Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Program Kerja dan Isu Lainnya - Komisi 9 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia

Tanggal Rapat: 7 Nov 2019, Ditulis Tanggal: 24 Apr 2020,
Komisi/AKD: Komisi 9 , Mitra Kerja: Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)

Pada 7 November 2019, Komisi 9 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia mengenai Program Kerja dan Isu Lainnya. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Felly E dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dapil Sulawesi Utara pukul 10:15 WIB

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)
  • Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan
  • Dimensi Kesehatan yang diukur, yaitu:
    • Effectiveness
    • Safety
    • Patient Centerdness
    • Accesible
    • Equity
    • Efficiency
  • Itu semua akan diintegrasikan dengan: Effectiveness, Safety, Patient Centerdness, Timely, Equity, Efficiency dan itu semua mengarah pada Equality
  • Perkembangan Rumah Sakit di Indonesia:
    • Tahun 2013 : 2.228
    • Tahun 2014 : 2.408
    • Tahun 2015 : 2.487
    • Tahun 2016 : 2.600
    • Tahun 2017 : 2.799
    • Tahun 2018 : 2.814
  • Solusi Pembiayaan dari Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
    • Pemberdayaan seluruh elemen bangsa untuk menyelesaikan masalah bangsa, termasuk masalah kesehatan
    • Pemberdayaan sepenuhnya sektor swasta dalam mensukseskan program pembangunan/transformasi manusia, Full PPP/Public Private Partnership/FILANTROPI
    • Perbaikan Sistem Kesehatan Nasional
    • Dilakukan revisi beberapa regulasi yang saling tumpang tindih dan disharmoni
    • Penurunan harga obat dan alat kesehatan, melalui pajak dan produksi dalam negeri
  • Rasio jumlah tempat tidur Rumah Sakit per 1.000 penduduk di Indonesia
    • Tahun 2014 : 1,07
    • Tahun 2015 : 1,21
    • Tahun 2016 : 1,12
    • Tahun 2017 : 1,16
    • Tahun 2018 : 1,17
    • WHO: 1 TT Per 1.000 penduduk dan 8 Provinsi masih di bawah standar WHO
  • Pemanfaatan JKN-KIS tahun 2014 untuk Kunjungan di FKTP (Puskesmas/Dokter Praktik Perorangan/Klinik Pratama) sebesar 66,8 juta, untuk Kunjungan di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit sebesar 21,3 juta, untuk Kasus Rawat Inap di Rumah Sakit sebesar 4,2 juta, dan Total Pemanfaatan/Tahun sebesar 92,3 juta jika Total Pemanfaatan/Hari Kalender 252,877 juta
  • Pemanfaatan JKN-KIS tahun 2015 untuk Kunjungan di FKTP (Puskesmas/Dokter Praktik Perorangan/Klinik Pratama) sebesar 100,6 juta, untuk Kunjungan di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit sebesar 39,8 juta, untuk Kasus Rawat Inap di Rumah Sakit sebesar 6,3 juta, dan Total Pemanfaatan/Tahun sebesar 146,7 juta jika Total Pemanfaatan/Hari Kalender 401,918 juta
  • Pemanfaatan JKN-KIS tahun 2016 untuk Kunjungan di FKTP (Puskesmas/Dokter Praktik Perorangan/Klinik Pratama) sebesar 120,9 juta, untuk Kunjungan di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit sebesar 49,3 juta, untuk Kasus Rawat Inap di Rumah Sakit sebesar 7,6 juta, dan Total Pemanfaatan/Tahun sebesar 177,8 juta jika Total Pemanfaatan/Hari Kalender 487.123 juta
  • Pemanfaatan JKN-KIS tahun 2017 untuk Kunjungan di FKTP (Puskesmas/Dokter Praktik Perorangan/Klinik Pratama) sebesar 150,3 juta, untuk Kunjungan di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit sebesar 64,4 juta, untuk Kasus Rawat Inap di Rumah Sakit sebesar 8,7 juta, dan Total Pemanfaatan/Tahun sebesar 223,4 juta jika Total Pemanfaatan/Hari Kalender 612,055 juta
  • Pemanfaatan JKN-KIS tahun 2018 untuk Kunjungan di FKTP (Puskesmas/Dokter Praktik Perorangan/Klinik Pratama) sebesar 147,4 juta, untuk Kunjungan di Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit sebesar 76,8 juta, untuk Kasus Rawat Inap di Rumah Sakit sebesar 9,7 juta, dan Total Pemanfaatan/Tahun sebesar 233,9 juta jika Total Pemanfaatan/Hari Kalender 640,822 juta
  • Masalah regulasi di bidang kesehatan di Era JKN
    • Adanya ambiguitas tentang siapa sebenarnya pembuat regulasi di bidang kesehatan di Era JKN
    • Adanya disharmoni beberaapa regulasi di bidang kesehatan
    • Pengertian kebutuhan dasar kesehatan yang masih belum jelas
    • Pengaturan dan peraturan yang terkait dengan digitalisasi layanan kesehatan (Smart Health)
  • Grafik defisit BPJS, Defisit ini perkiraan dari Kementerian Keuangan
    • Tahun 2014 : Rp. 3,8 T
    • Tahun 2015 : Rp. 5,9 T
    • Tahun 2016 : Rp. 9,7 T
    • Tahun 2017 : Rp. 9,75 T
    • Tahun 2018 : Rp. 9,1 T
    • Tahun 2019 : Rp. 28 T

ASOSIASI RUMAH SAKIT SWASTA INDONESIA (ARSSI)

  • Pada dasarnya Rumah Sakit Swasta mendukung JKN. 73% dari ARSSI ikut berkontribusi di JKN, bagian integral JKN. Saat ini RS Swasta diklasifikasi sebagai RS C dan D. Penurunan pajak obat dan alkes yang mahal sebagai barang mewah membuat harga pelayanan menjadi mahal seperti negara lain, Malaysia pajak alkes dan obat-obatan tidak ada atau minimal.
  • Dampak PMK 30 Tahun 2019 menyebabkan banyak hal:
    • Kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat akan menurun
    • Masalah patient safety tidak ada dokter yang tersedia karena batasan maksimal pelayanan speasialis tidak ada wilayah (karena dari subspesialis di wilayah luar juga tidak mudah dalam penyediaannya)
    • Ketidaksediaan SDM dokter di remote area
    • Migrasi dokter ke pusat kota karena RS tipe B ada di kota yang berbeda wilayah
    • Migrasi masyarakat akan ke negara lain yang berbeda di remote atau area perbatasan
    • Pemetaan layanan tidak terjadi
    • Aturan Permenkes tentang 3 SIP terlanggar hak dokter bekerja dengan 3 SIP tidak terpenuhi
    • Kedaulatan pelayanan tidak tercapai masyarakat di area perbatasan harus mencari pelayanan ke negara lain
    • Pengobatan prosedur pengobatan rutin pasien sulit dilaksanakan
    • RS swasta akan mengurangi SDM bila tidak naik kelas dan pelayanan spesialisnya sudah melampaui batas sehingga akan terjadi PHK dokter dan SDM RS.
  • ARSSI berharap apabila anggaran mencukupi, defisit BPJS ini dapat teratasi, Pengadaan obat-obatan e-katalog untuk RS Swasta sering terjadi kekosongan atau obat yang dipesan RS tidak cukup. Kedepan alkes bisa dipesan melalui e-katalog Pembayaran klaim BPJS ke RS sering terlambat akhir-akhir ini (3-4 bulan) bahkan pending-an klaim masih ada mengakibatkan cash flow terganggu dan kendala beban operasional RS
  • Terkait akreditasi Rumah Sakit itu memang dengan anggaran yang tidak sedikit. Akreditasi itu untuk menjamin mutu layanan. Kami tidak setuju akreditasi menjadi syarat mutlak untuk bekerjsama dengan BPJS. Masalah akreditasi juga jangan sampai pelayanan masyarakat terganggu. Setiap tahun Rumah Sakit juga mendapat pengawasan dari Dinas Kesehatan terhadap proses pelayanannya. Jadi mengenai apakah bisa ditinjau kembali terkait akreditasi terhadap BPJS, seharusnya akreditasi Rumah Sakit kalau dilaksanakan untuk memantau mutunya itu sama-sama berakhirnya perizinan. ARSSI dari swasta berat sekali jika Rumah Sakit sudah terakreditasi tapi belum re-akreditasi BPJS biasanya langsung memutus kerjasama. Jadi masyarakat menjadi terganggu. Terkait kecurangan itu yang terjadi dari ARSSI tidak pernah mendapatkan laporan. Masalah ini perlu ada mekanisme. Jika itu masalah administrasi di feedback-kan kembali kepada Rumah Sakit. Rumah Sakit Swasta juga sangat ingin dapat bantuan dari Pemerintah dalam hal ini di era JKN butuh dalam hal upaya khususnya dalam perizinan dan ARSSI tetap patuh pada regulasi yang ada.
  • Peran Dinas Kesehatan dalam hal perizinan itu cukup. Dengan adanya perpanjangan akreditasi tidak menjadi syarat BPJS. Harusnya ada toleransi. Faktor-faktor yang mendukung biasanya masalah biaya. Kami setuju akreditasi penting, namun kalau syarat BPJS Kesehatan itu UU tidak mengatur terkait hal tersebut. Asosiasi ini adalah suatu wadah untuk menjaga mutu. ARSSI tidak punya kewenangan untuk menutup Rumah Sakit atau memberikan sanksi. Kalau seperti sanksi itu baisanya dari Dinas Kesehatan. Dinkes mengajak asosiasi dalam upaya pembinaan

ASOSIASI RUMAH SAKIT DAERAH SELURUH INDONESIA (ARSADA)

  • Didirikan di Jakarta pada 3 November 2000
  • Latar belakang : dengan perubahan Pemerintahan sentralistik menjadi desentralisasi, hubungan antar daerah (antar RSD) “seolah putus” perlu forum komunikasi, sekaligus membantu Pemerintah. ARSADA sekaligus sebagai motivator, fasilitator dan advokato RSD Jumlah anggota : 782 RSD (data rsonline per 5 November 2019)
  • Rumah Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidan dan jenis penyakit, sedangkan Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya Rumah sakit khusus dapat menyelenggarakan pelayanan lain diluar kekhusussannya, dengan pelayanan rawat inap 40% dari seluruh jumlah tempat tidur.
  • Klasifikasi Rumah Sakit
    • Rumah Sakit Umum : RSU kelas A dan kelas B memiliki kemampuan pelayanan medik spesialis dan subspesialis. Serta RSU kelas C dan kelas D memilikikemampuan pelayanan medik spesialis, kecuali RS kelas D pratama
    • Rumah Sakit Khusus : rumah sakit khusus kelas C hanya untuk RS khusus Ibu dan Anak
  • Berdasarkan arahan Presiden RI, dua tantangan terbesar dunia kesehatan adalah Jaminan Kesehatan Nasional dan Stunting
  • Rumah Sakit Daerah:
    • 110 RSD sebagai rujukan regional; 20 RSD sebagai rujukan provinsi dan 4 RSD sebagai rujukan nasional (134 RS rujukan dari 144 RS rujukan)
    • Wajib melayani JKN RSD merupakan tulang punggung program JKN
    • Bentuk kelembagaan dan pola pengelolaan mempengaruhi mutu layanan
    • Kompleksitas RSD
  • Masalah Mutu RSD:
    • PP No. 72 tahun 2019 menetapkan RSD sebagai “UPT Khusus”; artinya bukan UPT biasa potensi pemahaman yang tidak sama di berbagai daerah potensi masalah potensi menurunkan mutu potensi menganggu program JKN Idealnya : RSD sebagai Organisasi Perangkat Daerah yang melaksanakan PPK BLUD
    • Masih memerlukan tindak lanjut oleh Pemerintah Daerah untuk menyesuaikan dengan PP No 72 tahun 2019 (artinya perlu waktu); saat ini sudah bulan November, tidak cukup waktu terkait dengan perencanaan anggaran
  • Kompleksitas RSD
    • Diatur dengan 20 UU beserta turunannya
    • 35 jenis perizinan (SIP dokter, SIPP Perawat, IMB, Izin mendirikan RS, Izin operasional. Izin pengelolaan Limbah, Izin menyimpan B3; SIPA Apoteker, Izin pesawat rontgent dsb)
    • Diatur oleh 7 Kementerian: Menkes, Mendagri, Menkeu, MenPANRB, MenPUPR, MenKLH, dan MenESDM.
  • Kewajiban RSD:
    • Mutu Layanan : Kelembagaan, Pengelolaan
    • PPK BLUD : Regulasi tidak sinkron RSD Ragu
    • Akreditasi : (1) Kepatuhan: UU dan standar (20 UU), (2) 35 jenis perizinan, (3) 7 kementerian
    • JKN : 782 RSD tulang punggung JKN, regulasi vs pelayanan
  • Masalah:
    • Tarif sudah lamam belum ditinjau
    • Kelambatan pembayaran klaim berdampak pada rush pembelian obat dan sediaan lainnya
    • Gangguan cash flow pembelian sediaan (obat, Bahan Medis, makan pasien dsb) terganggu tetap wajib melayani mutu menurun
    • Ditengah gangguan cash flow, ada kewajiban susulan dari BPJS (finger print dsb)
    • Penetapan “kriteria daerah yang tidak ada faskes” belum ditentukan, misal satu kabupaten memiliki 12 pulau dan RSD berada di suatu pulau; 11 lain masuk kriteria?
    • Pertanggungjawaban keuangan Pemda ketika PBI Daerah dikelola BPJS belum jelas
  • Pada daerah yang tidak ada faskes, BPKS wajib memberikan kompensasi, bentuk kompensasinya juga belum dirinci
  • Rekomendasi dari ARSADA:
    • Tarif INA CBG’s segera ditinjau, termasuk mempertimbangkan biaya-biaya perizinan
    • Pembayaran tepat waktu, sehingga RSD konsentrasi pada pelayanan, tidak terganggu oleh gangguan cash flow
    • Penguatan peran Pemda dalam JKN: Biaya, pengelolaan; pertanggungjawaban APBD dalam hal PBI Daerah bila dikelola BPJS
    • Penguatan FKTP dalam hal promotif-preventif
    • Tenaga kesehatan adalah tenaga strategis terkait pelayanan dasar, diperlukan penyebaran mearat yang didukung penuh komitmen dari yang terkait (pemerintah dan organisasi profesi) melalu revisi beberapa UU
    • Sinkronisasi UU: UU SJSN; UU BPJS; UU Kesehatan; UU RS; UU Pemda dsb
  • Setelah itu mengenai peralatan, itu ada nilainya otomatis. Kemudian FORNAS untuk pasian JKN adalah standar obatnya yang ada di FORNAS. ARSADA juga ada kesepakatan internal di Rumah Sakit untuk pasien JKN menggunakan daftar FORNAS

ASOSIASI KLINIK INDONESIA (ASKLIN)

  • Jika ASKLIN tidak punya dokter gigi dari 1 RS di klinik, maka ASKLIN hanya digaji Rp. 8.000 per jiwa dan jika ada dokter umum dan dokter giginya ASKLIN dibayar Rp. 10.000 per jiwa. Jika berkenan, ASKLIN memohon para anggota bicara ke Kemenkes supaya klinik akreditasi dibayaroleh Pemerintah. Karena pembiayaan akreditasi di klinik, dibebankan kapitasi ASKLIN. ASKLIN juga dibebankan dengan pihak ke-3 yaitu pengolah limbah, setahun sebesar 2,5 juta biayanya.
  • Menurut ASKLIN tidak ada pemerataan kapitasi di klinik. Sistem akreditasi sampai saat ini belum rapih di daerah. Akreditasi setiap 3 kali dalam setahun. ASKLIN akan mengeluarkan banyak uang untuk itu terdapat sebanyak 244 klinik utama di Indonesia
  • Visi ASKLIN adalah memberi pelayanan kesehatan untuk rujukan berjenjang, dengan sistem JKN sekarang rujukan itu berjenjang mulai dari klinik baru menuju Rumah Sakit. Kemudian karena peran klinik cukup besar saat ini kebutuhan klinik masih dibutuhkan. Problemnya klinik ASKLIN untuk beroperasional butuh biaya. ASKLIN dibayar pasarnya berdasarkan orang yag ada. Sehingga untuk hidupnya ada yang mengharapkan untuk perbaikan. Untuk akreditasi berjuang keras untuk akreditasi jangan dulu dijalankan. Karena biayanya cukup tinggi. Bagaimana pola arkeditas dengan biaya murah kadang-kadang ASKLIN datang rapat, pasien terhambat kalau tidak datang jadi nilai akreditasinya. Disini ASKLIN belum ingin akreditasi kalau polanya belum berubah. ASKLIN mau akreditasi ada beberapa lembaga supaya ada pilihan dan tidak menjadi patokan untuk itu sebagai pembayaran BPJS. Jadi ini bertolak belakang antara UU dengan pelaksanaannya. ASKLIN pun menanyakan bagaimana ini bisa nyambung. Jika ada pasien yang tidak tertolong pada jam-jam tertentu itu klinik tidak ada, puskesmas ada dan sesuai jam buka

FORUM PERHIMPUNAN KLINIK dan FASILITAS KESEHATAN PRIMER

INDONESIA (FPKFI)

  • Pemerintah belum pro terhadap klinik menurut FPKFI sehingga FPKFI tertinggal dari negara lain. Derajat kesehatan tetangga jauh lebih baik dari kita. Adan keengganan Kementerian untuk pro ke FPKFI
  • Perkembangan klinik utama jauh tertinggal dari negara lain. FPKFI meminta wakil yang sudah FPKFI pilih untuk bicara kepada Pemerintah agar perizinan klinik tidak dipersulit, Jika akreditasi adalah mandatori dari UU maka negara wajib membiayai, bukan sebaliknya. Peserta JKN di daerah menumpuk di Puskesmas. Sedangkan di klinik sepi. FPKFI menanyakan apakah ingin seperti ini terus.
  • FPKFI menilai Pemerintah ikut berbisnis di JKN. Tarif kapitasi tidak ada naik selama 6 tahun terakhir. Masalah lain peraturan diatas dan dibawah tidak sinkron. FPKFI menilai regulasi yang kemarin tidak pro investasi. FPKFI berharap Menkes yang sekarang bisa membua reformasi kesehatan. FPKFI sebagai pengurus IDI sering kali sudah terakreditasi tetapi angka tuntutan pasien membludak, yang menjamin ini dari Dinas Kesehatan dengan biaya yang sangat besar dan membebani. Harus ditegaskan pelalayanan mutu tidak hanya dengan akreditasi

ASOSIASI DINAS KESEHATAN SELURUH INDONESIA (ADINKES)

  • Puskesmas melakukan perlindunga khusus, misal memberikan imunisasi, isolasi terhadap penderita pennyakit menular dsb. Puskesmmas mencegah pembatasan kecacatan dengan melakukan pengobatan dan perawatan yang benar agar penderita sembuh dan tidak terjadi komplikasi. Pokok masalah puskesmas adalah alokasi promosi dan pencegaha rendah, upaya kesehatan kita cenderung kuratif (pengobatan). Begitu sayangnya jadi Kepala Dinas. Sudah apa-apa tidak dapat. Sebetulnya PP 72/2019 ini membuat ADINKES takut. Kepala Dinas bertanggung-jawab pada Dinas Kesehatan tetapi dibatasi semuanya, memang tidak bisa dipisahkan UKP dan UKM. Permenkes 128/2004 ADINKES ada disitu dan pelayanan primair sudah ada disitu tapi ini di daerah tertentu, bukan di Indonesia.
  • Ada kompetensi yang disyaratnya untuk Kepala Dinas Kesehatan. ADINKES dilibatkan dan ADINKES sendiri yang buat kurikulumnya. Tapi sayang tidak cukup uang padahal ADINKES juga undang KSN dan Kemenkes. Sertifikasinya seharusnya dari Kemenkes jika sertifikasi ingin kuat. Tanpa sertifikasi tidak boleh diangkat.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan