Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan Substansi Kebudayaan terhadap Draft Rancangan Undang Undang (RUU) Kepariwisataan — Panitia Kerja (Panja) RUU Kepariwisataan Komisi 10 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, dan Pakar 

Tanggal Rapat: 13 Mar 2024, Ditulis Tanggal: 26 Jul 2024,
Komisi/AKD: Komisi 10 , Mitra Kerja: Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudrisrek, dan Pakar

Pada 13 Maret 2024, Panitia Kerja (Panja) RUU Kepariwisataan Komisi 10 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDP) dengan Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, dan Pakar mengenai Masukan Substansi Kebudayaan terhadap Draft Rancangan Undang Undang (RUU) Kepariwisataan. RDP dibuka oleh Agustina W. dari Fraksi PDI-Perjuangan dapil Jawa Tengah 4 pada pukul 15.20 WIB.

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudrisrek, dan Pakar

Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudrisrek:

  • Jadi keragaman budaya, keragaman budaya dan alam kita ini sebetulnya aset yang luar biasa penting ya bagi Indonesia gitu. Indonesia ini sebetulnya negeri dengan keanekaragaman budaya dan alam, kalau digabung jadi biocultural diversity yang paling tinggi di dunia, kalau lihat global index of biocultural diversity yang terbit 2005, sayangnya seringkali kekayaan ini belum dilihat sebagai aset yang bisa dikembangkan tapi justru dilihat sebagai beban. Ambil contoh, banyak sekali bangunan cagar budaya situs itu dianggap sebagai beban di mana uang keluar ya. Belum dilihat sebagai aset yang sebenarnya bisa digunakan atau dikembangkan untuk mengembangkan ekonomi yang berbasis pada kekayaan budaya dan alam ini termasuk pariwisata.
  • Problem lain yang juga tidak kalah serius tingkat kerusakan yang terjadi terhadap alam dan juga warisan budaya kita ini, lebih cepat dari kemampuan kita untuk mengembangkannya ya. Jadi seringkali aset-aset yang luar biasa, ambil contoh hutan mangrove misalnya gitu ya sangat luar biasa, yield yang bisa disumbangkan, dikontribusikan terhadap perekonomian luar biasa, tapi tingkat kerusakan yang terjadi jauh lebih cepat daripada kemampuan kita, keinginan kita untuk mengembangkan. Nah itu problem yang saya kira kalau diangkat ya di dalam RUU Kepariwisataan itu akan sangat-sangat membantu.
  • Saya berikan referensinya ya di tahun 2005 gitu kalau lihat itu Indonesia ada di urutan teratas untuk biocultural diversity. Ini yang harusnya juga betul-betul kita pahami gitu, bahwa Indonesia untuk pariwisata berbasis alam dan budaya ini sebetulnya tidak terkalahkan, tidak terkalahkan, kalau diurus benar ya itu syaratnya ya. Jadi bukan hanya karena dia ada di luar sana gitu tapi memang betul-betul kita mesti punya frame dan kita harap sekali ya RUU Kepariwisataan nanti bisa mengarah ke sini.

Asvi Warman Adam, Ahli Sejarah:

  • Saya sendiri sebagai sejarahwan kontemporer memang tidak secara khusus memperhatikan aspek pariwisata ini sejak Indonesia merdeka, namun dalam kesempatan yang singkat ini yang terpikirkan ataupun yang terlihat oleh saya ada beberapa aspek, bahwa sejak era reformasi itu terjadi perubahan, perubahan pada Kementerian yang mengurus pariwisata ini.
  • Kementerian Pariwisata ini bergabung dengan atau bernama kebudayaan kepariwisataan dan kesenian, kadang-kadang juga pariwisata dan kebudayaan dan kemudian pariwisata dan ekonomi kreatif. Saya menyimpulkan itu bahwa, meskipun fokus Kementerian ini pada setiap kabinet itu tidak sama, namun pada kenyataannya urusan pariwisata ini pasti berhubungan dengan tentunya dengan perdagangan, dengan ekonomi kreatif, dengan kebudayaan, dengan kesenian, bahkan menurut saya juga dengan agama. Kalau kita berbicara tentang kebudayaan religius, apa pariwisata religious, misalnya ziarah ke makam Wali Songo ataupun yang lain-lain, itu berhubungan juga dengan-dengan agama.
  • Mungkin saya punya pemikiran yang mungkin tidak akan dimasukkan di dalam RUU tapi bisa menjadi pemikiran juga bahwa, orang Indonesia ini adalah seorang pejalan, mereka itu juga melakukan kunjungan ke dalam negeri sebagai wisatawan domestik, tapi juga ke luar negeri dan kenyataan juga bahwa banyak sekali orang Indonesia itu yang ke luar negeri itu untuk melakukan perjalanan dan sementara ini atau sampai sekarang itu masih dianggap itu domain agama, domain Kementerian Agama.
  • Kemudian yang berikutnya itu mengenai aspek sejarah. Tentu pariwisata berkaitan dengan sejarah. Museum, galeri atau situs sejarah itu menjadi objek wisata seperti yang saya tulis, seperti yang ditulis oleh Suryo Pratomo di Kompas pagi ini bahwa, di Indonesia pariwisata itu belum terkait infrastrukturnya gitu. Ya contohnya yang diberikan itu misalnya kalau ada konser besar di Jakarta International Stadium misalnya, apakah orang juga dengan senang hati ke sana karena apa? Karena masalah kemacetan untuk pergi dan-dan pulangnya dan ini berbeda dengan infrastruktur yang tidak demikian di Singapura misalnya gitu, sehingga konser Coldplay itu bisa berulang kali di sana gitu.

Achmad Sunjayadi, Ahli Sejarah:

  • Saya akan mencoba memaparkan, ini sebenarnya bagian kecil dari disertasi saya yang sudah saya lakukan kurang lebih hampir 10 tahun dan ada banyak hal. Jadi memang pariwisata bukan hal yang mudah atau dikatakan sederhana, tapi sangat kompleks dan ini saya buktikan setelah saya mencoba meneliti pariwisata pada masa Hindia-Belanda, pada masa kolonial.
  • Saya akan membagi dua periode ya, sebelum 1908 dan setelah 1908 sampai tahun 1942, ketika Jepang masuk dan ini menghentikan kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda. Nah kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda, ini dapat dikatakan itu bukan dari inisiatif pemerintah tapi dari masyarakat. Nanti saya akan tunjukkan pihak mana saja yang terlibat dalam kegiatan pariwisata di Hindia-Belanda.
  • Sebelum 1908 sebenarnya sudah ada upaya dari pemerintah Belanda, jadi bukan Hindia-Belanda, yang ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki koloni, yang memiliki koloni, yang memiliki keragaman budaya. Jadi sebenarnya negara kecil di Eropa dan mereka harus bersaing dengan negara-negara Eropa lainnya dan salah satu caranya adalah dengan menunjukkan bahwa mereka bisa menguasai wilayah yang sangat luas di Asia, yaitu di Hindia-Belanda.

Dhandy Dwi Laksono, Jurnalis:

  • Saya tidak menyiapkan presentasi khusus, saya hanya menyiapkan trailer dari film dokumenter yang saya kerjakan selama 4 tahun tentang pariwisata di Labuan Bajo yang menjadi bagian dari, untuk menj, mendapat gambaran bagaimana jalannya proyek 10 Bali baru yang dicadangkan pemerintah sejak 2015.
  • Tahun 2015 saya memulai perjalanan ekspedisi Indonesia biru berkeliling Indonesia saat itu itu baru mulai kick off-nya program 10 Bali baru ketika itu di awal pemerintahan Pak Joko Widodo. Saat itu cukup optimistis karena memulai identifikasi masalahnya dengan bagaimana kita menggeser penerimaan terbesar dari sektor ekstraktif tambang mineral, minyak bumi dan perkebunan menjadi ekonomi berbasis pariwisata, memang ketika itu trennya Turki juga sedang sedang booming dengan shifting ekonomi kepariwisataanya.
  • Jadi saya pikir ini agak mengurangi tekanan konflik-konflik agraria, penggusuran masyarakat adat segala macam yang kayaknya akan jadi kabar baik begitu ya, tapi melihat bagaimana kemudian desain ekonomi politiknya pada isu pariwisata ini, selama 4 tahun saya membuat film “Dragon For Sale”tentu dengan dengan beberapa riset yang kami kerjakan saya melihat ada pola yang sama. Jadi isu-isu permasalahan sosial ekonomi lingkungannya tetap tapi isunya hanya bergeser dari ekstraktif ke pariwisata.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan