Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual — Baleg DPR-RI RDPU dengan Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM), Henri Shalahuddin (Universitas Darussalam Gontor), Wido Supraha (Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Pusat), dan Prof. Euis Sunarti (Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Tanggal Rapat: 12 Jul 2021, Ditulis Tanggal: 10 Mar 2022,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Ketua AILA, Direktur PAHAM, Henri Shalahuddin (Universitas Darussalam Gontor), Wido Supraha (Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Pusat), dan Prof. Euis Sunarti (Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Pada 12 Juli 2021, Badan Legislasi (Baleg) DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA), Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM), Henri Shalahuddin (Universitas Darussalam Gontor), Wido Supraha (Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Pusat), dan Prof Euis Sunarti (Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB) mengenai Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Willy Aditya dari Fraksi Partai NasDem dapil Jawa Timur 11 pada pukul 10:15 WIB. (ilustrasi: bali.tribunnews.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Ketua AILA, Direktur PAHAM, Henri Shalahuddin (Universitas Darussalam Gontor), Wido Supraha (Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Pusat), dan Prof. Euis Sunarti (Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Direktur Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM)

  • Direktur PAHAM tidak ingin mengkritik NA yang lama, karena barangnya sudah tidak ada. Kemudian, RUU P-KS juga memuat aturan ganti-rugi bagi korban, perlindungan, maupun fasilitas khusus lainnya. Hal ini merupakan benturan dari KUHAP, UU tentang Pornografi, UU tentang ITE, dan UU tentang PKDRT, karena para korban kejahatan seksual sudah diatur dalam UU yang sudah ada.
  • Kemudian, ada juga masalah dalam hukum materiil yaitu dalam Pasal 11 ayat 2 RUU P-KS, ada 9 bentuk kekerasan seksual yang semua bentuk tersebut sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada/existing, kecuali pelecehan seksual secara verbal. 
  • Rumusan delik dalam bentuk-bentuk kekerasan seksual yang didefinisikan dalam RUU P-KS, yaitu kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang dan atau fungsi reproduksi secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa atau relasi gender yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan baik secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
  • Disini ada kritik bahwa definisi kekerasan seksual mendasarkan pada paradigma persetujuan seksual atau sexual concern yang memiliki akibat hukum unsur-unsur deliknya harus memenuhi salah satu adanya unsur paksaan, ancaman kekerasan, kekerasan, tipu daya, kebohongan atau dengan arti lain, segala perbuatan seksual dilakukan tanpa persetujuan atau keinginan atau kemauan atau suka sama suka kedua belah pihak. 
  • Apabila tidak ada unsur tersebut, maka bukan termasuk delik pidana kekerasan seksual atau apabila dilakukan dengan persetujuan, kemauan, atau suka sama suka, maka ini tidak dapat dipidana. Padahal, faktanya masalah kejahatan seksual di Indonesia berakar pada hubungan seksual yang dilakukan suka sama suka atau sexual concern itu sendiri.
  • Banyaknya kasus aborsi saat ini di kalangan remaja anak sekolah dan kaum dewasa, banyaknya anak yang lahir tanpa ayah dan juga anak ketika lahir akibat perzinaan ditinggalkan ayah dan ibunya, bahkan dibuang atau dibunuh.
  • PAHAM Jakarta banyak menangani kasus yang diakibatkan suka sama suka akhirnya si perempuan ini ditinggalkan begitu saja. Padahal, ia masih berprestasi di sekolahnya yang kemudian ia hamil 9 bulan.
  • Secara sosiologis, banyak terjadi kekosongan hukum sebagaimana yang akan disebutkan seperti kasus perzinaan yang tidak diatur oleh KUHAP yang salah satunya tidak terikat perkawinan yang sah, misalnya laki-laki dan perempuan yang lajang kemudian berzina. Hal ini belum ada pengaturannya di dalam KUHAP di indonesia.
  • Masalah sodomi laki-laki memperkosa laki-laki, antar laki-laki anak maupun dewasa ke anak itu tidak ada. Bahkan di UU tentang Perlindungan Anak itu hanya mengenal frase dengan pencabulan, tidak ada yang mengatur masalah sodomi. Hal ini sudah PAHAM sampaikan kepada ke KPAI agar UU tentang Perlindungan Anak dapat segera direvisi. 
  • Terdapat kasus laki-laki diperkosa oleh perempuan, disini bagaimana asas persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, karena laki-laki pun bisa menjadi korban kejahatan maupun pelaku dan perempuan bisa menjadi pelaku juga  sekaligus menjadi korban. Jadi, ada 2 kekosongan hukum terkait laki-laki memperkosa laki-laki, dan perempuan memperkosa laki-laki, ada juga perempuan dewasa memperkosa anak laki-laki. Hal ini juga belum ada pengaturannya di KUHAP. 
  • PAHAM berpandangan hal ini seharusnya dipikirkan bagian-bagian dari perilaku seksual yang belum diatur terjadinya kekosongan hukum dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal itu yang seharusnya menjadi fokus untuk dimasukan ke dalam perundang-undangan.

Wido Supraha (Wakil Ketua Komisi Penelitian dan Pengkajian MUI Pusat)

  • Dalam penyusunan RUU ini sendiri dari judulnya saja Penghapusan Kekerasan Seksual, telah memilih kosakata yang memiliki makna yang tidak kompatibel dengan NKRI. Terlebih, di antara itu dibangun atas narasi bahwa agama dianggap sebagai sumber lahirnya budaya patriarki. Bahkan, agama dianggap sebagai sumber diskriminasi gender.
  • RUU ini juga berpotensi melahirkan ruang hukum pidana baru yang terpisah oleh KUHAP. Dikhawatirkan akan muncul diskursus atas teks-teks multitafsir di kemudian hari.
  • Terdapat pertanyaan muncul; ingin sempurnakan KUHP atau keluarkan RUU P-KS? NA RUU P-KS secara tegas menjadikan keterbatasan  KUHP sebagai landasan perlunya RUU P-KS, seperti:
    • Terbatasnya pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP juga menyebabkan banyak kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diproses hukum, sehingga pelaku tidak dapat dijerat dan kekerasan seksual terus berulang;
    • Dalam KUHP, kekerasan seksual seperti pemerkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan;
    • KUHP hanya mengatur kekerasan seksual dalam konteks perkosaan yang rumusnya tidak mampu memberikan perlindungan pada perempuan korban kekerasan;
    • KUHP tidak mengatur hal-hal yang harus dilakukan negara untuk mencegah kekerasan seksual termasuk bagaimana memastikan agar mata rantai impunitas pelaku dapat diputus; dan
    • Ancaman pemidanaan dalam KUHP tidak disertai dengan kewajiban bagi pelaku untuk mengikuti rehabilitasi sebagai bagian dari pemidanaan.
  • Kesimpulan Paparan dari Wido Supraha
    • Setelah membaca secara utuh seluruh kandungan Naskah Akademik RUU P-KS ini dapat disimpulkan bahwa RUU P-KS ini lebih mengundang masalah daripada solusi. Bahkan, masalah yang muncul tidak saja pada aspek keyakinan individu, tatanan keluarga, bahkan hingga pada tatanan hukum dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
    • Persoalan kejahatan seksual yang marak terjadi baik pada laki-laki dan perempuan, anak-anak hingga dewasa, hendaknya disosialisasikan dengan penyempurnaan KUHP yang lebih holistis dan terkini. Agama harus secara tegas dijadikan sumber atau referensi pandangan hidup, agar sebuah RUU tidak perlu mengimpor ideologi transnasional, ideologi asing yang justru destruktif atas ideologi Pancasila. 
    • Perlu dilakukan studi-studi yang lebih komprehensif atas dampak UU sejenis di luar negeri pada tatanan keluarga dan ketahanannya, mengingat keluarga adalah komponen kekuatan bangsa yang paling kecil. Menguatkan peran berbasis jenis kelamin jauh lebih tegas dan jelas daripada mengembangkan peran berbasis orientasi seksual, orientasi syahwat dan konstruksi sosial. 
    • Sebuah RUU harus secara serius memperhatikan setiap diksi yang digunakannya, karena setiap diksi mengandung sejarah dan filsafatnya yang penting untuk dianalisis relevansinya dengan ideologi Pancasila. Sebuah RUU juga harus fokus pada mengisi kekosongan hukum yang lebih substantif dan tidak membuka ruang diskursus yang lebih besar. 
    • Di tengah pandemi Covid-19 hari ini, semoga Badan Legislatif DPR-RI dapat memprioritaskan RUU yang lebih membawa maslahat bagi bangsa, bagi kesejahteraannya dan penguatan identitasnya sebagai bangsa Indonesia. Oleh karenanya, semoga RUU P-KS tidak perlu dilanjutkan pembahasannya, karena akan membuka ruang konflik yang  besar dan tentunya untuk menjaga kredibilitas dari wakil rakyat agar dapat selalu berada di hati rakyat.  

Prof Euis Sunarti (Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB)

  • Argumen dasar untuk penyusunan RUU baru 
    • Kekerasan Seksual (KS), apapun jenis dan bentuknya, dilakukan oleh dan kepada siapapun, bertentangan dengan kemanusiaan (keadilan, kemerdekaan, dan lain-lain)
    • KS tidak boleh ditolerir, perlu ditangani secara holistik-komprehensif, utamanya dilakukan pencegahan dengan memberantas akar dan faktor laten-nya.
    • Menghapus KS, adalah bagaimana mencegah munculnya “Pelaku” dan akhirnya “Korban” KS 
    • Ketidakberfungsian keluarga, masalah ketahanan keluarga, lingkungan meso-hexo-makro-global yang tidak kondusif sebagai faktor-faktor yang menentukan.
    • Perlu dikritisi penggunaan paradigma “asing” dalam penyusunan UU, sayangnya, ada pihak yang simplikasi, mengkritisi RUU sama dengan pro kekerasan dan tidak peduli korban kekerasan.
  • Membuka risiko bencana sosial (hidden social disaster)
    • Bagaimana kekerasan seksual didefinisikan? “Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik”. 
      • Setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya (catatan: cakupan yang sangat luas dan bersifat subjektif, dapat menjerat banyak aksi terkategori kekerasan selama dirasakan atau secara subjektif dinilai menghina atau merendahkan. Frasa “dan/atau perbuatan lainnya” dapat ditambahkan dan ditafsirkan secara bebas).
      • Secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang (catatan: kehendak seseorang atau menjadi dasar suatu aksi menyebabkan terkategori kekerasan atau bukan. Padahal sangat mungkin kehendak seseorang tidak sesuai dengan nilai agama dan norma sosial).
      • Beberapa konsep besar termaktub dalam definisi, yaitu persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender. Konsep-konsep yang membutuhkan banyak asumsi dan persyaratan lain, serta beragam persepsi, pemaknaan, apalagi implementasinya.
      • Terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi (catatan: mencakup objek yang sangat luas, yaitu meliputi berbagai tubuh terkait seksualitas termasuk rambut, juga fungsi reproduksi. Hal yang mendapat kritik adalah memasukkan frasa hasrat seksual, yang selain ambigu juga multitafsir).
      • Berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik 
  • Hindari konsep-konsep (eksplisit-implisit) yang membahayakan 
    • Kosep Sexsual Consent (SC)
      • SC dikembangkan di negara barat, bagian dari pendidikan seksual (CSE) dan terkait dengan konsep kekerasan seksual. Persetujuan merupakan syarat atau kondisi suatu perilaku seksual tidak terkategori sebagai KS .
      • Definisi KS yang diambil dari lembaga internasional tidak memasukkan nilai agama sebagai landasan sebuah hubungan seksual.
      • Konsep tersebut hanya mempersoalkan apakah sebuah hubungan seksual dilakukan dengan kekerasan (tanpa persetujuan) atau tidak (dengan persetujuan).
      • Sehingga konsep tersebut tidak cocok disosialisasikan dan diajarkan kepada masyarakat dan keluarga Indonesia yang secara konstitusional menjadikan agama sebagai landasan kehidupannya.
      • SC hanya relevan kalau dilakukan oleh suami istri dalam ikatan pernikahan dan bingkai keluarga.
      • SC tidak dapat dan tidak boleh berdiri sendiri dengan alasan HAM tetapi harus terikat kepada dan dilandasi oleh nilai agama dan norma sosial.
    • Penegasan Peran Pendidik dan Orang Tua
      • Multitafsir dan banyaknya konsep besar dalam definisi berpotensi penegasian peran mendidik guru, ustadzah dan orang tua.
    • Menjauhkan Keharmonisan Suami Istri 
      • Definisi dan pasal 11 (3) dan pasal pelecehan seksual berpotensi memperluas ketidakharmonisan bahkan konflik suami istri.
    • Ruang Perlindungan SOGIE (Sexsual Orientation, Gender Identify, and Expression)
      • Kekerasan seksual atas dasar orientasi seksual berbeda.
  • Kontestasi ideologi/paradigma/worldview
    • Memahami instrumen global untuk penghapusan KS 
    • Tidak relevan menggunakan feminist theory 
    • Kekerasan seksual juga menimpa laki-laki
    • Tahun 2013, KS anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan 
    • Korban predator gay 
    • NA RUU P-KS (lama) justru melindungi SOGIE (LGBT)
    • Full-pembelaan perempuan, sehingga membangun pesan “perempuan tidak pernah salah dan tidak boleh dipersalahkan” dan “perempuan selalu menjadi korban”
    • Bagaimana agar tidak ada Pelaku KS sehingga tidak ada korban Pelaku KS 
    • Menghapus = mencegah akar permasalahan
    • Metode - pendekatan Feminis tidak tepat untuk pencarian solusi KS 
  • Mengapa UNDP-PBB gencar menyebarkan Gender Mainstreaming ke seluruh dunia?
    • Gunnar dan Alva Myrdal (AM, berasal dari Swedia) yang menempati posisi penting di UN. Mereka menulis buku “Crisis in the Population Question” yang berargumentasi bahwa konsep perkawinan tradisional dan pengasuhan anak harus diganti dengan “radical sexual egalitarianism” dan menyerahkan pengasuhan anak ke negara.
    • AM yang dibesarkan dalam lingkungan “a strong radical socialist ideological environment” adalah seorang feminis, aktor intelektual yang berpengaruh menentukan kebijakan UN untuk menerapkan ideologi yang dianutnya, yaitu sosialisme.
    • AM ingin menghapuskan semua peran wanita di dalam keluarga, sesuai dengan ide Friedrich Engels (sahabat karib Karl Max) dalam bukunya “Origin of Family,Private Property, and the State” (1884). Keluarga tradisional (yang menempatkan suami sebagai kepala keluarga) adalah cikal bakal masyarakat yang berkelas-kelas atau kapitalisme (suami sebagai kapitalis dan isteri sebagai proletar), maka untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas, penghapusan institusi keluarga adalah prasyaratnya. 
  • Feminisme berlandaskan filosofi socialist, social konflik, eksistensialisme.
  • Feminisme merupakan  nilai asing yang tidak cocok digunakan sebagai paradigma penyusunan sebuah UU yang akan mengikat kehidupan paling dasar yaitu hubungan antar manusia dalam kehidupan keseharian.  
  • Kontestasi ideologi 
    • Jejak Feminisme di Indonesia 
      • RUU KKG: “kelekatan ibu dengan anak sumber tidak majunya perempuan”
      • Dokumen laporan: “perempuan sebagai ibu penyebab tidak maju, diskriminatif”
      • Penolakan pengurangan jam kerja PNS  perempuan: “itu penghinaan bagi perempuan” 
      • Dukungan feminis terhadap LGBT 
      • Promosi orientasi seksual “lesbian”
      • Feminis Muslim: mencari dukungan ayat quran penerimaan LGBT, seperti perempuan boleh mengimami sholat suaminya, menggugat hak waris dan saksi, dan tuduhan ayat quran “misogini”
      • Demo feminis: tuntutan Otoritas Tubuh Perempuan “My Body is My Own
  • Maukah Indonesia mengambil pembelajaran dari gerakan feminisme?
    • Keberhasilan negara-negara sosialis Skandinavia dalam transformasi sosial meruntuhkan sistem patriarki dalam keluarga, menyebabkan (Popenoe, 1998):
      • Rendahnya angka perkawinan 
      • Tingginya angka kumpul kebo
      • Tingginya perpecahan keluarga 
      • Tingginya anak dilahirkan di luar perkawinan 
      • Tingginya single parent
      • Tingginya angka perempuan yang bekerja 
  • Penutup 
    • KS memang ada, kepada perempuan, juga kepada laki-laki, jadi tidak tepat menggunakan paradigma feminist legal theory untuk analisis dan tawaran solusinya, apalagi feminisme tidak sesuai dengan nilai Indonesia.
    • KS memang ada, perlu solusi mengakar dan proporsional, jangan seperti menggebuk nyamuk dengan buldozer. Kuatkan institusi keluarga dan masyarakat sehingga tidak ada “pelaku” sehingga tidak ada “korban”. Dorong pembangunan berkeadaban, berkeadilan dan berkesejahteraan, dorong pembangunan keluarga berketahanan.
    • KS memang ada, namun solusinya tidak perlu sampai membongkar pondasi nilai dan tata kehidupan dan gunakan nilai asing yang tidak sesuai nilai luhur Indonesia (Pancasila).
    • Jangan beri ruang nilai dan paradigma asing menjadi landasan UU di Indonesia, yang berpotensi membawa risiko bencana sosial, merubah tatanan nilai dan keharmonisan hubungan sosial yang paling dasar. BIjaksanalah dan cerdaslah mengambil pembelajaran dari gerakan feminisme dari berbagai negara.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan