Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan terhadap RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik - RDPU Komisi 1 dengan AFTECH, Amnesty Internasional, SAFEnet, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Tanggal Rapat: 27 Mar 2023, Ditulis Tanggal: 17 Apr 2023,
Komisi/AKD: Komisi 1 , Mitra Kerja: Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Pada 27 Maret 2023, Komisi 1 DPR-RI melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan AFTECH, Amnesty Internasional, SAFEnet, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tentang masukan terhadap RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Rapat dipimpin dan dibuka oleh Abdul Kharis dari Fraksi PKS dapil Jawa Tengah 5 pada pukul 14.00 WIB. (Ilustrasi: Halolawyer)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

AFTECH
  • Tanggapan AFTECH tentang rancangan perubahan kedua UU ITE ini, dimana AFTECH melihat dari perspektif ekonomi digital transaksi keuangan dalam dunia elektronik.
  • Mengenai pasal-pasal yang memang diajukan Pemerintah, pada dasarnya AFTECH amat sangat mendukung revisi tersebut karena menurut kami revisi ini membuat intensi dari pembuat UU lebih jelas sehingga lebih tidak multitafsir dalam penerapan hukumnya nanti.
  • AFTECH dari industri juga sepakat bahwa perubahan UU ini lebih fair bagi konsumen AFTECH, dimana kalau memang mereka tidak menerima layanan yang sepatutnya, misalnya penyelenggara jasa keuangan ini ada yang tidak memberikan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, jangan lantas mereka ini mengemukakan fakta di dunia digital. Kalau memang itu bukan hal yang tidak benar, bukan fitnah, memang seharusnya tidak menjadi ancaman kriminalisasi bagi nasabah yang memang mengeluhkan layanan penyelenggara jasa keuangan sehingga berbagai detail yang diusulkan Pemerintah, menurut AFTECH sudah cukup baik.
  • AFTECH ada masukan terkait beberapa pasal yang juga sebenarnya sangat urgen untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital kita untuk lebih cepat, lebih sehat dan lebih aman.
  • Pasal 5 ayat 4 UU ITE saat ini amat sangat menghambat AFTECH sebagai penyelenggara teknologi finansial. Contoh, AFTECH sudah buat journey pelanggan end to end digital mulai dari pendaftarannya, tetapi ketika penandatanganan angkat kredit apalagi kredit korporasi harus notaris dan tetap harus fisik, journey digitalnya putus padahal AFTECH perusahaan teknologi keuangan. Kalau Pasal 5 ayat 4 ini dihapus, memang masih ada PR yaitu revisi UU Jabatan Notaris tetapi kalau tidak diawali dari sini maka revisi lisan juga akan mentok karena UU ITE-nya sendiri mengecualikan. Jadi AFTECH amat sangat memberikan saran agar mempertimbangkan untuk menghapus pasal 5 ayat 4.
  • Ternyata perkembangan zaman memperlihatkan bahwa tanda tangan elektronik yang menggunakan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik yang berizin dari Kominfo sampai hari ini hanya ada 0 kasus penyangkalan dari tahun 2008 hingga tahun 2023, tidak ada satupun tanda tangan elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara yang berizin dari Kominfo berhasil di sangkal di pengadilan.
  • AFTECH sudah berkonsultasi juga dengan Ikatan Notaris Indonesia, mereka juga sangat mengharapkan ini sebenarnya terutama during pandemi.
  • Mengenai penguatan keabsahan dan kepastian hukum transaksi elektronik, sebelum di dunia elektronik, alat bukti terjadinya suatu transaksi atau suatu perbuatan hukum adalah tanda tangan di kertas. Namun, fungsi tanda tangan lainnya adalah memastikan segala perubahan pada isi dokumen setelah ditandatangani para pihak, kalau ada perubahan dapat diketahui.
  • Di era transaksi elektronik, alat buktinya tidak lagi netral seperti kertas yang para pihak pegang masing-masing satu rangkap.
  • Permasalahan saat ini adalah semua persetujuan transaksi ada di aplikasi penyelenggara sistem elektronik. Aplikasi penyelenggara sistem elektronik tentunya dikuasai oleh penyelenggara sistem elektronik tersebut sehingga tidak lagi netral seperti kertas.
  • Sebenarnya solusinya ada di UU ITE sendiri dimana syarat sahnya tanda tangan elektronik itu diatur di pasal 11 ayat 1. Intinya sama seperti tanda tangan di kertas: (1) Harus bisa memastikan penandatangan tidak dapat menyangkal kemudian hari bahwa ia telah menyetujui dokumen tersebut; (2) Memastikan segala perubahan pada isi dokumen setelah ditandatangani para pihak dapat diketahui. Hal ini masih cukup banyak multitafsir di lapangan, penyelenggara kadang berdalih, perlu dikaji.







Amnesty Internasional Indonesia
  • Amnesty Internasional Indonesia adalah bagian dari Anggota Koalisi Masyarakat Sipil Serius Revisi UU ITE.
  • UU ITE telah diubah pada 2016, namun masih banyak pasal yang mencederai pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan HAM. Penegakannya pun berdampak pada berbagai kalangan: Ibu rumah tangga, media, hingga pejabat publik.
  • UU ITE masih membuka ruang diskriminatif dan melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia dunia Maya. Hal ini ditegaskan oleh masih banyaknya kriminalisasi menggunakan UU tersebut.
  • Data LBH Apik tahun 2010-2021, ada 141 perempuan yang menjadi korban kriminalisasi. Data SAFEnet tahun 2016-2022, ada 414 pemidanaan ekspresi warganet.
  • Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam revisi kedua UU ITE:
    • Pembahasan UU ITE harus berperspektif HAM
    • Pasal-pasal bermasalah perlu dihapus
    • Revisi UU ITE perlu dilakukan lintas komisi




SAFEnet
  • Selama 10 tahun terakhir, SAFEnet secara konsisten mengadvokasi bagi korban pelanggaran hak digital diantaranya mendampingi ratusan warga dengan latar belakang berbeda-beda yang telah dipidana melanggar UU ITE.
  • Kasus Baiq Nuril (2019) dan Saiful Mahdi (2021) adalah 2 orang yang diberikan amnesti oleh Presiden Jokowi. Pemberian amnesti adalah bentuk kepentingan negara sekaligus pengakuan Presiden dan DPR-RI bahwa ada persoalan ketidakadilan dalam UU ITE.
  • Sebagai teknologi media yang baru, internet berbeda dengan broadcasting karena terdiri dari lapisan yang saling terkait satu sama lain dan tersusun secara horizontal.
  • Fintech ada di lapisan aplikasi. Internet tidak satu entitas seperti radio, internet berlapis dan setiap lapis berbeda yang menyelenggarakan. Antara satu lapis dengan lapis lainnya tidak bisa saling meniadakan.
  • Dalam pengaturan internet, Solum & Chung mengatakan bahwa internet bisa beroperasi kalau hukum menghormati integritas arsitektur internet yang berlapis-lapis itu.
  • Kalau ada suatu upaya membuat aturan hukum dalam konten dan dalam aturan hukum tersebut membolehkan pemutusan akses, maka itu akan membuat integritas arsitektur internetnya berantakan.
  • Konsekuensi secara global, pengaturan internet dikenal dengan 4 hukum:
    • Hukum telekomunikasi untuk lapisan fisik
    • Hukum komputer untuk lapisan logika
    • Hukum transaksi elektronik untuk lapisan aplikasi
    • Hukum informasi untuk lapisan konten
  • PBB telah menaruh perhatian pada perkembangan internet. Cerminan atas perhatian PBB bisa dilihat dalam isi Komentar Umum No.34 Komisi HAM PBB menyebutkan hak-hak yang diakui di ranah offline, berlaku juga di ranah online, demikian juga pembatasannya.
  • Resolusi ini mengikat para lebih dari 165 negara yang meratifikasi ICCPR. Pada tahun 2012, Resolusi Dewan HAM PBB menyerukan kepada semua negara untuk memajukan dan memfasilitasi akses ke internet.
  • Indonesia sudah terlanjur punya regulasi intenet tahun 2008 yang dinamakan dengan undang-undang ITE. Maka kita sadar betul bahwa undang-undang ITE itu merespons situasi yang terjadi pada tahun 2008 dan sekitarnya.
  • Jumlah pengguna internet sudah sangat-sangat menunjuk jauh hampir mendekati total jumlah warga negara Indonesia. Jumlahnya 204 juta pengguna dari 277 juta warga dengan tingkat penetrasi rata-rata ya di atas 70% merata dari barat sampai timur.
  • Pengguna media sosial kita sudah mencapai angka 191 juta pengguna dengan ragam aplikasi populer yang mereka gunakan. Paling populer YouTube dengan 139 juta pengguna disusul dengan Instagram, Facebook, TikTok, Twitter dan lain-lain. Artinya, terhadap perubahan 2 itu kita juga perlu melihat apakah undang-undang ITE bisa mengibangi perubahan teknologi. Perubahan-perubahan lain juga kita juga baru tahu belakangan bahwa teknologi internet itu sekarang bisa dibatasi penyebarannya.













Aliansi Jurnalis Independen
  • Kebebasan pers di Indonesia dilindungi secara khusus melalui UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Salah satu bagian yang diatur dalam UU ini adalah mekanisme sengketa pemberitaan melalui hak jawab, hak tolak, dan pengaduan ke Dewan Pers. Namun terbitnya UU ITE pada tahun 2018 yang direvisi pada 2016 yang memuat sejumlah pasal yang menjadi hambatan bagi kebebasan pers tersebut.
  • Hambatan terjadi karena sejumlah pasal memuat rumusan yang longgar sehingga dapat menjerat ruang lingkup karya jurnalistik dan implementasi pada penegakan hukum yang tidak memahami UU Pers dan mekanisme sengketa pemberitaan.
  • Pasal-pasal yang menjadi hambatan bagi kebebasan pers:
    • Pasal 27 ayat 3, setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal untuk diketahui umum dalam bentuk ITE yang dilakukan melalui sistem elektronik.
    • Pasal 45 ayat 4, Ketentuan pidana Pasal 27 ayat 3 dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan atau denda paling banyak 400 juta.
  • Pasal ini banyak digunakan sebagai instrumen balas dendam atau membungkam jurnalis dan narasumber, bukan hanya yang terkait pada karya jurnalistik maupun jika karya jurnalistik tersebut diedarkan melalui media sosial.
  • Pasal ini menghalangi ekspresi yang sah yang dikeluarkan atas kepentingan umum karena tidak mengenal pengecualian serta membatasi hak untuk berekspresi dan berpendapat.
  • Rekomendasi; (1) Mendorong DPR-RI membahas Revisi Kedua UU ITE tidak hanya melalui Komisi 1 DPR-RI tetapi dengan melibatkan banyak sektor, seperti komisi hukum, komisi yang membahas isu perempuan, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, konsumen, dan isu HAM lainnya. Hal ini penting agar Revisi Kedua UU ITE bisa mengakomodasi lebih banyak kepentingan, dan (2) Membuka ruang pembahasan yang bermakna dan partisipatif agar publik ikut terlibat dalam proses pembahasan Revisi Kedua UU ITE.

Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
  • Memang hari ini tidak di dalam undangan tetapi sangat mengharapkan agar bapak-bapak Pimpinan dan anggota dapat mendengarkan suara-suara kami bagaimana rasanya ditahan karena tidak bersalah.
  • Bagaimana rasanya menghadapi traumatis karena di penjara. Hanya karena mengungkap fakta, curhat dan lain sebagainya, termasuk rasanya 100 hari ditahan walaupun divonis bebas.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan