Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Defence Cooperation Agreement (DCA) RI-Singapura — Komisi I DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar/Akademisi

Tanggal Rapat: 21 Nov 2022, Ditulis Tanggal: 16 Dec 2022,
Komisi/AKD: Komisi 1 , Mitra Kerja: Pakar

Pada 21 November 2022, Komisi 1 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan dengan Pakar/Akademisi mengenai Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Defence Cooperation Agreement (DCA) RI-Singapura. RDPU dipimpin dan dibuka oleh Bambang Kristino dari Fraksi Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dapil Nusa Tenggara Barat 2 pada pukul 10:20 WIB. (Ilustrasi: m.republika.co.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pakar

Universitas Pertahanan:

  • Berdasarkan Naskah Akademik dan Draft Perjanjian yang tahun 2007 yang sudah ditandatangani, maka kami akan sedikit menyampaikan bahwa sejarahnya DCA ini adalah dimulai dari perjanjian yang sebelumnya yaitu Military Training Area tahun 1995-2001 di mana di dalam perjanjian ini sebetulnya sudah termaktub daerah MTA 1 dan MTA 2 yg ditandatangani oleh Menhan & Keamanan Rakyat RI dan Menhan Singapura. Perjanjian ini disahkan melalui Keppres Nomor 8 Tahun 1996.
  • Singapura pada dasarnya mengacu pada Pasal 51 UNCLOS 1982 sebagai dasar hukum untuk perjanjian MTA, yaitu ada kalimat di dalam UNCLOS yang menyatakan shall recognize traditional fishing rights and other legitimate activities of the immediately adjacent neighboring state.
  • Pemahaman Singapura atas other legitimate activities seharusnya merujuk pada aktivitas sipil atau komersial atau tradisional yang sudah berjalan sebelum UNCLOS 1982 terbit.
  • Singapura entah bagaimana menyatakan bahwa ini aktivitas militer. Padahal, UNCLOS itu sampai dengan saat ini tidak mengatur aktivitas militer di rezim perairan, sehingga logikanya bahwa yang dimaksud dgn kegiatan sebelumnya adalah kegiatan tradisional, bukan aktivitas militer. Apalagi, aktivitas itu baru, karena mereka melaksanakan latihan-latihan itu setelah Singapura mengikuti kegiatan-kegiatan latihan dengan negara lainnya.
  • Perjanjian MTA ini akhirnya diakhiri oleh Indonesia, karena Singapura terbukti melanggar perjanjian. Pengakhiran ini sesuai dengan hukum internasional, yaitu berdasarkan section 3 artikel 62 konvensi WINA 1969.
  • Ada 3 hal pokok pelanggaran Singapura, yaitu: 1) sering latihan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu; 2) latihan hingga di luar area yang telah ditentukan; dan 3) mengajak negara lain untuk aktif latihan militer.
  • Jika mengacu beberapa keuntungan yang seharusnya kita peroleh selama MTA di tahun 1985-2001, maka relatif tidak ada keuntungan signifikan bagi TNI dan Singapura.
  • Pada tahun 2007, terbit Perjanjian Defense Cooperation Agreement (DCA) yang melanjutkan Perjanjian MTA, yaitu satu paket dengan perjanjian ekstradisi.
  • Sesuai hukum internasional, karena ini merupakan satu paket perjanjian, maka jika Perjanjian DCA diratifikasi, maka seharusnya Perjanjian Ekstradisi juga harus diratifikasi. Jadi, DCA diratifikasi oleh DPR-RI dan Perjanjian Ekstradisi juga harus diratifikasi oleh Parlemen Singapura. Ini berlaku yg namanya asas resiprokal. Ternyata, Parlemen Singapura pada waktu itu menolak meratifikasi Perjanjian Ekstradisi.
  • Otomatis DCA yang sudah di tanda tangan di tahun 2007 juga tidak diratifikasi. Berlanjut tahun 2009, akhirnya Pemerintah Indonesia menambahkan bahwa Perjanjian DCA tetap 1 paket dengan Perjanjian Ekstradisi ditambah dengan Perjanjian Flight Information Region (FIR).
  • Pada 25 Januari 2022, Perjanjian FIR ditandatangani oleh Menteri Perhubungan RI dan Menteri Transportasi Singapura. Perjanjian Ekstradisi ditandatangani oleh Presiden RI dan Perdana Menteri Singapura.
  • Menteri Pertahanan RI dan Menteri Pertahanan Singapura menandatangani pernyataan bersama atas kesepakatan meratifikasi DCA RI-Singapura 2007.
  • Sesuai dengan naskah akademik yang kami terima, maka inti daripada ratifikasi itu yang harus diatur adalah:
    • mengenai ruang lingkup kerjasama;
    • pembatasan dan otoritas kewenangan;
    • rincian wilayah;
    • kewajiban peraturan pelaksanaan (implementing arrangement);
    • perlindungan terhadap informasi rahasia;
    • alokasi anggaran;
    • penyelesaian perselisihan;
    • pemberlakuan;
    • amandemen; dan
    • pengakhiran.
  • Di dalam draft perjanjian ini, pada Pasal 5 harus ada kewajiban untuk dibentuk Komite Kerjasama Pertahanan. Hal ini akan sangat membantu bagi TNI apabila Komite Kerjasama Pertahanan ini betul-betul dibentuk untuk mengawasi pelaksanaannya.
  • Yang tidak kalah penting adalah Pasal 6, yaitu implementing agreement. Ini harusnya ditandatangani oleh Panglima TNI, KASAL, KASAD, dan KASAU Indonesia dan juga Panglima Angkatan Bersenjata Singapura. Jadi, seimbang.
  • Area latihannya sesuai dengan draft perjanjian ini lebih berat dibandingkan waktu MTA. Contohnya, di dalam Perjanjian DCA diizinkan untuk menembak rudal dan bisa mengundang pihak ketiga. Kedua hal ini yg membedakan antara MTA dengan DCA.
  • Masih ada kemungkinan negosiasi untuk menawarkan daerah latihan pengganti di perairan ZTE Indonesia sebelah barat perairan Aceh. Ini merupakan salah satu hasil research di UNHAN.
  • Di dalam hukum laut internasional masih diizinkan untuk memberikan alternatif daerah latihan, karena daerah latihan yang sebelumnya ada di wilayah perairan atau kedaulatan Indonesia.
  • Pertimbangannya mengacu pada evaluasi MTA 1995-2001:
    • meminimalisir kemungkinan salah sasaran pada saat penembakan rudal;
    • meminimalisir dampak kerusakan lingkungan kelautan;
    • penangkalan terhadap illegal ilmigran, human trafficking, dan penyelundupan narkoba.
  • Jadi, kita latihan bersama dengan Singapura ini kita manfaatkan untuk menangkal ancaman-ancaman lain yang masuk ke Indonesia.
  • Di dalam penyusunan dan pengawasan fungsi dari DPR adalah penyusunan rincian teknis implementing arrangement untuk memastikan agar:
    • Tidak terjadi pelanggaran sesuai isi perjanjian sbgmn pengalaman pd saat perjanjian MTA 1995-2001;
    • Tidak terjadi kerusakan lingkungan kelautan;
    • Tidak terjadi kerugian masyarakat setempat;
    • Tidak melibatkan militer negara lain tanpa seizin Pemerintah RI;
    • Pembatasan penggunaan jenis amunisi dan persenjataan lainnya;
    • Sanksi tegas pengakhiran seketika atas periode perjanjian yang berjalan, jika terjadi pelanggaran;
    • Sanksi tegas tidak akan ada lagi kesempatan kerjasama pertahanan di kemudian hari jika masih terjadi pelanggaran.
  • Dengan implementing arrangement ini, kalau misalnya Singapura menerima, kita malah bisa belajar jenis-jenis rudal apa saja yang dimiliki oleh Singapura.
  • Rekomendasi dari UNHAN kepada DPR ada dua alternatif, yang pertama alternatif bersifat internal (untuk Indonesia) dan yang kedua adalah alternatif eksternal.
  • Alternatif yang bersifat internal, kita ingin agar terlebih dahulu pengaturan pelaksanaan atau implementasi arrangement ini ditandatangani oleh Panglima Angkatan Bersenjata dan Ketiga Kepala Staf Angkatan baik Indonesia maupun Singapura. Itu adalah syarat agar ini bisa berlaku atau bisa diratifikasi.
  • Alternatif yang bersifat eksternal, yaitu perjanjian FIR dan Perjanjian Ekstradisi yang sudah ditandatangani Januari lalu, harus disahkan dulu oleh Parlemen Singapura.
  • Sebagai penutup, kami sampaikan secara yuridis, maka ketentuan Pasal 51 UNCLOS 1982 sebagai dasar hukum Militer Training Area dan kemudian yang menjelma menjadi saat ini Defense Cooperation Agreement (DCA), tidak sesuai dengan penjelasan dalam UNCLOS 1982 itu sendiri dan bertentangan dengan pemahaman negara-negara lain yang telah meratifikasi UNCLOS 1982.
  • Secara akademik, maka pengesahan perjanjian antara Pemerintah RI dan Pemerintah Singapura ttg Kerjasama Pertahanan oleh DPR-RI merupakan konsekuensi hukum setelah ditandatanganinya Perjanjian FIR dan Perjanjian Ekstradisi pada Januari 2022.
  • Secara diplomasi, maka sebetulnya Pemerintah RI sudah mendapatkan keuntungan dari 2 perjanjian sekaligus yang sudah ditandatangani, yaitu Perjanjian FIR dan Perjanjian Ekstradisi.
  • Hanya tinggal sekarang bagaimana kita akan implementasikan dari perjanjian kerjasama pertahanan ini.
  • DPR-RI dapat berkonsultasi dengan Parlemen Singapura terlebih dahulu untuk lebih memastikan bahwa Parlemen Singapura nantinya akan mengesahkan Perjanjian FIR dan Perjanjian Ekstradisi. Ini adalah merupakan asas resiprokal yang harus diterapkan dalam hubungan internasional.

Universitas Padjajaran:

  • Paparan yang ingin disampaikan terbagi dari 3, yaitu:
    • latar belakang karena lahirnya Defense Cooperation Agreement (DCA) yang merupakan reinkarnasi dari DCA yang sudah ditolak oleh DPR pada tahun 2007. Sekarang itu memiliki posisi tersendiri, karena tidak bisa dilepaskan dari Perjanjian FIR yang kontroversial;
    • catatan terhadap pasal-pasal tertentu untuk draft perjanjian; dan
    • ada beberapa rekomendasi.
  • Amanat UU Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 6 merupakan UU yang komprehensif sebelum adanya UU tentang Pertahanan.
  • Penggunaan ruang udara di dalam Pasal 6 yang sebetulnya UU ini adalah mengatur untuk penerbangan sipil, akan tetapi lingkup tanggung jawab negara adalah penggunaan ruang udara untuk pertahanan dan keamanan.
  • Pada tahun 2015, Presiden Jokowi menginstruksikan untuk mempercepat pengambilalihan FIR yang seharusnya tahun 2024 menjadi 2019. Akan tetapi, instruksi ini tidak pernah terlaksana dalam hal ini.
  • Bahkan, terjadi sebuah keputusan yang menurut saya bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 2009, karena dengan disahkannya lewat Peraturan Presiden (Perpres) untuk Perjanjian FIR. Disini akan terjadi dilema hukum.
  • Pemerintah sudah menganggap urusan FIR itu bebas lepas dari masalah kedaulatan, oleh karena itu tidak perlu konsultasi dengan DPR ketika mengesahkan Perjanjian FIR. Padahal, disitu berimplikasi sangat luas terhadap kedaulatan.
  • DCA yang diajukan kembali itu bahan bakunya dari Framework of Discussion pada tahun 2019.
  • DCA yang sekarang itu dipicu oleh FIR. Berbeda dengan yang ditolak pada tahun 2007 yang tidak ada kaitannya dengan FIR.
  • Pada tahun 1948, sebetulnya sudah ada perundingan yang kami juga mempertanyakan kenapa di dalam negosiasi FIR kali ini, Pemerintah tidak membuka dokumen itu
  • Di dalam dokumen tersebut dikatakan bahwa khusus untuk penerbangan militer, ketika itu Pemerintah Hindia Belanda merasa keberatan soal militer itu diatur oleh Inggris dan di akhir pertemuan itu disepakati bahwa itu sebagai perjanjian internasional.
  • Ketika kemudian Singapura pada tahun 1965 itu lahir, di situ Singapura menyatakan dia bertanggung jawab akan melanjutkan apa yang menjadi kewajiban Pemerintah Inggris dan begitu juga Indonesia.
  • Berarti Singapura itu sebetulnya memiliki utang terkait dengan penerbangan militer dan kenapa Pemerintah tidak membuka dokumen tahun 1948.
  • Pada tahun 1995 dilakukan agreement soal FIR. Akan tetapi, karena masih ada keberatan dari Malaysia soal perbatasan, kemudian agreement 1995 itu secara de jure tidak berlaku tapi secara de facto berlaku, karena Indonesia menerima fee yang diorganisasikan oleh Singapura.
  • Akhirnya, Indonesia memiliki UU Nomor 1 Tahun 2009 yang disitu secara tegas diamanatkan pada Pasal 458 dikatakan bahwa wilayah udara Republik Indonesia yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain, berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggaraan pelayanan navigasi penerbangan.
  • Pada tahun 2015, Presiden Jokowi memberikan instruksi untuk dipercepat. Ketika itu dilakukan perundingan dan karena terjadi ketidaksepakatan siapa yang akan menjadi leading, maka diambil alih oleh Menko Marves.
  • Substansi dari FIR tidak ada pengaruh sama sekali keuntungannya bagi Indonesia atau bisa dikatakan History of No Change.
  • Kekeliruan yang dilakukan Indonesia dalam take over FIR Singapura adalah melepaskan aspek kedaulatan sebagai basis hukum dan menjadikan Perjanjian FIR satu paket dengan Perjanjian Ekstradisi dan Kerjasama Pertahanan (DCA).
  • Ruang udara kita sama dengan luas daratan dan lautan. Justru yang menjadi masalah itu adalah yang 0 sampai dengan 25.000 kaki yang sekarang didelegasikan kembali kepada Singapura.
  • Ada perjanjian tambahan untuk Civil Military Agreement. Biasanya itu di dalam negeri, bukan dengan luar negeri. Oleh karena itu, menurut saya kekeliruan yang dilakukan Indonesia dalam take over FIR Singapura adalah melepaskan aspek kedaulatan sebagai basis hukum.
  • Di dalam Framework of Discussion, Singapura mengatakan ini adalah matter of safety, tapi disitu jelas Singapura memasukkan kepentingan kedaulatannya. Makanya, di sini muncul dilema bagi DPR.
  • Pendapat saya, kalau satu tidak disetujui, maka paket itu tidak berlaku semuanya. Ketika itu tidak berlaku, bagi Singapura tidak ada masalah. Maka akan kembali ke Agreement 1995. Itu dilemanya. Oleh karena itu, DPR perlu serius menguliti hal ini.
  • Bertahun-tahun Singapura itu paling tidak mau dalam negosiasi ada unsur militer di dalamnya, tapi DCA menunjukkan kepentingan Singapura sampai hal kerjasama pertahanan dalam hal ini. Jadi, hiprocated.
  • Apabila persoalan pengambilalihan FIR Singapura itu hanya masalah teknis dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan kedaulatan, maka penyelesaiannya cukup dilakukan oleh AirNav di kita.
  • Pendekatan ini pernah digunakan Kamboja ketika mengambil alih FIR dari Thailand tahun 2000. Jadi, ini ada sesuatu yang sebetulnya luar biasa kepentingannya bagi Singapura.
  • Indonesia mengikuti tafsir Singapura. Kedua negara bersepakat bahwa FIR is not about sovereignty. Padahal, itu tafsir yang nyeleneh. Alasannya, dulu ketika memperjuangkn negara kepulauan harus diajak bicara negara tetangga, salah 1-nya Singapura.
  • Jadi, Singapura menyetujui asal hak yang termasuk legitimate activities, tapi legitimate activities yang terkait dengan masalah perikanan, bukan militer. Pertanyaan saya, kenapa Indonesia ikut tafsiran Singapura?
  • Saya berikan beberapa catatan untuk perjanjian. Saya baru tahu ternyata yg tahun 2007 itu di reinkarnasi yang sudah ditolak oleh DPR. Jadi kalau DPR sekarang menyetujui apa bedanya DPR yang sekarang dengan 2007.
  • Ada 2 alasan kenapa menolak. Satu, ini bertentangan dgn kedaulatan. Kedua, masalah pertahanan dan keamanan. Mudah-mudahan DPR yang sekarang masih memiliki semangat yang sama dengan yang 2007.
  • Military training area of 1995, dibatalkan tahun 2003. Singapura melampaui wilayah yang sudah ditentukan dan mengajak negara lain untuk melakukan latihan di wilayah tersebut
  • Catatan tahun 2018 ada 2 negara yang paling banyak melakukan pelanggaran udara kita. Amerika 56 kali dan Singapura 52 kali.
  • Defense Cooperation Agreement (DCA) tahun 2007 ditolak oleh DPR dengan alasan kedaulatan dan pertahanan keamanan.
  • Konsideran di dalam DCA :
    • Keterbatasan geografis Singapura untuk daerah latihan,
    • Konvensi hukum laut 1982: Pasal 51. Singapura menampilkan pasal “legitimate activities” termasuk di dalamnya latihan militer.
  • Saya juga merujuk pasal 2 F lingkup kerjasama. Adakah wilayah Singapura yang Indonesia bisa melakukan latihan di situ? Tidak ada.
  • Berikutnya, mengijinkan angkatan udara Singapura melaksanakan tes kelayakan terbang, pengecekan teknis dan latihan terbang di wilayah udara Indonesia.
  • Mengijinkan angkatan udara singapura melaksanakan latihan dan pelatihan militer di wilayah udara Indonesia.
  • Kemudian apabila kita dalam hubungan bertetangga maka saran saya adalah tdk dlm bentuk perjanjian yang paten seperti ini tapi diberikan secara ad hoc. Jadi rekomendasi dari saya mohon dipertimbangkan krn scr hukum ini adalah bertentangan.
  • Kemudian untuk kepentingan national interest sebagaimana yang menjadi asas di dalam pembuatan perjanjian internasional juga kurang terakomodasi kepentingannya.
  • Dan dalam rangka hubungan baik dengan Singapura khususnya keterbatasan geografis yang dimiliki oleh Singapura maka Indonesia tidak membuat perjanjian yang permanen seperti ini tapi memberikan secara ad hoc saja.

Universitas Indonesia:

  • Kalau kita lihat permasalahannya itu sebetulnya karena ada dua hal. Pertama, interpretasi pasal 51 dari UNCLOS. Itu masalahnya. Karena Singapura akan menuntut haknya itu dengan segala interpretasinya.
  • Ketika kita bicara soal interpretasi hukum, kalau pasal 51 dibongkar jika kita menolak kita harus juga siap-siap UNCLOS kita dipersoalkan.
  • UNCLOS itu menguntungkan Indonesia karena wilayah laut Indonesia banyak ditambah wilayah teritorialnya tengah dan sebagainya. Jadi kalau pasal 51 ini kita bongkar Indonesia akan dituduh melanggar UNCLOS.
  • Pasal 51 memang yang punya pandangan yang berbeda dengan Singapura tapi salah satu kalimat di bawahnya adalah mensyaratkan diatur secara bilateral dengan negara-negara yang bersangkutan itu masalahnya.
  • Jadi harus ada pengaturan lebih lanjut tentang apa sih yang disebut sebagai other legitimate activities dan sebagainya Itu diserahkan kepada negara yang bersangkutan. Itu yang jadi persoalan.
  • Kedua, soal national interest. Secara formal tidak ada kalimat mengatakan bahwa ini harus di paketkan dengan ekstrakdisi. Tapi kalau kita memahami di dalam national interest akan kelihatan kita menginginkan DCA karena kita mau reallignment.

Centre for Strategic and International Studies (CSIS):

  • Kalau kita membahas mengenai kerjasama keamanan. Pada dasarnya setiap kesepakatan bilateral itu pasti memiliki trade off atau pertukaran manfaat. Jadi secara ideal kesepakatan bilateral itu harus memenuhi prinsip2 saling menguntungkan.
  • Sejak tahun 2007 banyak perkembangan baik dari segi dinamika di kawasan maupun dari kepentingan Indonesia dan Singapura. menurut pandangan kami diskusi lebih lanjut mengenai DCA ini memang juga harus mengaitkan dengan berbagai perkembangan yang terjadi tadi baik dari segi dinamika di kawasan maupun dari kepentingan-kepentingan Indonesia.
  • Sejauh mana kepentingan Indonesia terefleksikan dalam DCA RI dengan Singapura?
  • Beberapa kepentingan Indonesia yang relevan :
    • Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga kedaulatan teritorialnya dari ancaman internal maupun eksternal yang bisa memecah keutuhan nasional
    • Indonesia memiliki kepentingan untuk memiliki negara tetangga yang stabil dan jug aman, dan untuk itu Indonesia juga perlu untuk memproyeksikan cutra sebagai negara yang dapat dipercaya dan membangun reputasi kepimpinan regioanl yang siap diajak kerja sama.
    • Indonesia juga berkepentingan untuk meningkatkan kapasitas pertahanan negara. Semua proses pembangunan kapasitas pertahanan ini perlu dilakukan dan bahkan dipercepat mengingat konteks kompetisi geopolitik yang semakin intens.
    • Ada ancaman nyata dari tren militerisasi pulau-pulau artifisila di wilayah yang disenketakan hingga tren pengiriman armada kapal perang, penjaga pantai, milisi-milisi/nelayan ilegal ke sekitar, atau bahkan melewati wilayah teritorial Indonesia.
  • DCA RI - Singapura 2007
    • DCA RI-Singapura memiliki beberapa ketentuan yang sebelumnya tidak ada di dalam Perjanjian MTA 1995 guna mengamankan (selfguard) kepentingan RI yang masih belum diatur
    • Menggarisbawahi tumbuhnya kepercayaan strategis antara dua negara bertetangga dengan kondisi geografis dan kepentingan kebijakan luar negeri yang berbeda
    • Memenuhi prinsip prinsip saling menguntungkan
  • Kekhawatiran atau Potensi Kerugian :
    • Terkait “penyerahan izin” bagi SIngapura untuk melakukan aktivitas militer yang dilakukan oleh aset Angkatan Udara dan Laut Singapura, di wilayah Indonesia
    • Terkait potensi ancaman keterbukaan yang akan Indonesia bukan bagi ancaman infiltrasi Singapura.
    • Tiga hal untuk merespons kekhawatiran tersebut :
      • Kelangsungan DCA didasari oleh act of good will dari Indonesia yang mengizinkan negara lain menggunakan wilayah Indonesia untuk latihan militer.
      • Indonesia maupun Singapura tidak memiliki kalim wilayah kedaulatan kepada satu sama lain dan tidak ada analisis kredibel akan probabilitas Singapura untuk menaneksasi wilayah Indonesia.
      • Perjanjian ini dapat ditinjau kembali sekirana dalam prakteknya justru meingkatkan rasa keterancancaman Indonesia

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan