Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual — Baleg DPR-RI RDPU dengan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Vitria Lazzarini Latief (Psikolog Tenaga Ahli Psikolog Klinis di P2TP2A), Sri Wiyanti Eddyono (Dosen Fakultas Hukum UGM), Nur Rofiah (Cendekiawan Muslimah Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta), Prof. Topo Santoso (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia)

Tanggal Rapat: 13 Jul 2021, Ditulis Tanggal: 10 Mar 2022,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Psikolog Tenaga Ahli Psikolog Klinis di P2TP2A), Dosen Fakultas Hukum UGM, Cendekiawan Muslimah Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia

Pada 13 Juli 2021, Baleg DPR-RI RDPU dengan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Vitria Lazzarini Latief (Psikolog Tenaga Ahli Psikolog Klinis di P2TP2A), Sri Wiyanti Eddyono (Dosen Fakultas Hukum UGM), Nur Rofiah (Cendekiawan Muslimah Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta), Prof. Topo Santoso (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia) mengenai Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Willy Aditya dari Fraksi Partai NasDem dapil Jawa Timur 11 pada pukul 10:12 WIB. (ilustrasi: kuasakata.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Psikolog Tenaga Ahli Psikolog Klinis di P2TP2A), Dosen Fakultas Hukum UGM, Cendekiawan Muslimah Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI)

  • KPI merupakan bagian dari Jaringan Masyarakat Sipil yang selama ini mengadvokasi RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. 
  • Terdapat beberapa narasumber yang juga memiliki kepakaran atau expertise dari aspek-aspek yang akan diberikan terhadap RUU ini.
  • Semangat kami adalah melihat posisi negara terhadap kekerasan seksual bahwa ketika negara memberikan ruang atau memberikan payung hukum yang kuat, sebenarnya negara telah mengakui penghormatan terhadap harkat dan martabat bangsanya untuk memberikan jaminan rasa aman dan keadilan bagi korban yang kuat.
  • Ketika RUU ini dianggap tidak memenuhi atau tidak penting, maka kita memperlihatkan bahwa negara telah melakukan pembiaran terhadap banyaknya angka kekerasan seksual yang telah berjatuhan. Dalam 10 tahun terakhir kita melihat tren dari kekerasan seksual arahnya masih domestik, tetapi saat ini kekerasan seksual telah juga mengarah pada ranah publik, seperti tempat kerja, kampus, sekolah, bahkan di lembaga-lembaga keagamaan atau juga transportasi publik dan ruang-ruang publik lainnya yang selama ini juga merupakan area yang menjadi lokus dari kekerasan seksual 
  • Perangkat hukum yang ada belum cukup untuk memberikan kepastian proses hukum, sehingga mengakibatkan korban terus terpuruk dan dampak kekerasan yang berkepanjangan.
  • Kebijakan yang komprehensif yang mengatur soal kekerasan seksual akan memperbaiki kultur kekerasan atau tradisi kekerasan seksual. Oleh karenanya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) ini menjadi jalan, bukan saja bicara soal payung hukum bagi korban, tetapi kita juga bicara kultur yang sama-sama menghargai dan juga sama-sama melakukan pencegahan kekerasan seksual di manapun berada.
  • Kebijakan penghapusan seksual itu juga menjadi sebuah performa negara ketika itu dilakukan. Ketika setiap orang, setiap masyarakat, dan juga ruang publik serta semua sistem hukum itu juga memastikan bahwa semua warga bangsa itu mendapatkan akses keadilan yang mencukupi. 
  • Komitmen negara terhadap pemenuhan perlindungan dan pemajuan HAM merupakan bagian dari upaya implementasi SDGs terutama memastikan semua pihak tidak terabaikan dan berhak mendapatkan akses keadilan yang sama. 
  • Pada RDPU yang pernah dilakukan, ada yang mengatakan RUU PKS sebenarnya hanya kepentingan-kepentingan dari kelompok, salah satunya adalah kepentingan perempuan saja, tetapi sebenarnya dari angka kekerasan yang telah kita dapati sebenarnya sudah berkembang. Korban kekerasan itu bukan hanya perempuan, tetapi juga laki-laki, anak-anak, dan yang paling penting lagi ketika korban kekerasan itu merupakan kelompok marginal yang selama ini juga mungkin merupakan kelompok yang tertinggal seperti disabilitas atau mereka yang tinggal dari akses-akses yang sulit, sehingga ketika kita bicara pertolongan atau juga akses keadilan terhadap kekerasan seksual itu sulit untuk didapatkan.
  • Berbicara RUU tentang PKS itu adalah suara korban, suara korban yang selama ini juga sulit ketika mereka juga harus bersuara atau mengadu karena kita juga punya sistem atau budaya yang patriarki. RUU PKS juga berbicara soal suara pendamping korban yang selama ini belum memiliki acuan yang pasti ketika mereka harus mendampingi korban.
  • RUU PKS juga sebenarnya merupakan suara penegak aparat penegak hukum yang selama ini tidak mempunyai landasan yang cukup kuat ketika mereka menghadapi korban-korban atau menghadapi kasus kasus kekerasan seksual yang belum ada landasan yang spesifik atau belum ada aturan yang betul-betul bisa membantu bagaimana mengatasi atau menyelesaikan atau melakukan pemrosesan hukum terhadap kasus kekerasan seksual.
  • RUU PKS juga merupakan suara guru, pendidik, pekerja, dan semua yang mengalami atau rentan mengalami kekerasan seksual yang itu juga mungkin tidak dapat melakukan pengaduan karena belum memiliki aturan yang baik bagaimana memberikan kepastian rasa aman dari kekerasan seksual. 
  • RUU PKS ini adalah suara masyarakat yang lebih luas lagi, karena mereka ingin setiap ruang hidup atau ruang bekerja atau ruang aktivitas sehari-hari, mereka mendapatkan rasa aman dan kepastian ketika mereka mendapatkan kekerasan seksual harus ke mana. Mereka juga harus bisa memahami bahwa ini akan diproses seperti apa, mereka juga harus mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dari negara.
  • Dalam beberapa advokasi, ada beberapa hal yang juga sebenarnya menjadi konsentrasi. 
  • KPI akan menjajaki soal efektivitas kerja penanganan kekerasan seksual yang sudah ada, karena memang ada beberapa informasi yang ditemui bahwa RUU PKS mendapatkan pertimbangan bawah ini tidak efektif, karena akan memunculkan beban anggaran atau juga memunculkan konsekuensi-konsekuensi kelembagaan yang akan mengambil porsi anggaran yang sudah dimiliki oleh negara. 
  • KPI ingin menguatkan, melalui RUU TPKS sebenarnya kita juga perlu mempertegas bahwa agar mandat dan peran yang sudah ada itu juga dikuatkan di dalam RUU ini, sehingga nanti tidak menimbulkan persepsi ketika RUU ini diimplementasikan akan memberikan alokasi anggaran baru, sehingga akan mempengaruhi kondisi negara yang saat ini sedang mengalami krisis.
  • Kita tahu bahwa kita punya Kementerian PP-PA, Kemenaker, Kemensos, Kemenkes, Kemendikbud, dan juga yang lain-lainnya yang telah memiliki program penanganan korban kekerasan seksual.
  • Modalitas yang sudah ada kita tahu bahwa:
    • Kementerian PP-PA telah memiliki program dan kebijakan yang cukup kuat ketika mereka mengambil peran yang sangat dominan terkait bagaimana penyelesaian atau pemenuhan hak-hak perempuan dan anak korban kekerasan. 
    • Kemensos telah memiliki program terkait rehabilitasi sosial perempuan korban kekerasan dan perempuan yang miskin. Lalu, memiliki layanan penanganan kekerasan bagi pekerja migran yang mengalami kekerasan di negara penempatan.
    • Kemenaker yang saat ini telah membangun sistem pengaduan kekerasan seksual di tempat kerja.
    • Kemenkes telah memiliki kebijakan layanan teknis bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Mulai dari tingkat Puskesmas sampai dengan rumah sakit, seperti layanan visum et repertum dan visum et psciatricum.
    • Kemendikbud yang saat ini sedang giat-giatnya menyusun sebuah panduan atau kebijakan internal bagaimana mengatasi atau memastikan peserta didik itu tidak mengalami kekerasan seksual di dalam lingkungan pendidikan.
    • Kemenkominfo yang selama ini juga turut bekerja bagaimana mendeteksi kekerasan seksual secara online.
    • Kepolisian Republik Indonesia yang telah memiliki Unit Perempuan dan Anak.
    • Mahkamah Agung yang telah memiliki PerMA Nomor 3 Tahun 2017 yang merupakan pedoman mengadili perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum.
  • Kita juga punya peran-peran kelembagaan lainnya yang mungkin ini menjadi sebuah sinergi ketika ini nanti dijadikan sebuah pengaturan yang akan masuk ke dalam RUU PKS. Ada LPSK, Komnas Perempuan, Komnas HAM, dan KPAI.
  • Di luar dari lembaga-lembaga negara yang ada, kita punya Lembaga Bantuan Hukum yang secara lebih khusus kita juga punya LBH Apik yang tersebar di beberapa provinsi. Ada pula Women Crisis Center dan UPTD P2TP2A yang akan melakukan layanan di tingkat daerah. Termasuk juga kelompok dampingan korban berbasis komunitas dan kelompok paralegal.
  • KPI juga memiliki balai perempuan pusat informasi yang juga menampung kasus kekerasan seksual.
  • Penguatan peran dan kerja lintas sektoral lewat RUU ini:
    • Menjadi sebuah kebijakan lex specialis yang memperkuat upaya-upaya yang telah berjalan selama ini, tetapi tidak cukup kuat karena lemahnya payung hukum. Mereka semua melakukan melakukan upayanya, tapi memang selama ini hal-hal atau sesuatu yang spesifik terkait dengan kekerasan seksual belum menjadi sebuah acuan yang yang bisa dipegang oleh setiap pihak.
    • Menjadi landasan kerja kolaborasi yang selama ini berserak, bagaimana mengatasi pelayanan yang terbatas.
    • Menjadi landasan kebijakan yang mengefektivitaskan pembiayaan yang sudah dialokasikan, baik dari APBN maupun APBD. Jika berkaitan dengan efektivitas pembiayaan yang selama ini juga dijadikan diskusi untuk mempertimbangkan apakah RUU PKS ini akan menjadi RUU yang nanti akan memberatkan negara atau tidak. Pembiayaan akses keadilan perempuan dan anak saat ini masih merupakan biaya yang mahal, mulai dari pembiayaan pemeriksaan secara medis dan psikologis. Meskipun sudah ada beberapa program, tetapi itu tidak cukup dan terbatas, serta belum memenuhi kebutuhan jumlah perempuan dan anak korban kekerasan. Hal ini sebenarnya juga berkaitan dengan faktor koordinasi antar sektor yang juga belum dikuatkan. Kebijakan penghapusan kekerasan seksual memastikan program penguatan infrastruktur layanan yang itu juga bisa diperkuat, sehingga sebenarnya yang sudah dimiliki oleh negara ini, itulah yang nanti akan dikuatkan dalam RUU ini. 
  • KPI dan Jaringan Masyarakat Sipil bisa mengarah kepada layanan terintegrasi penanganan korban kekerasan seksual.
  • Sinergi kolaborasi dan penguatan kapasitas setiap sektor juga perlu menjadi penguatan dalam RUU ini. 
  • KPI ingin memberikan sedikit tanggapan terhadap RUU PKS ini yang dianggap ada pemikiran feminis yang arahnya konsep dari barat. Hal ini menjadi bagian yang perlu dikritisi. Ketika kita bicara feminisme, definisinya memang berasal dari bahasa barat, tetapi sebenarnya kalau ingin menelaah lebih jauh konsep feminisme itu sebenarnya memunculkan keberpihakan kepada yang lemah, sehingga jangan dianggap bahwa konsep RUU ini mengambil konsep dari feminisme.
  • Kita hanya perlu mencari definisi atau istilah yang bisa dikatakan bahwa sebenarnya konsep feminisme Indonesia sendiri. Sebenarnya feminisme itu juga muncul dalam nilai-nilai kebersamaan, nilai-nilai gotong royong, nilai-nilai yang selama ini juga menguatkan satu sama lain, nilai-nilai yang sebenarnya kepedulian atau empati terkait dengan sesama atau bagaimana kepedulian terhadap masyarakat atau kelompok marjinal.
  • KPI dan Jaringan Masyarakat Sipil sangat berharap bahwa RUU PKS segera diproses dan juga disahkan demi kepentingan korban.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI)

  • KUPI menyampaikan terima kasih karena KUPI kembali diundang untuk kedua kalinya untuk bicara di hadapan DPR terkait RUU PKS. KUPI pertama kali diundang pada Oktober 2018 yang lalu bersama dengan para pimpinan lembaga-lembaga berbagai agama.
  • Sebelum menyampaikan pandangan KUPI terkait kekerasan seksual dan RUU PKS, KUPI akan sedikit menjelaskan tentang KUPI itu sendiri.
  • KUPI adalah Kongres Ulama Perempuan Indonesia yang merupakan ruang perjumpaan dari ulama perempuan di berbagai latar belakang. Mereka terdiri dari para pimpinan pondok pesantren, para da'i da'iyah, akademisi, peneliti ormas-ormas Islam, dan LSM. 
  • KUPI bertemu dengan para pengambil kebijakan dan para pendamping korban di lapangan serta para korban, sehingga yang dibahas KUPI dalam musyawarah-musyawarah keagamaan itu basisnya adalah Al-Quran, hadis, pandangan para ulama yang terekam dalam berbagai khazanah keilmuan Islam, konstitusi negara, dan pengalaman hidup perempuan. Jadi, ada 5 yang menjadi pedoman KUPI di dalam merumuskan pandangan keagamaan.
  • KUPI bukan organisasi struktural, tetapi ini adalah gerakan kultural intelektual sosial yang simpul-simpul kekuatannya justru ada di akar rumput masing-masing. Yang mengikuti KUPI sejak tahun 2017 yang lalu lebih dari 1.000 peserta hadir, karena keterbatasan tempat dari 13 negara mereka hadir swadaya dan mandiri. Mereka hadir di Cirebon di Pesantren Kebon Jambu. 
  • KUPI terdiri dari orang-orang yang proses dan interaksinya secara langsung di akar rumput. Mereka mengajar mengaji dan dakwah, sehingga ketika KUPI menyuarakan persoalan kekerasan seksual, akan berspektif pada Islam dan perspektif perempuan dalam koridor bangsa Indonesia yang mempunyai UUD NRI 1945 dan Pancasila, maka itu adalah proses yang otentik dan organik dari bawah, bukan pikiran-pikiran atau titipan-titipan dari feminisme. Menurutnya, ini tuduhan yang tidak sesuai dengan fakta.
  • KUPI bergerak dalam spirit Islam rahmatan lil alamin, mewujudkan misi risalah nabi yang innama buistu liutammima makarimal akhlak, akhlak yang mulia, dimana kekerasan seksual ini bertentangan dengan tauhid, akhlak mulia, dan juga bertentangan dengan Pancasila khususnya sila pertama dan sila kedua.
  • Landasan teologis dan filosofis yang digunakan di dalam merespon RUU PKS ini adalah bahwa kekerasan bertentangan dengan tauhid, karena menunjukkan ketundukan pelakunya kepada nafsu seksnya dan penundukan kepada korban. Ini bertentangan kepada status manusia sebagai Hamba Allah dan amanat melekat sebagai khalifah fil ardh.
  • Kekerasan seksual juga menunjukkan hilangnya akal budi yang menjadi inti kemanusiaan manusia yang berdampak pada hilangnya kemaslahatan korban khususnya di berbagai sendi kehidupan. Padahal, kemaslahatan manusia itu menjadi Maqashidus Syariah atau tujuan dalam syariat Islam, khususnya menjaga jiwa, menjaga kehormatan, dan menjaga keturunan.
  • Kekerasan seksual itu sendiri dalam Islam jelas diharamkan, baik kekerasan seksual yang terjadi diluar perkawinan maupun dalam perkawinan. Oleh karena itu, zina dan hubungan apapun diluar perkawinan apalagi dengan kekerasan termasuk hubungan seks sejenis adalah haram. Hubungan seksual pasangan suami-istri pun harus berdasarkan prinsip mu'asyarah bi al ma'ruf. Oleh karena itu, hubungan seksual suami istri pada saat haid, pada saat melahirkan, atau saat nifas setelah melahirkan anak, anal seks, sadisme, masochisme, dan berbagai hubungan seksual yang membawa mudharat adalah haram.
  • Hal ini jelas kita bisa temukan di dalam hadis maupun di dalam kitab-kitab fiqih. Kemudian kita juga melihat bahwa Alquran sendiri menyatakan bahwa jiwa harus terlindungi dari kekerasan seksual termasuk apabila dia seorang budak. Allah SWT berfirman dalam surah An-nur Ayat 33.
  • Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga melakukan berbagai cara untuk melakukan pencegahan terjadinya kekerasan seksual termasuk menyadarkan calon pelaku yang mau melakukan hubungan seksual dengan cara zina, tetapi kemudian diajak nabi berdialog. Nabi juga memerintahkan kita untuk menolong orang-orang yang dizalimi dan orang-orang yang zalim.
  • Para pelaku dapat ditolong yaitu dengan cara dihentikan kejahatannya dengan diberikan rehabilitasi dan pendidikan tentang moralitas agar mereka menjadi baik dan juga tidak terjadi hal-hal yang terulang baik pada dirinya maupun orang lain.
  • Kekerasan seksual dalam konteks kita bernegara merupakan pelanggaran yang serius dengan demikian karena berhadapan langsung dengan tauhid dan juga akhlakul karimah dalam merusak Syariah, maka kekerasan seksual bertentangan dengan Pancasila sila pertama dan juga terutama secara langsung juga sila kedua.
  • Landasan sosiologis kita mempunyai fakta bahwa kekerasan seksual terjadi dimana saja dan makin meningkat kuantitas maupun kualitasnya. Kekerasan seksual masih dipandang sesuatu yang biasa bahkan dianggap lelucon oleh sebagian masyarakat padahal dampaknya luar biasa.
  • Landasan Yuridis 
    • Dalam perspektif agama Islam, negara sebagai Ulil Amri berkewajiban hadir memberikan perlindungan secara sistemik mulai dari pencegahan, proses hukum yang menjamin keadilan bagi korban maupun pelaku, hingga pemulihan korban dan rehabilitasi pelaku sebagai implementasi Tasharruf al-Imam ala ar Raiyyah Manuthun bi al-Mashlahah (tindakan pemimpin kepada rakyat harus berorientasi pada kemaslahatan).
    • Masih terjadi beberapa kekosongan hukum mengenai kekerasan seksual meskipun ada KUHP, UU tentang PKDRT, UU tentang Perlindungan Anak, dan UU tentang PTPPO.
    • Dalam Deklarasi Jakarta tahun 2012 dan Rule of Woman tahun 2016, OKI memberikan perhatian serius pada persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
  • Pokok-pokok pikiran tentang RUU PKS, secara umum:
    • Kekerasan seksual yang jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan spirit Islam mewujudkan akhlak mulia, kerahmatan semesta, serta kemaslahatan individu, keluarga, masyarakat, dan negara, sangat membutuhkan payung hukum khusus agar pencegahan kekerasan seksual, keadilan, perlindungan dan pemulihan korban, serta rehabilitasi pelaku dapat berjalan maksimal. Apalagi saat ini masih ada kekosongan hukum bagi korban kekerasan seksual dalam berbagai bentuk. Korban bahkan mengalami kriminalisasi. Negara sebagai Ulil Amri  wajib hadir dan melindungi warga negara dari kekerasan seksual.
    • RUU PKS adalah instrumen penting untuk membangun moralitas masyarakat dan bangsa yang berkemanusiaan adil dan beradab, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, serta langkah penting untuk membangun ketahanan keluarga, karena salah satu pilar penting keluarga sakinan dan maslahah adalah relasi kesalingan yang bahagia dan membahagiakan, muasyarah bil-ma'ruf, dan tidak ada kemudharatan dalam relasi seksual suami-istri. Keluarga yang ada kekerasan seksual di dalamnya jelas bukan bukan keluarga sakinah dan masalahah yang dicitakan oleh Islam.
    • Untuk itu, segala aspek tentang kekerasan seksual perlu dinormakan dalam RUU PKS ini, mulai macam-macam bentuk kekerasan seksual yang jelas membawa mudharat bagi korbannya dan belum terwadahi dalam UU yang ada, pencegahan kekerasan seksual yang sistemik dan partisipatoris, perlindungan hukum, keadilan dan pemulihan bagi korban, hukum acara yang menjamin korban mendapatkan perlindungan dan keadilan, hingga sanksi dan rehabilitasi bagi pelaku.
    • Sesuai dengan namanya, yakni kekerasan seksual, RUU ini diharapkan mencakup semua bentuk kekerasan seksual yang terjadi di lapangan yang nyata membawa mudharat bagi korban, termasuk perbuatan zina dan hubungan sejenis yang mengandung kekerasan seksual, baik dalam rumah tangga, di lembaga pendidikan, di tempat kerja, dan di ranah publik lainnya.
    • Mengenai zina dan hubungan sejenis yang dilakukan suka sama suka yang tidak terjangkau oleh RUU yang berfokus pada kekerasan ini, tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa RUU ini setuju dengan zina dan hubungan sejenis yang diharamkan oleh agama. Apa yang diharamkan oleh agama tetap haram, demikian juga apa yang diwajibkan agama tetap wajib, ada atau tidak ada undang-undangnya. Dalam RUU ini justru praktik zina dan hubungan sejenis yang mengandung kekerasan seksual dapat dihukum; hal yang justru selama ini kurang banyak terungkap karena kendala sosial dan hukum. 
    • Apabila tidak semua perilaku seksual bisa diatur dalam RUU ini karena fokusnya pada kekerasan seksual, seyogyanya hal itu tidak menjadi alasan untuk menolak RUU-nya, karena kaidah fiqih mengatakan bahwa “apa yang tidak bisa diperoleh semuanya, jangan ditinggal/ditolak semuanya)
    • RUU ini perlu berfokus pada kemaslahatan yang nyata dan ada di depan mata, yakni memberikan perlindungan kepada korban yang sangat banyak jumlahnya dan beragam penderitaannya yang belum mendapatkan perlindungan hukum yang semestinya saat ini dan tidak tersandera oleh kekhawatiran yang sifatnya dugaan, sesuai kaidah “kemaslahatan yang nyata harus lebih diutamakan daripada kemafsadatan yang masih dugaan”. Meski demikian, untuk menjaga agar kekhawatiran itu tidak terjadi, perumusan harus dilakukan secara hati-hati, sehingga tidak terjadi kriminalisasi korban atau kriminalisasi orang yang tidak semestinya dikriminalisasi.
  • Pokok-pokok pikiran tentang RUU PKS, secara khusus:
    • Definisi kekerasan seksual agar disederhanakan menjadi “perbuatan seksual yang mengarah kepada fungsi dan/atau alat reproduksi dan/atau seksualitas seseorang, secara paksa dan/atau bertentangan dengan kehendak seseorang, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, dan seksual, serta merugikan secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
    • Bentuk-bentuk kekerasan seksual, definisi dan penjelasannya perlu dirumuskan secara hati-hati, jelas, tidak multitafsir, tidak menjerat orang yang bukan pelaku, tidak menjerat orang yang dalam posisi al mukrah (dipaksa pelaku/orang lain) dan al-madhghuth (terpaksa oleh sistem).
    • RUU PKS tidak cukup hanya mengatur pencegahan karena pencegahan saja tidak mampu mengatasi kekerasan seksual yang sudah terjadi dan dampak (mafsadat) yang ditimbulkannya, dari segi fisik, sosial, ekonomi, moral, spiritual, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
    • RUU PKS perlu mengatur aspek hukum acara yang memudahkan pihak yang terdzolimi (korban, keluarga korban, dan pendamping korban) mendapatkan hak-haknya. Menghadirkan hukum acara yang menjamin mudahnya akses keadilan adalah sebuah kewajiban karena hukum acara itu adalah sarana mewujudkan keadilan itu sendiri. Hal ini sesuai dengan kaidah “kewajiban yang tidak bisa tertunaikan tanpa ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu adalah wajib).
    • RUU PKS perlu mengatur pemantauan karena negara sebagai Ulil Amri bertanggungjawab memastikan berjalannya perlindungan setiap warga negara dari kekerasan seksual melalui Lembaga Nasional HAM yang mempunyai mandat spesifik penghapusan kekerasan terhadap perempuan, setidaknya karena 3 alasan sebagai berikut:
      • Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan menjadi korban daripada laki-laki
      • Budaya di masyarakat masih menganggap bahwa urusan seksual adalah urusan perempuan
      • Secara biologis perempuan lebih mudah dikenali sebagai pelaku dalam perbuatan seksual karena jejak biologisnya, sementara laki-laki tidak memiliki jejak biologis setelah melakukan perbuatan seksual
    • Ketentuan mengenai sanksi harus berorientasi pada keadilan dan kemaslahatan bagi korban, serta efek jera dan rehabilitasi bagi pelaku. RUU ini perlu mengatur ketentuan pidana yang tidak menghukum korban, tidak menghukum yang bukan pelaku, mempertimbangkan aspek penjeraan pelaku (az zajru) dan pemulihan bagi korban (al-jabru). Pemulihan korban sangat perlu diatur secara khusus karena pemulihan korban belum ada aturan spesifik dalam peraturan perundang-undangan yang sudah ada. 
  • Kesimpulan:
    • RUU PKS penting ada sebagai implementasi tauhid dan akhlak mulia serta instrumen membangun peradaban bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan berkemanusiaan yang adil dan beradab.
    • RUU PKS perlu ada karena ada kekosongan hukum di Indonesia terkait perlindungan warga negara dari kekerasan seksual. Pengesahan RUU ini akan berkontribusi pada lahirnya budaya baru yang lebih adil dan beradab dalam melihat persoalan kekerasan seksual dan dampaknya bagi korban, keluarga, komunitas, dan negara. Masyarakat dengan budaya baru ini, akan melahirkan aparatur penegak hukum dan juga penyelenggara negara yang lebih beradab, adil, dan memiliki keberpihakan pada korban dalam menyikapi persoalan kekerasan seksual.
    • Hal-hal yang tidak bisa diatur dalam RUU PKS, karena setiap UU memiliki keterbatasan, tidak layak menjadi alasan untuk tidak mengesahkan UU ini, karena kebutuhan akan adanya payung hukum yang mencegah kekerasan seksual, melindungi, memberi keadilan dan pemulihan bagi korban, serta merehabilitasi pelaku sangat mendesak. Adapun hal-hal yang dikhawatirkan harus bisa dijawab melalui rumusan pasal dan norma yang menjamin tidak terjadinya kekhawatiran tersebut. 
    • Kehati-hatian dan kejelasan norma perlu dikedepankan agar tidak terbuka pintu multitafsir dan penyalahgunaan dalam implementasi apabila RUU ini sudah disahkan.
    • KUPI meyakini DPR-RI dan Anggota Dewan Yang Terhormat, dengan kearifan dan kenegarawanannya akan mampu menghadirkan UU PKS yang adil dan solutif sebagai wujud dari komitmen kebangsaan dan kemanusiaan yang memberi perlindungan kepada segenap warga bangsa dari kekerasan seksual, khususnya kelompok dhuafa (lemah) dan mustadh’afin (terlemahkan secara struktural).

Vitria Lazzarini Latief (Psikolog Tenaga Ahli Psikolog Klinis di P2TP2A)

  • P2TP2A tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Layanan yang diberikan beragam untuk masing-masing wilayah. Khusus DKI Jakarta, memberikan pelayanan pengaduan, informasi, bantuan hukum, layanan psikologi, dan layanan rujukan seperti layanan medis dan kolega. 
  • Pengantar:
    • Laporan kasus kekerasan seksual terus meningkat dan dilakukan dengan cara yang beragam (Incest, pelecehan seksual di lingkungan kerja, perkosaan berkelompok, pemanfaatan relasi pertemanan, dan pemanfaatan teknologi digital).
    • Laporan kasus kekerasan seksual tetap tinggi selama situasi pandemi, yang memberlakukan pembatasan gerak.
    • Upaya pencegahan kekerasan menjadi perhatian, namun belum menyasar pada kompleksitas kasus kekerasan seksual itu sendiri.
    • Pada kasus kekerasan seksual korbannya yang justru lebih banyak disalahkan dan dimintai pertanggungjawabannya.
    • Perbedaan perlakuan untuk penanganan kasus kekerasan seksual pada anak, remaja, dan perempuan.
    • Penanganan belum sepenuhnya menjawab kebutuhan korban akan perlindungan dan pemulihan.
  • Dinamika psikologis korban:
    • Kekerasan seksual sangat berdampak pada korban, keluarga, bahkan komunitas.
    • Dampak psikologis segera yang umumnya tertampil pada korban kekerasan seksual antara lain, reaksi syok, emosi negatif (takut, marah, sedih/duka, bingung, dan cemas), ingatan yang kuat dan berulang mengenai peristiwa, diikuti dengan respons fisiologis, dan sangat mudah teraktivasi oleh stimulus lingkungan.
    • Ketika berada dalam kondisi syok, korban sangat mungkin mengalami kelumpuhan akibat rasa takut yang luar biasa yang disebut dengan tonic immobility. Kelumpuhan ini menyebabkan mereka tidak dapat menggerakkan tungkai lengan maupun kaki, sehingga menjadi tidak mungkin melakukan perlawanan. Tonic Immobility merupakan respons otomatis dari tubuh untuk melindungi diri.
    • Kontribusi pembiasaan pada perilaku: kita diajarkan untuk selalu bersikap santun, termasuk dalam situasi konflik dan menghadapi pribadi yang dominan atau agresif.
    • Perempuan menjadi bertambah rumit (Poerwandari, 2016): 
      • Sepanjang tumbuh kembangnya diajarkan untuk bersikap pasif. Perempuan menjadi sangat sulit untuk bersikap asertif, menghadapi konflik, memperjuangkan kepentingan dirinya.
      • Diletakkan tanggung jawab untuk menekankan pentingnya menjaga diri dan relasi yang baik dengan orang di sekitarnya.
      • Memiliki kebutuhan untuk diterima, memperoleh afeksi, dan intimasi.
      • Mengutamakan orang lain dan menomorduakan diri sendiri, termasuk kasihan kepada keluarga jika kasus terungkap, atau pelaku bila pelaku ditahan.
    • Tampilan dampak pada korban sangat beragam, dimana korban mungkin tampil seolah tenang namun sesungguhnya ia mati rasa (numb). Bahkan korban sangat mungkin mengalami gejala trauma yang tertunda (delayed onset PTSD).
    • Dari peristiwa dan dampak tersebut, dinamika psikologis yang terbangun pada korban adalah:
      • Menyalahkan diri sendiri;
      • Merasa berdosa;
      • Merasa diri tidak berharga atau merasa diri kotor;
      • Merasa jijik dan malu;
      • Merasa tertekan jika diketahui oleh orang lain (menutupi); dan
      • Tertekan atas reaksi orang lain setelah kejadian.
    • Korban memilih untuk tidak melapor atau menunda untuk lapor sementara situasi sudah menjadi rumit atau cabut laporan untuk diselesaikan secara kekeluargaan (demi nama baik keluarga/komunitas sehingga korban tidak pernah berhasil menjadi penyintas).
    • Pada individu yang mengalami peristiwa traumatis, umumnya mengalami kesulitan untuk mengingat karena ingatannya terpecah tidak runtut, dan banyak kesenjangannya. Jika dipaksakan dilakukan penyelidikan, maka keterangannya akan inkonsisten sehingga kerap disalahartikan sebagai keterangan yang tidak kredibel dan diragukan.
    • Jika penanganan tidak tepat atau tidak tertangani, dampaknya dapat mempengaruhi kondisi kesehatan mental yang lebih serius, diantaranya:
      • Gangguan depresi;
      • Gangguan cemas;
      • Gangguan stres pasca trauma (post traumatic stress disorder);
      • Disrupsi kepribadian;
      • Masalah kelekatan (attachment issue);
      • Perilaku menyakiti diri sendiri atau suicidal;
      • Perilaku adiksi;
      • Gangguan nyeri kronis; dan
      • Traumatisme seksual.
    • Implikasinya pada:
      • Perubahan perilaku;
      • Interaksi sosial (terhambat atau berisiko);
      • Penurunan unjuk kerja dalam pendidikan maupun pekerjaan;
      • Ekonomi;
      • Kesejahteraan psikologis; dan
      • Berisiko untuk kembali berada dalam situasi berkekerasan sehingga merentankannya untuk alami complex trauma.
    • Situasi menjadi semakin tidak memulihkan bagi korban apabila:
      • Pelaku memiliki relasi personal atau dikenal korban;
      • Pelaku lebih dari 1 orang;
      • Pelaku memiliki kekuasaan/pejabat/tokoh publik;
      • Pelaku mengancam keluarga korban;
      • Pelaku menyebarkan kekerasan yang terjadi di sosial media;
      • Kekerasan terjadi berulang;
      • Terjadi di tempat pelaku, tempat/situasi yang dianggap rawan;
      • Korban dianggap tidak melawan;;
      • Korban disabilitas; dan
      • Terjadi kehamilan, Infeksi Menular Seksual (IMS).
  • Penanganan dan pemulihan korban
    • Kekhasan kondisi psikologis korban belum sepenuhnya dipahami sehingga korban kerap disalahkan, mengalami stigma, dan tidak dipercaya, yang berimbas pada proses penanganan yang justru membuat korban kembali menjadi korban.
    • Tantangan dalam proses peradilan dialami korban baik saat pra-pengadilan, saat pengadilan, dan pasca pengadilan.
    • Proses pemeriksaan mempengaruhi kondisi psikologis korban: waktu pemeriksaan yang panjang, laporan tidak diterima, dianggap kurang bukti atau diminta mencari bukti, proses yang mempertemukan dengan pelapor, tidak tersedianya penerjemah, dan informasi perkembangan penanganan yang kerap tidak diterima oleh korban. 
    • Pada saat proses pengadilan, korban mengalami kondisi tekanan psikis karena harus menceritakan ulang peristiwanya, menghadapi tersangka, bahkan pendapat psikolog terkait kondisi psikologis korban belum sepenuhnya menjadi pertimbangan pada saat proses pemeriksaan dilakukan di pengadilan.
    • Korban juga kerap mengalami ripple effect dari pelaporan kasusnya, seperti terbuka identitasnya, dilapor balik, dikeluarkan dari sekolah, diberhentikan dari pekerjaannya, atau diselesaikan dengan cara yang merentankan korban (korban merasa malu dan menyesal telah lapor).
    • Kondisi psikologisnya membuat korban atau keluarga korban mencabut laporannya atau menolak bersaksi.
    • Usia korban dan persepsi mengenai karakteristik korban, mempengaruhi sikap penyidik dalam penanganan hukum (pertanyaan yang mengarahkan, mengorek kehidupan pribadi, dan pengalaman seksual sebelumnya serta ada tidaknya perlawanan)..
    • Penyidik yang tidak berpengalaman lebih sering menyimpulkan kasus kurang bukti dan menghentikan penyidikan.
    • Karakteristik khusus dari kasus yang membuat kasus diproses secara hukum
      • Adanya pengakuan tersangka (93% kasus yang naik ke tahap penuntutan).
      • Tersangka berusia dewasa sedangkan korban usia anak (89% extra-familial).
      • Keparahan tindak kekerasan yang terjadi (74% penetrasi, 64% pengulangan).
      • Adanya bukti yang menguatkan (90% bukti visum et repertum).
  • Catatan penanganan di UPT P2TP2A DKI Jakarta tahun 2020
    • Kasus yang paling banyak dirujuk untuk pemeriksaan psikologis adalah kekerasan seksual pada anak, yaitu sekitar 133 kasus dari 176 kasus atau 76% dari rujukan pemeriksaan (42% adalah laporan pencabulan dan 28% adalah persetubuhan). Rujukan untuk kasus kekerasan seksual dimana perempuan dewasa menjadi korbannya sebanyak 6 kasus.
    • Dari 176 surat Hasil Pemeriksaan Psikologis yang dikeluarkan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, hanya 11 kali psikolog diminta keterangannya dalam proses penyelidikan maupun persidangan.
    • Pengajuan restitusi kepada LPSK untuk penanganan psikologis lanjutan dilakukan dengan mempertimbangkan biaya untuk asesmen/pemeriksaan psikologis, konseling/psikoterapi individual, konseling keluarga dan/atau anggota keluarga, layanan rehabilitasi psikososial yang melibatkan pekerja sosial. Namun pengajuan ini terbatas pada kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak, meski LPSK sendiri sudah memprioritaskan untuk kasus kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan.
  • Aspek psikologis korban mulai diperhatikan, namun:
    • Layanan psikologis lebih difokuskan pada penanganan akhir. Padahal sejak korban mengalami kekerasan dan lapor, korban sudah membutuhkan layanan psikologis;
    • Terkendala dengan ketersediaan SDM yang tidak merata dan terbatasnya ragam layanan. Psikologi dapat berkontribusi untuk layanan pendampingan pada proses hukum, maupun proses pemeriksaan psikologis;
    • Terbatas pada penanganan segera, sementara implikasi psikologis dari kekerasan seksual berdampak panjang; dan
    • Belum menjadi mandatory dari putusan pengadilan.
  • Penanganan yang memperhatikan aspek psikologis dapat membantu korban menjauh dari situasi stres. Korban dapat memberikan keterangan dengan lebih nyaman dan dukungan psikososial pada keluarga dapat dikuatkan.
  • Mengingat implikasi dari kekerasan seksual, selain upaya penegakan hukum, korban juga membutuhkan layanan yang menyeluruh, yang mencakup:
    • Penanganan medis berkelanjutan untuk mengobati dampak jangka panjang dari kekerasan seksual;
    • Penanganan psikologis berupa konseling dan psikoterapi bagi korban dan keluarganya;
    • Penanganan pekerjaan sosial (social work) untuk mengurangi dampak stigma, dan reintegrasi dengan lingkungan sosial; dan
    • Pemberdayaan berupa akses pendidikan dan vokasional.
  • Implikasi dan peran psikolog
    • Situasi korban yang tidak memulihkan, dapat menimbulkan reaksi frustasi dan mendorong korban untuk membalas perbuatan pelaku atau memaksa pelaku bertanggung jawab. Tindakan ini membahayakan korban, karena korban terjebak dalam tindak pidana atau menjadi korban tindak pidana lainnya yang lebih buruk.
    • Kondisi psikologis korban diharapkan menjadi petunjuk dalam pembuktian terjadinya kekerasan seksual.
    • Asesmen/pemeriksaan psikologis dicatat di awal untuk memotret respons traumatik sesegera mungkin, mencatat dinamika respons traumatik yang terjadi, dan melakukan penilaian keberfungsian yang dapat dijadikan bahan pertimbangan APH untuk menilai berat-ringannya dampak yang berimplikasi pada penentuan berat ringan hukuman, akses pada pemulihan lanjutan, maupun untuk perhitungan restitusi.
    • Pentingnya penegasan layanan psikologis beriringan dengan proses penegakan hukum dan menjadi bagian dalam hukum acara penanganan korban.
  • Merespons RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
    • Berkaca dari pengalaman penanganan kasus, RUU PKS diharapkan dapat mengakomodir laporan kekerasan seksual dari masyarakat yang selama ini tidak dapat diterima karena keterbatasan payung hukumnya.
    • Mengakomodir aspek perlindungan korban dan memperhatikan aspek psikologis korban yang selama ini kerap dikesampingkan, melalui upaya pencegahan, memastikan penanganan yang berperspektif korban, dan menjamin pemulihan korban, diharapkan dapat terakomodir.
    • RUU PKS ini diharapkan dapat memastikan agar semua pihak yang terlibat dalam penanganan, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam penerimaan pengaduan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
    • RUU PKS ini diharapkan dapat mengatur hukum acara: Asesmen/pemeriksaan psikologis dan layanan pendampingan psikologis.

Sri Wiyanti Eddyono (Dosen Fakultas Hukum UGM)

  • Upaya perlindungan korban kekerasan seksual tidak boleh diabaikan, untuk itu akses korban untuk mendapat keadilan menjadi jaminan penting dalam RUU PKS ini. 
  • Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
    • Sebagai koreksi terhadap kesenjangan hukum dalam perlindungan korban, termasuk korban yang lebih rentan (anak, perempuan, disabilitas, lansia, atau kelompok rentan lainnya).
    • Sebagai upaya pemanusiaan yang bermartabat khususnya bagi korban kekerasan seksual.
    • Pendekatan experiences or evidence based dalam reformasi kebijakan.
    • Mendorong terhapusnya budaya kekerasan yang memberi dampak pada akses terhadap keadilan.
  • Problem hukum kekosongan perlindungan hukum
    • Hanya beberapa jenis kekerasan seksual yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas (Kajian KP dan Elsam).
    • KUHAP tidak berorientasi kepada hak korban, tetapi tersangka/terdakwa.
    • Peraturan perundangan yang ada belum menyediakan skema perlindungan, penanganan, dan pemulihan korban yang komprehensif, terintegrasi, berkualitas, dan berkelanjutan.
    • Judicial Stereotyping, peradilan tidak independen, menyangkal keterangan korban menstigma/menyalahkan, dan lain-lain.
  • Kerangka pengaturan dan materi yang perlu ada dalam RUU PKS
    • Secara substansi/materiil
      • Mengatur delik-delik perbuatan pidana yang dapat dipidana
      • Kekerasan seksual yang dilarang 9 bentuk kekerasan seksual
      • Perbuatan pidana lain yang terkait kekerasan seksual: yang menghalangi proses perlindungan korban dan keadilan
      • Mengatur sanksi pidana
    • Prosedural (Formil)
      • Proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan
      • Hak-hak korban: perlindungan, pelayanan, pemulihan (termasuk hak kompensasi)
      • Sistem pelayanan terpadu
      • Sistem pembuktian-alat bukti
      • Kualifikasi aparat penegak hukum
    • Non Penal Policy (pencegahan)
    • Tanggung jawab pemerintah (anggaran, sarpras, dan kelembagaan)
  • Keterhubungan RUU PKS dengan RUU Hukum Pidana
    • RUU Hukum Pidana
      • Mengatur hukum pidana materiil
      • Tidak mengatur hukum pidana formal
      • Tidak menegaskan kerangka pencegahan
    • Pengesahan RUU Hukum Pidana tidak bisa dianggap cukup
      • Meletakkan dasar kebijakan hukum pidana 
      • Tetapi tidak mengisi gap prosedur penanganan kasus kekerasan seksual
      • Butuh waktu panjang untuk mendorong adanya KUHAP
      • Penanganan korban tidak bisa ditunda

Nur Rofiah (Cendekiawan Muslimah Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta)

  • Nur mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan pendapat berkaitan dengan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Ia ingin menyampaikan pendapat sesuai dengan kapasitasnya sebagai Dosen Bidang Tafsir Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Al-Quran (PTIQ). 
  • Jika berbicara kekerasan seksual dalam perspektif Islam, maka sangat penting untuk melihat Islam sebagai sistem ajaran. Termasuk Al-Quran 30 juz yang mengandung ajaran menjadi sebuah sistem, sehingga satu ayat terhubung dengan ayat atau ajaran yang lain. Di dalam sistem tersebut, ada misi atau cita-cita yang ingin diraih yaitu arsalnaka illa rahmatan lil alamin adalah menciptakan sistem kehidupan yang menjadi anugerah bagi semesta, menjadi anugerah bagi semua orang yang berada di dalam sistem itu. Hal itu yang membedakan sistem kehidupan yang dicita-citakan oleh Islam dengan sistem kehidupan dzalim yang dikritik oleh Islam.
  • Dalam sistem yang dzalim hanya memberikan anugerah bagi yang kuat, sementara di dalam sistem kehidupan yang menjadi rahmat bagi semesta itu memastikan kelompok lemah atau dhuafa atau kelompok yang dilemahkan ini juga memperoleh anugerah dari sistem tersebut. Tentu saja yang disebutkan dalam sistem kehidupan dapat berupa perkawinan, keluarga, masyarakat dan negara, budaya, politik dan sebagainya. 
  • Di dalam sistem ajaran Islam juga terdapat sekumpulan landasan moral yang berupa nilai atau prinsip yang bersifat universal seperti taufik, kemaslahatan, kebijakan, kearifan, dan aneka prinsip dan nilai kebajikan universal lainnya yang semua itu mengarah liutammima makarimal akhlaq menyempurnakan akhlak mulia manusia. Jadi, sistem yang menjadi rahmat bagi semesta yang dikehendaki oleh Islam itu juga rahmat bagi perempuan dan sistem ini hanya mungkin terjadi jika manusianya itu berakhlak mulia termasuk terhadap kepada perempuan. 
  • Di dalam sistem itu, ada petunjuk tentang cara memproses kehidupan yang sesuai dengan realitas kehidupan kita untuk bergerak menuju ke dalam sistem yang dicita-citakan oleh Islam berdasarkan pondasi moralnya. 
  • Pada misi moral ini, tidak ada tawar-menawar, tapi terkadang diperlukan inovasi-inovasi untuk menggerakan realitas sosial. Yang dihadapi pada hari ini bergerak menuju sistem kehidupan yang menjadi anugerah bersama terutama dhuafa dan mustadh’afin. Oleh karena itu, RUU PKS dalam pandangan Nur, khususnya perspektif Al-quran dan Islam merupakan satu ikhtiar untuk menggerakkan sistem kehidupan di Indonesia baik di level individu, keluarga, masyarakat, maupun negara untuk bergerak menuju sistem yang menjadi anugerah bagi semuanya, utamanya bagi perempuan yang menjadi kelompok rentan dalam kasus kekerasan seksual dan juga difabel, dan lain-lainnya.
  • Untuk mewujudkan sistem keragaman oleh manusia ada yang membagi berdasarkan kondisi biologisnya. Laki-laki dan perempuan dalam konteks kekerasan seksual penting menyadari bahwa mereka di samping sama-sama sebagai manusia yang sama seperti jantung, paru-paru, dan lainnya. Tujuannya tidak hanya ditandai dengan perbedaan alat kelamin, tetapi jika sistem dalam tubuh yang berbeda. Perbedaan itu yang menyebabkan perbedaan fungsi sistem reproduksi laki-laki dan perempuan dalam proses lahirnya seorang anak di mana laki-laki seumur hidupnya itu hanya mengeluarkan sperma, sementara perempuan sistem reproduksi yaitu mampu membuat mereka mengalami menstruasi, melahirkan, hingga nifas yang bisa mencapai 2 bulan. Itu semua telah digambarkan oleh Al-Quran.
  • Sistem Jahiliyah ini ditandai dengan cara pandang mengenai perempuan yang dinistakan. Perempuan dianggap objek yang dimiliki oleh laki-laki, sehingga kekerasan seksual itu mempunyai norma yang sangat berbeda. 
  • Kekerasan seperti pemerkosaan dalam sistem jahiliyah adalah kejahatan, tapi bukan kejahatan kepada perempuan, melainkan kejahatan kepada laki-laki yang memilikinya. Ini adalah sistem jahiliyah yang diubah oleh Islam melalui Al-Quran selama 23 tahun. Dengan sejarah yang seperti itu, perempuan mengalami pengalaman-pengalaman sosial seperti; stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda. 
  • Dalam perumusan kebijakan, penting untuk mempertimbangkan kepentingan biologis khas perempuan agar tidak makin sakit  dan mempertimbangkan kerentanan perempuan secara sosial agar tidak terjadi lagi. 

Prof. Topo Santoso (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia)

  • Terdapat beberapa negara yang sudah memiliki UU tentang Kejahatan Seksual atau tindak pidana seksual. Negara-negara tersebut umumnya adalah Inggris dan negara bekas jajahannya, kecuali Malaysia. Di Inggris, memiliki Sex Offences Act 2003. 
  • Melihat pengaturan dari norma di Bab V tampak RUU ini merupakan suatu “Administrative penal law” atau undang-undang administratif bermuatan kekuatan pidana atau undang-undang pidana yang bukan suatu mengatur pidana khusus. Dari segi pengaturannya, RUU PKS ini serupa dengan UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) serta UU tentang Pornografi. 
  • RUU PKS sudah memberi kualifikasi/nama delik/sama tindak pidananya, yaitu “Tindak Pidana Kekerasan Seksual”. Secara umum, dalam UU Pidana Khusus, pembuat UU menuliskan kualifikasi/nama delik/tindak pidana dalam UU yang diaturnya, sementara dalam UU administrasi yang bermuatan ketentuan pidana, kualifikasi/nama deliknya tidak dicantumkan.
  • Tindak pidana perkosaan dalam RUU PKS ini sebaiknya dihilangkan, karena tindak pidana perkosaan sudah diatur dalam RKUHP yang pengaturannya sudah lebih berkembang dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 285 KUHP saat ini. 
  • Gradasi ancaman pidana dengan cara perumusan tindak pidana secara dikualifisir (sanksi pidana ditambah dengan tambahan unsur tertentu) yang disesuaikan dengan siapa pelakunya, siapa korbannya, akibat bagi korbannya, dll pada satu sisi cukup baik dan lebih memberi pedoman penuntutan dan pemidanaan bagi JPU/dan bagi hakim. Namun, perlu diperhatikan lagi dengan seksama.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan