Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Usulan RUU Perbantuan Militer - Badan Legislasi DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Imparsial (Inisiatif Masyarakat Partisipatif Transisi Berkeadians), Koalisi Masyarakat Sipil Pembela HAM, dan Dewan Pengawas LPP TVRI

Tanggal Rapat: 28 Nov 2019, Ditulis Tanggal: 20 Apr 2020,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Dewas LPP TVRI

Pada 28 November 2019, Badan Legislasi DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Imparsial (Inisiatif Masyarakat Partisipatif Transisi Berkeadians), Koalisi Masyarakat Sipil Pembela HAM, dan Dewan Pengawas LPP TVRI mengenai Usulan RUU Perbantuan Militer. RDP ini dibuka dan dipimpin oleh Willy Aditya dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dapil Jawa Timur 11 pada pukul 13:20 WIB dan dinyatakan terbuka untuk umum.

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Imparsial (Inisiatif Masyarakat Partisipatif Transisi Berkeadians)
  • Pengaturan ideal
  • Situasi Darurat
    • Penentuan situasi darurat ini perlu berada di dalam konteks spektrum situasi yang berdasarkan dengan baik oleh pemerintah di dalam suatu kebijakan
  • Permintaan Otoritas Sipil
    • Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa situasi yang dihadapi benar-benar di luar kapasitas/kapabilitas institusi sipil tersebut, dan juga memastikan bahwa yang benar-benar dibutuhkan adalah kapasitas atau kapabilitas tertentu yang dimiliki oleh militer.
  • Keputusan politik Otoritas Sipil
    • Perbantuan dari militer perlu mendapatkan legitimasi terlebih dahulu dari otoritas sipil yang bertanggung jawab berdasarkan prosedur kabijakan yang berlaku dan ke dalam kebijakan formal, tidak hanya berdasarkan pernyataan otoritas sipil saja.
    • Selain menjaga prinsip civil supremacy pada negara demokrasi, hal ini juga perlu dilakukan untuk memastikan bahwa setiap tindakan dan konsekuensi yang muncul dari penelitian militer dapat dipertanggung jawabkan kepada publik, baik dalam taraf kebijakan maupun operasional.  
  • landasan legal
    • keberadaan landasan legal ini penting untuk dipahami tidak hanya sebagai upaya untuk mencegah munculnya dampak negatif dari pelibatan militer, tetapi untuk menjaga militer itu sendiri.
  • Pelibatan militer dalam tugas non-perang yang berlebihan
    • Perlu diwaspadai bahwa kontribusi militer dalam operasi militer selain perang dapat bersifat negatif apabila digunakan secara berlebihan atau tidak tepat secara kontekstual.
    • Pertama, keterlibatan yang berlebihan dikhawatirkan akan memecah konsentrasi, pengaturan, pelatihan, dan persiapan militer terhadap pelaksanaan peran utamanya, yaitu menghadapi perang. Dengan kata lain, jangan sampai keterlibatan militer ini merupakan reaksi di luar militer itu sendiri.
    • Kedua, keterlibatan yang tidak tepat secara kontekstual juga dikhawatirkan dapat menimbulkan bentuk-bentuk intervensi militer terhadap ranah sipil, dimana hal itu akan menjadi perlakuan buruk bagi demokrasi maupun pembangunan profesionalisme.
  • Pelaksanaan tugas operasi militer selain perang- termasuk perbantuan militer baru dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 Ayat 3 UU TNI).
  • Keputusan politik negara yang dimaksud adalah kebijakan politik pemerintah bersama-sama DPR yang dirumuskan melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR, seperti rapat konstultasi dan rapat kerja sesuai peraturan perundang-undangan (Penjelasan Pasal 5 UU TNI).
  • Pelaksanaan selama ini tidak melibatkan DPR, tidak ada mekanisme kontrol oelh parlemen.
  • Revisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
    • Alasan
      • Pasal 65 (2) UU No. 34 tahun 2004 menyatakan substansi yang tidak jauh berbeda dengan Pasal 3 (4)(a) TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang menyatakan bahwa “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-undang”.
  • Dalam beberapa Pasal UU Peradilan Militer alih-alih memberikan jaminan terhadap hak tersangka/terdakwa, UU Peradilan Militer malah secara tegas membatasi hak tersebut.
  • Dalam hal bantuan hukum misalnya, penasehat hukum yang mendampingi tersangka/terdakwa dalam peradilan militer diutamakan dari dinas bantuan hukum yang ada di lingkungan TNI dan harus seizin Perwira Penyerah Perkara (Papera).
  • Dalam proses pemeriksaan, hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum juga dipotong dengan adanya Pasal 106 UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dimana dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara, penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka.
  • Selain itu dalam UU Peradilan Militer tersebut, tersangka/terdakwa tidak memiliki hak untuk menghubungi penasehat hukumnya. Dalam UU ini hanya diatur mengenai hak penasehat hukum untuk menghubungi atau dihubungi oleh tersangka/terdakwa.
  • Di sisi lain, tersangka/terdakwa juga tidak diberi hak untuk berhubungan dan bertemu keluarga.
  • Bahkan dalam UU Peradilan Militer ini, hak untuk memperoleh akses kesehatan dan rohaniwan sama sekali tidak diakui.  
  • Presiden Jokowi dalam dokumen Visi Misi dan Program Aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian menyatakan, “Kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum Nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM”.

Koalisi Masyarakat Sipil Pembela HAM
  • Dasar hukum
    • UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 100 dan Pasal 101
  • Sumber hukum
    • Deklarasi Pembela HAM
    • Pasal 28C ayat (2) UUD 19945
  • Revisi UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM sebagai jaminan perlindungan bagi pembela HAM.
  • Bagaimana melindungi
    • Jaminan hak sebagai pembela HAM
    • Penegasan kewajiban negara untuk melindungi hak sebagai Pembela HAM dan hak yang melekat pada aktivitas sebagai pembela HAM
  • Mengapa pembela HAM perlu perlindungan
    • Tegaknya HAM dan demokrasi di Indonesia
    • Kerja- kerja pembela HAM adalah membela korban :
      • Teror/ancaman kekerasan termasuk kekerasan seksual, kriminalisasi, pembunuhan, intimidasi, penyiksaan, kekerasan/penganiayaan, penangkapan sewenang/wenangnya, dan imputasi.
  • Mekanisme perlindungan oleh Komnas HAM
    • Perlindungan diberikan berdasarkan
      • Pemantauan yang dilakukan Komnas HAM
      • Permohonan sendiri
      • Laporan masyarakat
    • Komnas HAM memutuskan apakah terhadap laporan/permohonan dapat diberikan perlindungan sebagai Pembela HAM berdasarkan hubungan antara kegiatan yang dijalankan dan pelanggaran terjadi, serta bentuk perlindungan yang diperlukan.
  • Kelembagan
    • Untuk memberikan perlindungan kepada Pembela HAM, perlu dibentuk divisi (sub-komisi) Perlindungan Pembela HAM di dalam Komnas HAM dan Komnas Perempuan.
    • Komnas HAM dan Komnas Perempuan melakukan koordinasi dan supervisi terhadap lembaga-lembaga negara terkait dalam melakukan perlindungan terhadap pembela HAM.
  • Koalisi Masyrakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM : IMPARSIAL, Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), Kemitraan, LBH Pers, ELSAM, Human Rights Watch (HRW), YLBHI, KontraS, HRWG, ICH, AJI, Setara Institute, INFID, LBH Jakarta, PBHI, WALHI, ILR, KPA, AMAN, Arus Pelangi, dll.

Dewas LPP TVRI
  • Kesepakan bersama LPP TVRI dan LPP RRI, No Surat 021/Dewas RRI/10/2019 dan 175/Dewas/TVRI/2019
  • Pada tanggal 10 dan 14 Oktober 2019, Dewan Pengawas LPP RRI dan TVRI telah mengadakan rapat bersama guna membahas kelembagaan LPP kedepan, sebagaimana permintaan Kementerian Kominfo dimaksud.
  • Secara umum kami sepakat bahwa perubahan peraturan perundang-undangan berkenaan LPP RRI dan TVRI merupakan penguatan kelembagaan LPP, sekurang-kurangnya lebih baik disbanding peraturan perundang-undangan sebelumnya. Dengan pertimbangan tersebut, yang menjadi dasar pikiran kami adalah perlunya pembentuk peraturan perundang-undangan mengembangkan LPP sebagai berikut :
    • LPP merupakan Lembaga Negara yang dibentuk oleh Undang-undang meningkat dari yang tadinya dibentuk berdasarkan Undang-Undang namun kemudian diatur oleh Peraturan Pemerintah.
    • LPP berada di bawah Presiden (sebagai Kepala Negara) bukan diturunkan menjadi di bawah suatu Kementerian, serta diubah bentuk kelembagaannya hanya menjadi BLU.
  • Selanjutnya rapat kami menghasilkan kesepakatan-kesepakatan pokok posisi kelembagaan LPP (RRI dan TVRI) ke depan sebagai berikut :
    • Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dan TVRI adalah Lembaga Negara yang dibentuk oleh Undang-Undang.
    • Kedudukan LPP bersifat independent, netral dan tidak komersil.
    • Berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (sebagai Kepala Negara).
    • Tempat kedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia dan stasiun penyiarannya berada di pusat dan daerah.
    • Fungsi
      • Perumusan kebijakan umum dan pengawasan di bidang penyelenggaraan penyiran publik
      • Pelaksanaan dan pengendalian kegiatan penyelenggaraan penyiaran publik
      • Pembinaan dan pelaksanaan administrasi serta sumber daya LPP TVRI dan RRI.
    • Tugas
      • Melaksanakan mandate untuk memberikan pelayanan informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, control dan perekat sosial, serta melestarikan budaya bangsa untuk kepentingan seluruh lapisan masyarkat melalui penyiaran radio, televisi, dan media baru sesuai dengan perkembangan teknologi informasi yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia dan masyarakat luar negeri guna meningkatkan citra Indonesia.
    • Organisasi
      • Susunan organisasi terdiri atas : Dewas Pengawas Penyiaran Publik, Dewan Direksi Penyiaran Publik, Pusat-pusat dan Stasiun Penyiaran Pusat dan Daerah.
    • Sumber daya
      • Sumber daya manusia terdiri dari tenaga profesional yang dapat berasal dari PNS, non-PNS, dan Pimpinan/Direksi LPP TVRI dan LPP RRI adalah Pejabat Pembina Kepegawaian.
      • Kekayaan LPP merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, yang dikelola sendiri dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dimanfaatkan untuk mendanai kegiatan operasional.
      • Untuk mendanai dalam rangka mencapai tujuan, LPP memiliki sumber pendanaan yang berasal dari : APBN/APBD, sumbangan pihak lain yang tidak mengikat, dana Corporate Sosial Responsibility dan sosialisasi k/l, Siaran iklan, usaha lain yang sah yang terikat dengan penyelenggaraan penyiaran, iuran penyiaran (pajak pembelian televisi dan radio), pajak iklan media (2,5%), dana USO Frekuensi-pemanfaatan frekuensi oleh swasta.
  • Digitalisasi
    • UU Penyiaran menetapkan bahwa pemerintah harus mengembangkan road map dan menerapkan proses imigrasi digital secara bertahap sehingga mencapai Analog Switch Off.
    • UU Penyiaran menyatakan bahwa imigrasi digital harus dilakukan dengan cara yang menghasilkan efesiensi penggunaan spektrum frekuensi yang menempatkan kepentingan rakyat Indonesia dalam prioritas tertinggi, pemerataan informasi, efesiensi infrastruktur industri penyiaran dan peningkatan kualitas siaran.
    • Pengembangan road map dan penerapat proses imigrasi digital ini melibatkan segenap ahli, stakeholder dan publik seluas mungkin dengan cara yang transparan dan akuntabel.
  • UU RIRI (Radio Televisi Republik Indonesia)
    • Salah satu wujud demokratisasi media : LPP lahir dari UU 32/2002 tentang Penyiaran
    • LPP : RRI dan TVRI
    • Belakangan terdapat wacana untuk menyatukan LPP dalam RIRI
    • Penting dijaga : LPP harus berjalan dengan prinsip independen, netral, memberi layanan untuk kepentingan publik
    • LPP harus diatur tersendiri dalam UU, tidak menjadi bagian dari UU Penyiaran karena banyak detail yang harus diatur
    • Detail ini tidak dapat diatur oleh PP, menjaga bentuk independen LPP
    • KNRP mendukung adanya UU RIRI

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan