Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan terhadap RUU tentang Pengesahan International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (PAPED) - RDPU Komisi 1 dengan Pakar, Amnesti Internasional, dan Kontras

Tanggal Rapat: 14 Sep 2022, Ditulis Tanggal: 7 Oct 2022,
Komisi/AKD: Komisi 1 , Mitra Kerja: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)

Pada 14 September 2022, Komisi 1 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar, Amnesti Internasional, dan Kontras tentang masukan terhadap RUU tentang Pengesahan International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance (PAPED). Rapat dipimpin dan dibuka oleh Utut Adianto dari Fraksi PDIP dapil Jawa Tengah 7 pada pukul 10.11 WIB. (Ilustrasi: Industry.co.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Marzuki Darmawan, Pakar
  • Marzuki Darmawan menyambut baik prakarsa DPR-RI dan Pemerintah untuk meratifikasi konvensi ini. Konvensi terakhir yang diratifikasi oleh Pemerintah dan diantara 9 konvensi inti PBB.
  • Suatu gambaran yang menunjukkan kehati-hatian Indonesia untuk menyelaraskan sistem hukum kita dengan sistem hukum internasional.
  • Kesembilan konvensi ini merupakan inti dari hukum HAM internasional dan karena itu menjadi bagian dari hukum internasional itu sendiri. Walaupun dari ke-9 masih ada 7 opsional protokol yang masih harus dipertimbangkan untuk diratifikasi.
  • Pada masa ini, konvensi inti PBB dalam HAM juga termasuk perjanjian Roma yang berkaitan dengan peradilan pidana internasional yang sudah lama dipertimbangkan oleh Indonesia untuk diratifikasi. Namun, ini perlu dikemukakan bahwa mahkota dari konvensi-konvensi internasional adalah Perjanjian Roma ini yang membentuk peradilan pidana internasional di Den Haag.
  • RUU yang disiapkan untuk diratifikasi sudah cukup baik secara umum. Tentu ada catatan yang ingin kami titipkan untuk dipertimbangkan. Terutama yang berkaitan dengan Penjelasan dan terjemahan RUU ini dari bahasa Inggris.
  • Hal ini bisa menjadi diskusi kita. Mengenai definisi dari Penghilangan Paksa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia khususnya yang Pasal 2.
  • Menurut konvensi ini, istilah penghilangan paksa adalah penangkapan, dan seterusnya, oleh orang atau kelompok orang yang bertindak dengan kewenangan, dukungan, atau persetujuan dari negara.
  • Dalam bahasa aslinya, Persetujuan di Pasal 2 dari konvensi ini adalah Acquiescence, yang pengertian esensialnya adalah menerima secara pasif. Jadi, bukan persetujuan.
  • Hal ini mengandung risiko pengertian yang keliru bilamana negara yang diwajibkan menelusuri dan menegakkan akuntabilitas mengalami kesulitan apabila harus membuktikan adanya persetujuan negara yang dalam praktiknya penyelidikan HAM selalu menjadi tantangan utama untuk menemukan jejak keterlibatan negara.
  • Pengertian aslinya rupanya mempertimbangkan itu dan menggunakan kata yang jika diterjemahkan bukan persetujuan, melainkan kesetujuan. Jadi, penerimaan pasif tidak dalam persetujuan tertulis ataupun lisan tapi dapat disimpulkan bahwa negara memperbolehkan itu terjadi. Ini cukup berbeda dengan pengertian pembiaran atau neglect.
  • Berkaitan dengan Penjelasan RUU ini, khususnya pada bagian Ruang Lingkup konvensi. Dimanakah di dalam konvensi ini dikatakan bahwa konvensi ini menerapkan prinsip tidak berlaku surut atau retroaktif.
  • UU 24/2000 menetapkan bahwa penghilangan paksa adalah pidana berkelanjutan yang tidak memiliki kekadaluarsaan sehingga pengertian retroaktif ini adalah berlebihan.
  • Dihubungkan dengan Pasal 35 dari konvensi ini dikatakan bahwa konvensi ini hanya menangani kasus-kasus penghilangan paksa setelah berlakunya konvensi ini yaitu pada tahun 2006.
  • Pengertian menangani kasus-kasus setelah terbentuk konvensi ini berkaitan dengan hubungan antara para pihak dalam konvensi ini dengan komite yang dibentuk oleh PBB untuk melakukan monitoring atau pemantauan dari kasus-kasus penghilangan paksa.

Prof. Bivitri Susanti, Pakar
  • Mulai dengan memberikan sebuah konteks singkat legislasi yang tentu saja para Anggota maupun Pimpinan sudah sangat mengetahuinya.
  • Bivitri hanya ingin menunjukkan soal waktu yang sudah cukup lama sejak pertama kali ditandatangani pada tahun 2010 dan kemudian yang ingin ditunjukkan juga soal bagaimana pada tahun 2013 sebenarnya pernah dibahas, sehingga sekarang barangkali tinggal persoalan komitmen politiknya, kalau substansinya sudah sesuai dengan konteks legislasi yang didalami. Yang namanya sebuah ratifikasi ataupun sebuah konvensi internasional yang sudah ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri tentu saja sudah ada pendalaman substansi, sehingga tinggal rapi-rapinya saja untuk kemudian disetujui.
  • Apalagi kita memasuki dalam konteks RUU kumulatif terbuka di DPR-RI. Jadi, besar harapan kami Pimpinan dan semua Anggota Komisi 1 agar konvensi ini segera dapat disetujui sejak tahun 2010.
  • Bivitri ingin memberikan konteks luar negeri terlebih dahulu, baru kemudian nanti konteks dalam negeri. Yang ingin ditekankan adalah arti penting konvensi ini. Jadi, mohon izin untuk mengingatkan soal apa yang menjadi komitmen kita tentu saja Komisi 1 sangat paham terkait dengan Pembukaan UUD 1945 tentang ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
  • Ketika nanti konvensi ini sudah disetujui dan diratifikasi lalu diundangkan, maka konvensi ini akan memperkuat inisiatif yang sebenarnya telah dilakukan oleh Indonesia di tingkat regional maupun internasional.
  • Utamanya kaitannya yang dimaksud di sini adalah dengan adanya Konvensi Hak Anak kemudian juga ada Reunifikasi Keluarga-keluarga yang Terpisah dalam konteks Komisi Kebenaran dan Persahabatan Republik Indonesia dengan Timor Leste.
  • Jadi, sebenarnya di lapangan sudah berlangsung dengan adanya konvensi ini nantinya legitimasi untuk kegiatan-kegiatan semacam ini akan semakin kuat dan dengan itu maka peran Indonesia, baik dalam konteks ASEAN, Asia Pasifik, maupun dunia akan lebih kuat lagi, karena konvensi ini nantinya juga akan menempatkan Indonesia dalam percaturan hubungan-hubungan timbal balik dan akan membantu untuk hal-hal yang selama ini sudah dilakukan.
  • Bivitri menebalkan apa yang tadi sudah disampaikan oleh Pak Marzuki Darusman. Ibaratnya apabila konvensi ini nanti sudah diundangkan, maka genaplah sudah kontribusi Indonesia untuk ikut menyumbang pada peradaban dunia.
  • Jadi, tinggal satu saja yang belum, yaitu konvensi ini dan sebenarnya dari tahun 2010 sudah ditandatangani, tinggal diratifikasi saja.
  • Bivitri meminta izin turun lebih jauh ke yang lebih turunannya dalam UUD 1945 dalam konteks Hak Asasi Manusia terutama Pasal 28g dan 28i yang tak perlu dibacakan lagi, tapi kita semua paham betul.
  • Yang menarik juga adalah dalam UU HAM Pasal 33 sebenarnya sudah ada, walaupun masih sumir. Masih sumir dalam arti masih asasnya saja. Asasnya tentang penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
  • Di bagian Penjelasan baru dijelaskan lagi definisi dari penghilangan paksa ini.
  • KUHP tidak mengatur pemidanaan tentang penghilang orang secara paksa, meskipun ada UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM tetapi UU ini tidak mengkriminalisasi secara khusus.
  • Dalam konteks pemidanaan, apabila kita hanya menggunakan KUHP yang sekarang berlaku maupun kita harus cek di R-KUHP nanti, tapi intinya adalah hukum pidana biasa masih belum cukup karena penghilangan paksa ini, dimensi tindak pidananya sangat luas, bisa penculikan, perampokan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pembunuhan dan sebagainya. Sehingga nanti dalam menempatkan unsur-unsur, apabila hanya mengacu KUHP, nantinya akan sangat kurang.
  • Terkait perlindungan korban, kita memang sudah punya LPSK dan skema-skema yang semakin baik setelah UU TPKS, namun Defenisi korban yang selama ini ada masih kabur dalam konteks penghilangan paksa karena keluarga mereka yang hilang karena penghilangan paksa masih belum terlalu clear untuk ditempatkan sebagai korban sehingga kesulitan untuk mengakses hak-hak korban pada umumnya yang sebenarnya sudah diatur dengan baik dlm sistem hukum kita.
  • Dari 8 poin komitmen negara apabila UU ini sudah diratifikasi adalah bahwa kesemua poin tersebut merupakan konsekuensi standar dan bisa dilaksanakan dalam sistem hukum Indonesia sehingga tidak perlu upaya istimewa dan tidak ada cost (termasuk biaya hukum dan politik) tambahan.
  • Bivitri bisa memahami ada konteks deklarasi yang sudah dituangkan dalam draft ratifikasi yang ada, jadi dengan itu sesungguhnya kita sudah tidak punya alasan hukum untuk tidak meratifikasi konvensi ini dan Komisi 1 akan menjadi pemantauan pelaksanaan UU ini.

Usman Hamid, Amnesti Internasional
  • Dari 9 instrumen HAM internasional, hanya Konvensi-Anti Penghilangan Paksa yang belum diratifikasi oleh Indonesia.
  • Terkait peristiwa mutilasi warga sipil di Timika, peristiwa ini bermula dari perampasan kemerdekaan dan penyangkalan nasib dan keberadaan jasad korban yang kalau kita menggunakan kontruksi penghilangan secara paksa maka peristiwa itu sebenarnya bermula dari bentuk penghilangan orang secara paksa.
  • Di dalam banyak pengalaman negara-negara di dunia, penghilangan paksa memang banyak berakhir dengan kematian, artinya dalam banyak kasus akhirnya terungkap bahwa korban dibunuh daripada ditahan.
  • Yang membedakan penghilangan paksa dan penculikan adalah bahwa keluarga tidak diberikan informasi sama sekali tentang keberadaan dan nasib dari anggota keluarga yang diculik.
  • Penting untuk memastikan di dalam sistem hukum nasional, di dalam jurisdiksi hukum nasional, perkara ini tidak berakhir tanpa penghukuman.
  • Di banyak negara, contohnya di Siria, hari-hari ini banyak sekali laporan-laporan yang berkembang bahwa penghilangan orang secara paksa ini bukan hanya terjadi dan dilakukan oleh aktor negara tapi juga aktor-aktor non-negara.
  • Jika kembali ke Indonesia dalam konflik bersenjata di Papua, tidak sedikit tindakan kekerasan atau bahkan penghilangan paksa dilakukan oleh aktor non-negara, karena itu penting memastikan Indonesia mendukung konvensi ini.
  • Komite Penghilangan Orang Secara Paksa saat ini sedang mengusulkan perluasan mandat untuk memasukkan penghilangan orang secara paksa bukan hanya dilakukan oleh aktor negara tapi juga aktor-aktor non-negara.
  • Ada 3 kondisi yang aktor-aktor non-negara bisa terjerat dengan konvensi ini, satu dari tiga kondisi terpenuhi saja maka bisa masuk dalam kategori itu.
  • Penghilangan dilakukan oleh organisasi politik dan ada hubungan dengan serangan meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil dalam arti definisi kejahatan kemanusiaan dalam hukum pidana internasional;
  • Jika penghilangan itu dilakukan oleh kelompok bersenjata terorganisir dan ada hubungan dengan konflik bersenjata non-internasional dalam pengertian hukum humanitarian internasional;
  • Penghilangan itu dilakukan oleh aktor non-negara yang menjalankan kontrol efektif dan atau fungsi seperti pemerintah atas suatu wilayah.
  • DPR pada tahun 2009 pernah merekomendasikan 4 hal penting kepada pemerintah Indonesia:
    • Meratifikasi konvensi
    • Memastikan keluarga korban mengetahui nasib dan kejelasan keberadaan dimana anak-anak yang hilang
    • Memberikan reparasi
    • Mendorong pertanggungjawaban hukum para pelaku yang bertanggung jawab termasuk dengan pertanggungjawaban komando kepada mereka yang bertanggung jawab.
  • Konvensi ini membentuk Komite Penghilangan Paksa yang memulai kerja mereka pada November 2011 dan sebelumnya satu-satunya mekanisme khusus yang secara spesifik menangani penghilangan paksa hanyalah sebuah kelompok kerja di PBB. Sekarang, dengan adanya konvensi ini, ada komite yang akan menangani konvensi ini dan komite yang ditunjuk oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, memiliki kesempatan untuk mengajukan warga negara terbaiknya untuk duduk di komite konvensi dari penghilangan orang secara paksa ini.
  • Indonesia diharapkan mengadopsi jurisdiksi universal, jadi kalau ada penghilangan paksa di Myanmar atau negara Asean lainnya, konvensi ini sebenarnya mendorong dibukanya jurisdiksi universal dimana pengadilan nasional Indonesia dapat mengadili kejahatan terlepas lokusnya dimana, terlepas kewarganegaraan pelakunya darimana, dan terlepas dari korbannya berasal dari kewarganegaraan apa. Saat ini sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi, mudah-mudahan melalui ratifikasi ini Mahkamah Konstitusi lebih terdorong untuk membuka jurisdiksi universal yang diakui di dalam konvensi ini.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS)
  • Kenapa penting bagi pemerintah Indonesia sebetulnya untuk segera meratifikasi Konvensi ini yang di mana sebetulnya KontraS bersama dengan keluarga korban maupun dengan beberapa lembaga lainnya sudah melakukan beberapa kali jejak pendapat dan juga audiensi dengan kementerian-kementerian terkait dan juga beberapa fraksi di DPR di mana sebetulnya ini kami anggap penting karena kalau misalkan ini segera diratifikasi oleh pemerintah Indonesia negara kita bisa jadi negara kedua di Asean yang pada akhirnya meratifikasi ini dan akhirnya kita Tuntas di 10 Konvensi yang ada.
  • Pertama, terkait soal definisi penghilangan paksa. Kenapa penting sebetulnya penghilangan paksa ini pada akhirnya diadopsi ke dalam undang- undang nasional karena ada beberapa rekam jejak yang sebetulnya agar tidak diulang lagi di kemudian hari untuk jaminan tidak berulangan.
  • Walaupun kita sudah lepas dari masa reformasi memang ternyata masih ada beberapa temuan di mana salah satunya adalah kasus Ruth Sitepu yang terjadi di Malaysia yang sampai sekarang belum ditemukan.
  • Kontras bersama dengan Kemenlu dan juga bersama dengan beberapa lembaga lainnya seperti Komnas HAM itu sudah mengikuti beberapa kali public inquiry yang diadakan oleh Komnas HAM Malaysia di mana itu untuk mencari keberadaan proses Ruth Sitepu.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan