Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) — Komisi 11 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ketua Umum Indonesian Micro Finance Expert Associations (IMFEA)

Tanggal Rapat: 5 Jul 2022, Ditulis Tanggal: 27 Jul 2022,
Komisi/AKD: Komisi 11 , Mitra Kerja: Ketua Umum Indonesian Micro Finance Expert Associations (IMFEA)

Pada 5 Juli 2022, Komisi 11 DPR-RI menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Ketua Umum Indonesian Micro Finance Expert Associations (IMFEA) mengenai Masukan/Pandangan terhadap RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh Dolfie dari Fraksi PDI-Perjuangan dapil Jawa Tengah 4 pada pukul 10:40 WIB. (ilustrasi: pojokseni.com)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Ketua Umum Indonesian Micro Finance Expert Associations (IMFEA)

  • Terkait dengan UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, sebetulnya menjadi tantangan tersendiri karena kita berharap bisa tumbuh cepat untuk bisa mengakomodir dan mengadopsi lembaga keuangan informal juga tidak berhasil. Hanya 226 LKM saja diantara 271.000 hasil penelitian Bank Dunia tahun 2014 itu tidak bisa bertransformasi menjadi LKM.
  • Di tahun 2022 inilah yang kemudian menjadi pertanyaan, apakah dari infrastruktur yang dibutuhkan tadi bisa tersedia atau tidak?
  • Jika UU Perkoperasian belum tersedia dan memadai dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur pendukung koperasi simpan pinjam, maka hal yang paling mendesak adalah kebutuhan tentang pengawasan yang memadai.
  • Kebutuhan pengawasan yang mendesak terutama bagi koperasi yang besar, kami mengutip Klasifikasi Usaha Kelompok (KUK) III dan KUK IV, yaitu kelompok usaha koperasi yang memiliki aset di atas Rp100 Miliar untuk saat ini sebaiknya dijalankan oleh lembaga yang sudah memiliki infrastruktur yang memadai, karena kami melihat di Kementerian Koperasi sebagai kementerian teknis yang menjadi penanggung jawab dalam pembinaan koperasi saat ini dari berbagai perspektif kami melihat belum cukup memadai untuk saat ini.
  • Kami secara detail ada tanggapan terkait dengan Bab 12. Sebagai contoh, di Pasal 182: kegiatan Usaha Simpan Pinjam hanya dilaksanakan oleh Koperasi Simpan Pinjam yang mendapatkan izin dari OJK. Pada prinsipnya, kami melihat tidak boleh terjadi adanya regulatory arbitrase. Tidak boleh ada sebuah pengawasan yang memiliki landasan yang berbeda, mesti harus satu pintu dan satu institusi. Untuk saat ini ketika belum ada UU Perkoperasian yang kemudian menyebutkan tentang perihal pengawasan, maka saat ini masih dibutuhkan dalam pandangan kami. Hanya yang menjadi concern kami adalah di koperasi-koperasi besar, yaitu di KUK III dan KUK IV. 
  • Di Pasal 183: Koperasi yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dengan kriteria tertentu wajib memperoleh izin usaha sebagai Kegiatan Usaha Simpan Pinjam dari OJK. Kami juga setuju dan ini bisa mengacu pada pada PermenKop yang saat ini sudah cukup bagus terkait dengan klasifikasi usaha. Jadi, tidak mengacu pada KUK I dan KUK II.
  • Secara skematis, usulan kami di dalam pengklasifikasian koperasi ini ada KUK I dan KUK II yang menjadi bagian dari pembinaan di Kementerian Koperasi sebagai salah satu lembaga yang bertanggung jawab. Namun, terkait dengan koperasi besar yang berada dalam KUK III dan IV ini menjadi concern bagi otoritas, karena secara bisnis baik secara risiko sangat berdampak.
  • Kemudian yang menjadi catatan lain di Pasal 187, di situ disebutkan untuk penguatan permodalan selain modal yang dimaksud di Pasal 186 atau pasal sebelumnya, disebutkan ada dari anggota dari koperasi lain, bank, penerbitan obligasi, dan seterusnya. Kami mengusulkan ada satu tambahan, yaitu modal penyertaan yang sebetulnya anda di PP Nomor 33 Tahun 1998, yang menjadi juga salah satu faktor pertumbuhan di tahun 90-an akhir yang membantu banyak koperasi yang kemudian menjadi besar seperti saat ini.
  • Di Pasal 188 terkait dengan Kegiatan Usaha juga perlu ada penambahan mestinya, karena kalau pada praktiknya koperasi yang saat ini berjalan tidak hanya melakukan kegiatan simpanan dan pemberian pinjaman saja, tapi ada kegiatan lain. Misalnya, menjadi agen untuk channeling dan executing dari lembaga keuangan lain. Kemudian juga melaksanakan kegiatan seperti PPOB dalam memberikan layanan sistem pembayaran. Jadi, kalau kemudian dikunci hanya pada dua ini, nanti koperasi dikhawatirkan ke depan justru tidak bisa bertumbuh dan berkembang untuk mendapatkan pendapatan yang memadai dan akan menjadi sempit serta mengecil. Padahal, semangat kita adalah mendorong adanya pertumbuhan.
  • Di Pasal 189, kami setuju terkait dengan hal ini, karena koperasi dalam melakukan kegiatan investasi atau kegiatan dalam rangka untuk mengelola dananya terbuka bisa ada penempatan di berbagai lembaga keuangan lain. Namun, tadi yang menjadi concern ketika keluarnya diberikan ruang untuk melakukan penempatan pada berbagai lembaga keuangan lain, untuk masuknya di kunci di dua sisi saja, ini tidak fair.
  • Di Pasal 190 terkait dengan pembinaan dan pengawasan koperasi yang dilakukan oleh menteri yang menjalankan urusan pemerintah di bidang koperasi dan UKM, kami juga sangat setuju, karena pembinaan dan pengawasan yang dimaksud tentunya nanti akan diatur lebih lanjut.
  • Di Pasal 191 terkait dengan penentuan skala usaha yang dikelompokkan menjadi koperasi skala menengah-besar dan koperasi skala usaha kecil. Kami kira kita bisa merujuk pada peraturan yang ada saat ini, yaitu adanya pengklasifikasikan usaha yang berbasis pada 4 kategori dan itu sudah sangat membantu baik di Kementerian Koperasi sendiri maupun koperasi sebagai entitas yang diawasi dan yang dibina. 
  • Di Pasal 192, kami tidak ada komentar.
  • Di Pasal 193, kami ada masukan yang di situ berbunyi "Pengurus dan pengawas Koperasi Simpan Pinjam skala menengah-besar wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan (fit and proper). Di dalam fit and proper ini disebutkan hanya pengurus dan pengawas, sementara pejabat eksekutif atau pengelola atau dalam bahasa lain adalah manajemen yang menjalankan di situ tidak menjadi bagian dari persyaratan ini. Padahal, mereka yang setiap hari mengambil keputusan di dalam bisnis, tanpa mereka mendapatkan pengawasan itu berisiko. Kami memberikan input sebaiknya pejabat eksekutif, yaitu pengelola yang memiliki jabatan tertinggi dalam struktur manajemen di koperasi menjadi bagian yang perlu dilakukan fit and proper juga.
  • Kami akan loncat ke Pasal 201, karena pada pasal-pasal yang lain kami anggap tidak ada komentar.
  • Di Pasal 201, dalam menjalankan usaha koperasi simpan pinjam skala menengah-besar, pengurus wajib memperhatikan aspek permodalan, ekuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas guna menjaga kesehatan usaha dan menjaga kepentingan semua pihak yang terkait. Kami memberikan masukan sebaiknya mengacu kepada CAMEL, di situ tidak menjadi bagian penting dalam aspek penilaian kesehatan di koperasi, yaitu aset quality atau yang kemudian indikatornya sering kita mendengar adanya NPL. Hal ini juga menjadi masalah yang cukup krusial di koperasi simpan pinjam, karena tidak ada pengaturan angka NPL inilah yang kemudian mereka tidak memiliki cukup kendali untuk bisa mengelola keuangan secara sehat. Ini tidak boleh dibiarkan terus. Ketika ini ada pengaturan, maka sebaiknya terkait dengan kualitas aset yang menjadi sorotan, yaitu di kualitas pinjaman mereka yang indikatornya NPL menjadi sangat penting. Tentunya manajemen menjadi bagian yang perlu dijadikan salah satu indikator dalam penilaian kesehatan. Jadi, di Pasal 201 ini sebaiknya mengacu pada hal yang memang sudah menjadi terminologi umum dalam dalam keuangan.
  • Di Pasal 202, kami tidak ada masukan dan kami lanjutkan ke pembahasan di Bab 14 Lembaga Keuangan Mikro.
  • Lembaga Keuangan MIKRO yang menjadi salah satu perkecualian yang masuk dalam UU Nomor 12 Tahun 1992 yang menjadi salah satu entitas yang bisa melakukan kegiatan penghimpunan dana, kami kira ini melengkapi dari infrastruktur sistem keuangan mikro kita di awal, yaitu ada 4 entitas penting, BPR, Koperasi, LKM dan Bumdes. Di UU Nomor 1 Tahun 2013 ini yang mestinya bisa mengakomodir berbagai lembaga keuangan informal yang memang ada di tengah-tengah masyarakat yang jumlahnya sangat banyak ternyata belum mampu mengakomodasi untuk melakukan konversi dan transformasi ke dalam LKM. Ada sebetulnya beberapa kendala, hambatan, dan tantangan yang dihadapi oleh lembaga keuangan yang yang belum memiliki izin tersebut untuk bisa bertransformasi menjadi LKM. Namun, kami melihat di dalam undang-undang ini belum menyentuh kepada bagaimana proses kemudahan dalam pendirian dan dalam kepemilikan. Dari sumber permodalan juga tidak ada perubahan. Di kegiatan usaha juga tidak memberikan ruang yang mengakomodasi adanya eksisting LKM yang saat ini ada, yaitu Bank Wakaf Mikro. Bank Wakaf Mikro ini adalah sebuah entitas yang sebetulnya belum terakomodir di dalam UU Nomor 1 Tahun 2013, karena dia bermodalkan bersumber dari dana wakaf dan infaq. Termasuk di dalamnya kegiatan usaha yang bisa menjadi channeling agent sebagai lembaga keuangan lain, yang sebetulnya masyarakat marginal di daerah remote area membutuhkan juga akses layanan keuangan lain seperti agent of insurance dan sebagainya. Aspek dalam memberikan layanan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah di remote area butuh akses keuangan yang lain dan LKM bisa menjadi salah satu entitas yang penting keagenan dalam memberikan layanan di luar simpan dan pinjam. Termasuk asuransi mikro dan seterusnya.
  • Untuk penjaminan simpanan juga belum terakomodir. Kemudian, informasi yang dimaksud di sini adalah terkait dengan keterbukaan informasi. Untuk transformasi juga tidak ada penjelasan. Disitu masih masih utuh dengan dengan kondisi yang lama, yaitu wajib ketika dia melakukan kegiatan di luar wilayah usaha wajib bertransformasi menjadi BPR dan ini juga menjadi tantangan tersendiri, karena lokus dan fokus serta concern layanan LKM ini seharusnya tetap berdedikasi untuk melayani local area. Kami memberikan masukan sebaiknya tidak wajib menjadi BPR, jadi dia tetap menjadi LKM. LKM juga seharusnya diberikan ruang untuk menjadi institusi yang besar, tapi tetap concern melayani masyarakat mikro. Di dalam pengaturan yang kami lihat hanya bicara dalam konteks sanksi. Kami kira masukan yang ada dalam UU P2SK ini justru tidak memberikan ruang untuk kemudahan dalam pendirian, kepemilikan, dan dalam kegiatan usaha. Justru ada kesan menakut-nakuti bagi yang akan menjalankan LKM. Hal ini yang kami kira tidak cukup kondusif untuk membantu akselerasi percepatan bagaimana kita bisa memadai kebutuhan masyarakat terkait dengan kelembagaan keuangan mikro.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan