Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Pengesahan Jadwal Masa Sidang III Tahun 2017-2018 dan Hasil Kajian Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren — Badan Legislasi DPR RI Rapat Internal dengan Tim Ahli

Tanggal Rapat: 11 Jan 2018, Ditulis Tanggal: 16 Sep 2020,
Komisi/AKD: Badan Legislasi , Mitra Kerja: Tim Ahli Badan Legislasi DPR

Pada 11 Januari 2018, Badan Legislasi DPR RI mengadakan Rapat Internal dengan Tim Ahli mengenai Pengesahan Jadwal Masa Sidang III Tahun 2017-2018 dan Hasil Kajian Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren. Rapat ini dibuka dan dipimpin oleh Supratman dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dapil Sulawesi Tengah pada pukul 11:00 WIB. (Ilustrasi : dpr.go.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Tim Ahli Badan Legislasi DPR
  • Hasil kajian Tim Ahli terkait 3 aspek
    • Teknis
    • Substantif
    • Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
  • Aspek Teknis
    • Perlu perbaikan sistematika Bab 1 dan Bab II sesuai keumuman teknis penyusunan RUU.
    • Ketentuan Pasal 5 perlu perbaikan rumusan redaksi, yakni Pendidikan Keagamaan menyelenggarakan pendidikan ilmu agama yang bersumber dari ajaran agama. Kemudian pendidikan ilmu agama dipadukan dengan ilmu umum dan/atau ketrampilan dengan mengacu pada sistem pendidikan nasional.
    • Ketentuan Pasal 6 perlu mengganti frasa “dihargai” dengan “disederajatkan”.
    • Pasal 13 Pendidikan Keagamaan Islam berbentuk Pendidikan Diniyah dan Pesantren kurang tepat, sebab Pesantren dihapus dan rumusan Pasal 13, Pasal 14 perlu dirumuskan ulang.
    • Pasal 15 frasa “ilmu yang bersumber dari ajaran” sebaiknya dihapus. Kemudian ditambahkan pada ayat (2) pendidikan anak usia dini yang berciri keagamaan.
    • Pasal 16 ayat (4) perlu perbaikan redaksi “Untuk dapat diterima sebagai peserta didik Pendidikan Diniyah ula, seseorang harus berusia paling rendah 6 (enam) tahun”.
    • Pasal 17 ayat (2) perlu perbaikan redaksi terkait dengan frasa “memiliki kewenangan yang sama” dengan Madrasah Aliyah/Sekolah Menengah Atas yang terdiri dari 3 (tiga) tingkat.
    • Pasal 19 frasa “Keagamaan” diganti “agama”.
    • Paragraf 3 tentang Pesantren yang menempatkan posisi pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan Islam tidak sinkron dengan judul RUU. Jika melihat pada judul RUU tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren, maka pesantren tidak ditempatkan sebagai sub bab Pendidikan Keagamaan Islam.
    • Pasal 44 ayat (2) terkait dengan pengajar pesantren yang wajib lulusan pesantren membatasi hak pengajar yang lulusan pendidikan keagamaan semisal lulusan Al Azhar, lulusan Ummul Quro dan lain-lain.
    • Perbaikan redaksional pada Pasal 67 huruf c dan Pasal 133 huruf c sebaiknya “Pustakawan” memakai huruf kecil.
    • Pasal 76 belum secara rinci dan berurutan mengatur mengenai jenjang pendidikan keagamaan Katolik, di mana pada ayat (1) sudah menjelaskan jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, namun pada ayat (2) langsung loncat mengatur jenjang pendidikan menengah.
    • Perbaikan redaksional pada Pasal 112 ayat (1) seharusnya Hindu.
    • Perlu dilakukan perbaikan teknis penulisan untuk Pasal 130 ayat (2) tentang pengaturan lebih lanjut ujian nasional pada satuan pendidikan Dhammasekha.
    • Frasa pembuka pada Pasal 136 perlu perbaikan teknis penulisan, sebaiknya berbunyi: “Satuan Pendidikan Dhammasekha wajib memiliki pedoman yang mengatur”.
    • Perbaikan redaksional pada Pasal 136 penulisan dimulai dari huruf “a” bukan “k”.
    • Perbaikan redaksional pada Pasal 137 penulisan dimulai dari ayat (1).
    • Perbaikan redaksional pada pasal 138 ayat (2) seharusnya dimulai dengan huruf “a” bukan “b”, kemudian kata “Kristen tidak tepat, mestinya menggunakan kata “Buddha”.
    • Frasa “Sekolah Minggu Buddha” dalam Pasal 140, Pasal 141, Pasal 144 ayat (1), dan Pasal 145 ayat (1) seharusnya tidak diawali dengan huruf kapital karena tidak ada ketentuan umum.
    • Pasal 148 belum secara rinci dan berurutan mengatur mengenai jenjang pendidikan keagamaan Khonghucu, di mana pada ayat (1) sudah menjelaskan jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi, namun pada ayat (2) langsung loncat mengatur jenjang pendidikan menengah.
    • Frasa “Sekolah Minggu Khonghucu” dalam Pasal 159 dan Pasal 160 seharusnya tidak diawali dengan huruf kapital karena tidak ada dalam ketentuan umum.
    • Pasal 162 ayat (1) terdapat inkonsistensi dengan judul RUU, apabila sesuai dengan judul RUU maka ayat (1) seharusnya terdapat frasa “Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren”.
    • Kata “berkewajiban” dalam Pasal 164 sebaiknya diganti dengan kata “wajib”.
    • Dilakukan perbaikan teknis penulisan untuk Pasal 168, frasa “lembaga keagamaan lainnya yang bersifat nasional dan/atau Internasional’’. Sebaiknya diganti dengan frasa “Lembaga Pendidikan Keagamaan yang bersifat Internasional.”
    • Judul Bab VII diubah dari “PERAN SERTA MASYARAKAT” menjadi “PARTISIPASI MASYARAKAT” disesuaikan dengan BAB XI tentang Partisipasi Masyarakat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
    • Dalam Pasal 165, Pasal 166, dan Pasal 167 terdapat inkonsistensi dengan judul RUU, karena hanya mencantumkan Pendidikan Keagamaan dan tidak mencantumkan Pesantren.
    • Perlu dilakukan perbaikan teknis penulisan untuk Pasal 169, disesuaikan dengan judul bab tentang pertisipasi masyarakat.
    • Perlu dilakukan perbaikan teknis penulisan untuk Pasal 170 mengenai ketentuan penutup.
    • Kata “harus” sebelum frasa “ditetapkan paling lama” dalam Pasal 171 disarankan untuk dihapus.
    • Pada bagian penutup ditambahkan frasa “LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN .... NOMOR ...” diakhir RUU.
    • Perhatikan redaksional pada Pasal 31 ayat (2), Pasal 71 (ayat 2), Pasal 87 ayat (3), Pasal 115 ayat (2), Pasal 138 ayat (2), dan Pasal 157 ayat (2) yaitu penulisan kata “jadual” sebaiknya diubah menjadi “jadwal”.
  • Aspek Substansi
    • Perlu pendalaman dan kejelasan dalam menimbang judul RUU, sebab frasa pesantren (spesifik merujuk contoh pendidikan Islam) yang digabungkan dengan Lembaga Pendidikan Keagamaan (bersifat umum mencakup semua agama) menjadikan adanya reduksi pemahaman konseptual dalam rumusan norma RUU, sehingga sebaiknya sesuai dengan materi muatan yang diatur cukup diberi judul RUU tentang Lembaga Pendidikan Keagamaan.
    • Perlu perbaikan dasar menimbang landasan filosofis pada huruf a agar mencantumkan substansi terkait agama sebagaimana dinyatakan Pasal 28E UUD NRI Tahun 1945. Landasan sosiologis dipadukan antara huruf b dan huruf c, sehingga lebih sesuai dengan dasar pembentukan RUU ini. Kemudian penyesuaian landasan yuridis pada huruf d. Adapun rumusan alternatif perbaikannya sebagai berikut:
      • Bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran dalam satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdeskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
      • Bahwa Pendidikan Keagamaan sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia telah lama tumbuh dan berkembang di masyarakat, namun Pendidikan Keagamaan hingga saat ini masih mengalami ketimpangan pada aspek pembiayaan, dukungan sarana prasarana, dan sumber daya manusia bermutu yang memiliki kompetensi dalam menghadapi daya saing global.
    • Dasar mengingat perlu memasukkan Pasal 28C, Pasal 28E ayat (1), Pasal 29 dan Pasal 31 UUD NRI Tahun 1945.
    • Perlu perumusan ulang definisi angka 2 Lembaga Pendidikan, baik formal, non formal maupun informal, serta menekankan penyebutan agama bukan kepercayaan sebagimana dinyatakan Pasal 28E dan Pasal 29. Alternatif rumusan: Lembaga Pendidikan Keagamaan adalah badan, lembaga, atau institusi yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan pada semua jalur dan jenjang pendidikan, baik formal, non formal atau informal.
    • Perbaikan defenisi angka 4 Pondok Pesantren agar lebih tepat dan komprehensif, mengakomodir sebutan lain seperti dayah dan surau, serta sesuai dengan karakter pesantren yang kharismatik dibawah kyai/ustad/ajengan dan mandiri. Alternatif rumusan: Pondok Pesantren/dayah/surau atau sebutan lain yang selanjutnya disbeut Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam berbasis masyarakat, bersifat independen di bawah pengasuhan kyai atau sebutan lain, serta bertujuan mempelajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan moral keagamaan sebagai pedoman hidup masyarakat yang dilakukan melalui penyelenggaraan Pendidikan Diniyah pada semua jalur dan jenjang pendidikan.
    • Sebelum Pasal 2 perlu memasukkan asas yang merupakan landasan dalam internalisasi atau manifestasi nilai dalam materi muatan RUU. Alternatif rumusan: Pendidikan Keagamaan berasas: ketuhanan/religiusitas; kebangsaan; kemandirian; pemberdayaan; kemaslahatan; profesionalitas; akuntabilitas; dan kepastian hukum.
    • Ketentuan Pasal 2, karena fungsi RUU ini bersifat umum, maka sebaiknya frasa pesantren dihilangkan. Sebab tidak selaras dengan substansi yang dimaksudkan yang bersifat umum untuk semua agama. Fungsi pendidikan keagamaan lebih umum cakupannya daripada tujuan. Alternatif rumusan: Pendidikan Keagamaan berfungsi mengembangkan kemampuan peserta didik dalam mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama, membentuk pribadi yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, serta mewujudkan kehidupan bangsa yang religius, bermartabat, dan berkemajuan.
    • Ketentuan Pasal 3, karena tujuan RUU ini bersifat umum, maka sebaiknya frasa pesantren dihilangkan. Sebab tidak selaras dengan substansi yang dimaksudkan yang bersifat umum untuk semua agama. Selain itu perlu dibedakan dengan substansi norma di Pasal 2, mungkin dengan perincian tujuan yang lebih baik. Alternatif rumusan: Pendidikan Keagamaan bertujuan: membentuk peserta diidk yang mempelajari, memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama; membentuk peserta didik yang memiliki keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, berwawasan luas, berpikiran terbuka, kreatif, mandiri, dan memiliki jiwa pengabdian, bagi agama, bangsa dan negara; mencerdaskan masyarakat melalui pendidikan dan pengajaran agama; dan mengembangkan, menyebarkan, dan melestarikan nilai ajaran agama sebagai pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    • Ketentuan Pasal 9, Pendirian Pendidikan Keagamaan oleh masyarakat harus berbentuk badan hukum dapat berimplikasi hukum kepada masyarakat, sehingga kontraproduktif dan bertentangan dengan pengalaman dan praktek pengelolaan pendidikan keagamaan di masyarakat, serta rawan digugat jika nanti diundangkan.
    • Pasal 10 ketentuan Pendidikan Keagamaan jalur non formal yang tidak berbentuk satuan pendidikan yang memiliki peserta didik 15 (lima belas) orang atau lebih merupakan program pendidikan diwajibkan mendaftarkan diri kepada Kantor Kementerian Agama kabupaten/kota perlu dipertimbangkan, sebab terlalu kaku dan membatasi padahal ia hanya pendidikan nonformal.
    • Pasal 12 perlu pengaturan yang lebih spesifik mengenai akreditasi pendidikan keagamaan sesuai Standar Nasional Pendidikan dan karakteristik pendidikan keagamaan.
    • Pasal 21 dan Pasal 22 Kurikulum pendidikan umum pada satuan Pendidikan Diniyah formal harus sesuai dengan ketentuan sistem dan kurikulum pendidikan nasional.
    • Pasal 23 perlu ditegaskan bahwa ujian nasional Pendidikan Diniyah formal pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah diselenggarakan untuk menentukan standar pencapaian kompetensi peserta didik atas ilmu agama Islam dan capaian kompetensi pendidikan nasional.
    • Pasal 48 mempersyaratkan kepemilikan izin atas pendirian pesantren. Apakah pesantren yang tidak memiliki izin menjadi hal yang illegal, mengingat fakta sosiologis bahwa pesantren tumbuh dan berkembang atas prakarsa masyarakat tanpa didahului izin.
    • Pasal 53 ayat (2) rumusan kurang jelas untuk pesantren yang seperti apa harus mempunyai tanda daftar pesantren, struktur organisasi dan memiliki jumlah santri minimum. Apakah pesantren kecil di kampung-kampung akan menjadi illegal ketika tidak bisa memenuhi syarat tersebut?
    • Pasal 55 mengulang substansi Pasal 14 tentang Pendidikan Diniyah oleh Pesantren. Namun materi pengaturan pendidikan diniyah yang diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 14 tidak sinkron.
    • Pasal 64 terkait dengan ujian nasional pendidikan Keagamaan Kristen jalur formal perlu penegasan bahwa standar pencapaian kompetensi peserta didik tidak hanya bersandar pada kurikulum pendidikan keagamaan, tapi juga pada kurikulum pendidikan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 61.
    • Pasal 76 terkait pendidikan keagamaan Katolik jalur pendidikan formal tidak memasukkan kurikulum umum sebagaimana pada pendidikan keagamaan Islam dan Kristen jalur pendidikan formal. Hal ini juga tidak sinkron dengan rumusan pada Pasal 81 terkait dengan ujian nasional yang berpedoman pada standar nasional pendidikan, sementara pendidikan dengan kurikulum umum tidak ada.
    • Pasal 107 terkait dengan ujian nasional pendidikan Keagamaan Hindu jalur formal perlu penegasan bahwa standar pencapaian kompetensi peserta didik tidak hanya bersandar pada kurikulum pendidikan keagamaan, tapi juga pada kurikulum pendidikan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 105.
    • Pasal 129 terkait dengan ujian nasional pendidikan Keagamaan Buddha jalur formal perlu penegasan bahwa standar pencapaian kompetensi peserta didik tidak hanya bersandar pada kurikulum pendidikan keagamaan, tapi juga pada kurikulum pendidikan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 127.
    • Pasal 129 terkait dengan ujian nasional pendidikan Keagamaan Khonghucu jalur pendidikan formal tidak memasukkan kurikulum umum sebagaimana pada pendidikan keagamaan Islam dan Kristen jalur pendidikan formal. Hal ini juga tidak sinkron dengan rumusan pada Pasal 150 terkait dengan ujian nasional yang berpedoman pada standar nasional pendidikan, sementara pendidikan dengan kurikulum umum tidak ada.
    • Judul RUU dengan judul penjelasan RUU tidak sama. Materi muatan jika dikaji lebih jauh memuat suatu sistem pendidikan keagamaan yang lebih tepat dibingkai dalam judul RUU tentang Pendidikan Keagamaan, karena lembaga pendidikan merupakan subsistem dari pendidikan keagamaan.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan