenis tindak pidana kesusilaan yaitu segala bentuk tindak pidana kekerasan seksual, perzinahan dan penyimpangan seksual, sehingga pembahasan RUU TPKS ini tidak menggunakan satu paradigma, yaitu kekerasan seksual saja.
    • Pembahasan RUU TPKS ini harus dilakukan dengan paradigma berpikir yang lengkap, integral, komprehensif serta pembahasannya dilakukan secara cermat, hati-hati dan tidak terburu-buru agar pelaksanaan RUU TPKS nantinya dapat secara efektif mencegah dan mengatasi seluruh tindak pidana kesusilaan.
    • Pembentukan undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan termasuk di dalamnya kekerasan seksual, perzinahan dan penyimpangan seksual harus memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 Tahun 2016.
    • Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim MK menegaskan bahwa diperlukan langkah perbaikan untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana kesusilaan oleh pembentuk undang-undang.
    • Dalam permohonan uji materi Pasal 284, 285, dan 292 KUHP yang diajukan oleh sejumlah pihak meminta MK memperjelas rumus delik kesusilaan.
    • Pemohon dalam gugatannya meminta Pasal 284 tidak perlu memiliki unsur salah satu orang yang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.
    • Terkait Pasal 285, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pemerkosaan menyangkut semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun sebaliknya.
    • Pasal 292, Pemohon meminta dihapuskannya frasa belum dewasa, sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana. Homoseksual harus dilarang tanpa membedakan batas usia korban, baik belum dewasa atau sudah dewasa.
    • Dalam putusannya,  MK menolak gugatan Pemohon karena pembentukan norma baru bukan merupakan kewenangan MK sebagai negative legislator
    • 5 (lima) Hakim MK berpendapat bahwa substansi permohonan telah memasuki wilayah criminal policy yang kewenangannya ada pada pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan Presiden sebagai positive legislator. Namun, 4 orang Hakim MK memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Keempat Hakim MK tersebut menyatakan bahwa dalam menafsirkan tindak pidana kesusilaan, Pasal 284, 285, 292 KUHP harus memberi tempat bagi nilai agama, sinar ketuhanan dan nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (living low) atau dalam memandang sifat ketercelaan suatu perbuatan.
    • Jika eksistensi Pasal 284 KUHP yang mempersempit makna zina tetap dipertahankan sebagaimana adanya, maka kewibawaan supremasi konstitusi dan hukum di Indonesia akan sangat terancam karena mencantumkan norma yang bertentangan atau setidak-tidaknya mempersempit dan mereduksi ruang lingkup ketercelaan suatu perbuatan yang telah digariskan secara tegas menurut hukum Tuhan.
  • Sejalan dengan argumentasi MK tersebut, F-PKS menilai bahwa dalam penyusunan suatu rumus delik tidak bisa membebaskan suatu perbuatan bukan sebagai tindak pidana semata-mata hanya karena perbuatan tersebut memenuhi unsur delik. Padahal, perbuatan tersebut jelas dilarang dan bersifat sangat tercela menurut agama dan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat Indonesia. 
  • Setelah menerima banyak masukan dari masyarakat terkait RUU TPKS, F-PKS konsisten untuk memperjuangkan agar dalam RUU TPKS diatur perihal larangan dan pemidanaan terhadap perzinahan dan penyimpangan seksual sebagai salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan.
  • Norma perzinahan dalam KUHP bermakna sempit, sehingga tidak bisa menjangkau perbuatan zina yang dilakukan oleh pasangan yang keduanya belum terikat perkawinan dengan pihak lain.
  • Pengaturan tentang tindak pidana perzinahan ini perlu diatur dengan memperluas rumus delik perzinahan dalam pasal 284 KUHP yang mencakup perzinahan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, baik keduanya terikat perkawinan dengan orang lain, salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain, maupun yang kedua-duanya sama-sama belum terikat perkawinan.
  • Sebaiknya, memasukkan rumusan dan ruang lingkup tindak pidana perzinahan sesuai dengan R-KUHP yang sudah mengakomodasi ruang lingkup perzinahan secara komprehensif sebagaimana disebutkan di atas.
  • F-PKS juga mengusulkan untuk memasukkan ketentuan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang atau LGBT. Penyimpangan seksual dalam RUU TPKS dengan mengakomodasi pemidanaan bagi pelaku penyimpangan seksual, yang dilakukan pada anak maupun dewasa, melarang segala bentuk kampanye penyimpangan seksual dengan pengecualian bagi pelaku penyimpangan seksual karena kondisi medis tertentu yang harus direhabilitasi.
  • Tidak ada satupun hukum positif Indonesia yang secara eksplisit normatif melarang LGBT, maka pembentuk undang-undang perlu segera mengaturnya.
  • F-PKS mengusulkan untuk menambahkan kategori pemberatan pidana sepertiga sebagaimana diatur dalam RUU TPKS, yaitu apabila tindak pidana kekerasan seksual dilakukan secara penyimpangan seksual.
  • F-PKS memberikan masukan bahwa dalam perumusan jenis-jenis tindak pidana sebaiknya disesuaikan dengan tindak pidana kesusilaan yang telah dibahas dalam R-KUHP pada periode lalu agar rumusan tindak pidananya lengkap integral, komprehensif, dan tidak menimbulkan pemahaman lain yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. 
  • Dalam Bab XV R-KUHP yang telah di carry over dari periode lalu telah dimasukkan jenis-jenis tindak pidana kesusilaan sebagai berikut:
    • Larangan pornografi;
    • Larangan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dan alat penggugur kandungan;
    • Larangan perzinahan;
    • Larangan melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami dan istrinya;
    • Larangan melakukan hidup bersama sebagai suami-istri 2 perkawinan;
    • Larangan melakukan persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah; dan
    • Larangan pencabulan atau larangan melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya.
  • Rumusan tindak pidana kesusilaan yang diatur dalam R-KUHP ini sudah komprehensif, karena meliputi perbuatan yang mengandung unsur kekerasan seksual dan yang tidak mengandung unsur kekerasan seksual seperti perzinahan dan hubungan seksual sesama jenis. Oleh karena itu, dalam rangka membentuk undang-undang khusus terkait tindak pidana kesusilaan, perlu untuk memasukkan jenis-jenis tindak pidana kesusilaan secara lengkap.
  • F-PKS menolak RUU TPKS untuk disahkan menjadi undang-undang dan dilanjutkan ke tahap berikutnya sesuai peraturan perundang-undangan sebelum didahului adanya pengesahan R-KUHP dan atau pembahasan RUU TPKS ini dilakukan bersama pembahasan R-KUHP dengan melakukan sinkronisasi seluruh tindak pidana kesusilaan yang meliputi segala bentuk kekerasan seksual, perzinahan, dan penyimpangan seksual. 

Desy Ratnasari (Fraksi PAN, Jawa Barat 4) membacakan Pandangan Mini Fraksi PAN terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • Seperti yang diketahui bersama bahwa fakta menunjukkan kasus kekerasan seksual itu terjadi merata hampir di seluruh wilayah Indonesia. Sementara, penyelesaian kasus kekerasan seksual belum mendapatkan penanganan dan keadilan hukum sebagaimana mestinya. Dengan kondisi tersebut negara dan semua pihak dituntut untuk terlibat dalam menangani masalah ini secara menyeluruh terutama dalam aspek pencegahan, pemulihan dan perlindungan para korban dari berbagai dampak fisik dan psikologis yang dialaminya. Selain itu, negara juga diminta untuk membuat berbagai kebijakan strategis terintegrasi yang dapat menghadirkan rasa aman bagi seluruh rakyat Indonesia. 
  • Penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan merupakan salah satu upaya pencegahan kekerasan seksual yang harus diwujudkan. Di satu sisi korban kekerasan seksual harus mendapatkan perlindungan dan pendampingan atas dampak fisik dan psikologisnya. Di sisi lain, tentu para pelaku kekerasan seksual juga harus dihukum secara maksimal sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kemanusiaan serta memberikan upaya rehabilitasi sehingga kasus tindak pidana kekerasan seksual tidak meluas dan berkelanjutan. 
  • F-PAN berpandangan bahwa substansi Pasal 15 terkait penambahan pidana sepertiga bagi klaster pelaku dengan kondisi tertentu sudah tepat dan relevan untuk dijadikan sebagai sistem peringatan dini bagi pelaku tindak pidana kekerasan seksual, sehingga diharapkan dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana kekerasan seksual. 
  • F-PAN berpandangan bahwa dalam Pasal 23 sudah sangat tepat dan relevan terkait perkara tindak pidana kekerasan seksual yang menutup penggunaan pendekatan restorative justice yang dari beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi selama ini, pelaku secara relasi ekonomi dan relasi kuasa lebih tinggi daripada korban. 
  • F-PAN mengapresiasi terobosan dalam hukum acara pidana terkait dimasukkannya tambahan alat bukti dalam hal alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana kekerasan seksual yaitu barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil tindak kekerasan seksual dan atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut, sehingga kedepannya akan memudahkan aparat penegak hukum untuk menerima dan memproses laporan TPKS. 
  • F-PAN menilai dalam Pasal 35 yang secara substansi berisi dalam hal harta kekayaan terpidana tidak mencukupi biaya restitusi sebagaimana putusan pengadilan, maka negara memberikan kompensasi kepada korban sesuai dengan putusan pengadilan. Kompensasi sebagaimana dimaksud dibayarkan melalui dana bantuan korban kemudian diperkuat dengan penjelasan ayat terkait. Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa komitmen Pemerintah sebagai leading sector dalam mengalokasikan anggaran tersebut sebagai bukti negara hadir belum terlihat dan masih terkesan lepas tanggung jawab.
  • F-PAN menilai terkait penghapusan bukti digital di Pasal 47 sebaiknya dimulai di tingkat pemeriksaan di kepolisian mengingat akan membutuhkan waktu lama jika penghapusan bukti tersebut dilakukan di tingkat Jaksa.
  • F-PAN DPR-RI menyatakan menerima RUU TPKS dan selanjutnya ditindaklanjuti sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Illiza Sa'aduddin (Fraksi PPP, Aceh 1) membacakan Pandangan Mini Fraksi PPP terkait Hasil Pembahasan RUU tentang TPKS

  • Terkait pemaksaan aborsi, F-PPP telah memperjuangkan rumusan ini dalam draft RUU TPKS, karena hal ini sesuai Fatwa Ulama yang ada di Indonesia, baik dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Fatwa PBNU, dan Fatwa PP Muhammadiyah yang berkaitan dengan fatwa aborsi. Untuk itu, kami akan menyampaikan rangkuman Fatwa Ulama di Indonesia terkait aborsi yang Insya Allah akan dibahas di R-KUHP. 
  • Fatwa NU Nomor 4 Tahun 2005 tentang Aborsi yang memutuskan bahwa aborsi haram hukumnya sejak terjadinya implantasi blastosis pada dinding rahim ibu atau nidasi. Aborsi dibolehkan karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat, suatu keadaan di mana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mati atau hampir mati atau hajat, suatu keadaan dimana seseorang apabila tidak melakukan sesuatu yang diharamkan, maka ia akan mengalami kesulitan besar, misalnya pada korban pemerkosaan. Fatwa NU tentang Aborsi yaitu aborsi pada dasarnya haram, kecuali dengan keadaan darurat yang mengancam jiwa ibu, maka aborsi diperbolehkan termasuk bagi korban pemerkosaan.
  • F-PPP menghargai usulan Pemerintah dan komitmen Menteri Hukum dan HAM dalam Rapat Panja 4 April bahwa pemaksaan aborsi sudah masuk dalam R-KUHP yang ditargetkan selesai Juni tahun 2022.
  • F-PPP mengapresiasi masuknya tentang tindakan kekerasan berbasis elektronik, dan lain-lain. Berdasarkan catatan dan sepanjang RUU ini tidak bertentangan dengan norma agama atau nilai ketuhanan dan prinsip bernegara, serta tidak memberikan jalan keluar bagi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), maka F-PPP dapat menyetujui hasil Panja Baleg DPR-RI terhadap pembahasan DIM RUU TPKS untuk diputuskan pada tahap selanjutnya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA)

  • Pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat kita selesaikan pada Pembicaraan Tingkat I. Sebagaimana telah kita dengarkan bersama bahwa Fraksi-Fraksi dalam Baleg telah memberikan pendapatnya untuk meneruskan pada Pembicaraan Tingkat II guna pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR-RI. Untuk itu, kami atas nama Pemerintah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Panitia Kerja RUU TPKS dan Badan Legislasi DPR-RI yang telah menunaikan tugasnya dengan sangat baik, cepat, dan di dalam suasana yang sangat kondusif. 
  • Dengan sejujurnya, perlu kami sampaikan bahwa perjalanan pembahasan ini memberikan banyak pelajaran bagi kita untuk semakin memahami ragam pemikiran dan pertimbangan yang semuanya telah berkontribusi sangat positif bagi penyempurnaan naskah RUU TPKS.
  • Dengan seluruh jerih payah, waktu, dan tenaga yang sudah dicurahkan oleh Panja RUU TPKS dan Baleg DPR-RI, dengan segala harap dan penantian serta kesabaran para korban dan para pendamping korban kita mengharapkan bahwa pada akhirnya RUU tentang TPKS dapat disetujui bersama dalam Rapat Paripurna DPR-RI untuk disahkan menjadi undang-undang.
  • Hadirnya undang-undang ini nantinya merupakan wujud nyata kehadiran negara dalam upaya mencegah segala bentuk kekerasan seksual menangani, melindungi dan memulihkan korban, melaksanakan penegakan hukum, merehabilitasi pelaku mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidak berulangan terjadinya kekerasan seksual. Marilah kita menjaga komitmen bersama yang sudah tumbuh dari sejak awal penyusunan RUU ini agar RUU yang akan disahkan menjadi UU yang dapat dilaksanakan secara komprehensif dan integratif. 
  • Pada akhirnya, kami menyetujui dan menyambut baik atas diselesaikannya pembahasan RUU TPKS pada Pembicaraan Tingkat I untuk diteruskan pada Pembicaraan Tingkat II guna pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR-RI.
  • Dalam kesempatan ini juga, perkenankan kami mewakili Presiden menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Pimpinan dan Anggota Baleg DPR-RI yang dengan penuh dedikasi dan kerja keras dapat menyelesaikan pembahasan RUU ini. Pada dasarnya dan sesungguhnya, undang-undang ini adalah milik kita bersama. Kita susun bersama antara DPR-RI, Pemerintah, dan masyarakat sipil. Tentunya agar kita dan seluruh masyarakat Indonesia nantinya secara bersama juga merasakan manfaat dari undang-undang ini ketika diimplementasikan.

Supratman selaku Pimpinan Rapat menanyakan persetujuan kepada Anggota Baleg terkait RUU tentang TPKS untuk dapat dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II di Sidang Paripurna DPR, dan Anggota Baleg menyetujuinya.


Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan