Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Follow us:   
Kontak kami:    kontak@wikidpr.org
Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan

Masukan dan Pandangan terhadap RUU tentang Pertanahan — Komisi 2 DPR-RI Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar Pertanahan (Prof. Farida Patittingi dan Dr. Bernard Limbong)

Tanggal Rapat: 26 Aug 2015, Ditulis Tanggal: 27 Aug 2021,
Komisi/AKD: Komisi 2 , Mitra Kerja: Pakar Pertanahan (Prof. Farida Patittingi dan Dr. Bernard Limbong)

Pada 26 Agustus 2015, Komisi 2 DPR-RI mengadakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pakar Pertanahan (Prof. Farida Patittingi dan Dr. Bernard Limbong) mengenai Masukan dan Pandangan terhadap RUU tentang Pertanahan. RDPU ini dibuka dan dipimpin oleh  Wahidin Halim dari Fraksi Partai Demokrat dapil Banten 3 pada pukul 10.25 WIB. (ilustrasi: realestat.id)

Pemaparan Mitra

Berikut merupakan pemaparan mitra:

Pakar Pertanahan (Prof. Farida Patittingi dan Dr. Bernard Limbong)

Prof. Farida Patittingi

  • Pada tahun 2013, Farida mengaku sudah memberikan masukan terkait RUU tentang Pertanahan di Universitas Hasanudin. Menurutnya, RUU ini secara historis sudah sangat lama menjadi aturan khusus agraria pertanahan.
  • Secara umum, dalam perkembangannya penggunaan ruang di bawah tanah tidak berkaitan langsung dan tidak bisa selesai, karena tidak sesuai. 
  • Pada umumnya, RUU tentang Pertanahan sudah secara komprehensif mengatur atas hak-hak tanah yang berkaitan dengan penggunaan di atas, maupun di bawah tanah. 
  • Dalam Pasal 38 Ayat 4 RUU tentang Pertanahan, belum mencakup penggunaan ruang di atas tanah yang terpisah dengan penggunaan tanah dan berbeda subjek, sehingga perlu ditambahkan kelembagaan hak tersebut.
  • Perlu dipertimbangkan terkait pengelolaan penggunaan tanah di wilayah pesisir untuk diperuntukan ruang publik, karena Ini berkaitan dengan aspek lingkungan.
  • Untuk pulau-pulau kecil harus diberikan hak-hak khusus dan tidak boleh diperlakukan sama. Harus tetap konsisten terhadap hukum adat. 
  • Kelembagaan-kelembagaan dan prinsip-prinsip dasar RUU tentang Pertanahan masih mengacu kepada hukum adat sebagaimana yang ada di Undang-Undang tentang Pokok-pokok Agraria, banyak teknis terkait dengan sumber daya lainnya.
  • Perlu adanya pengadilan pertanahan untuk melakukan mediasi terlebih dahulu menyangkut nilai tanah dan berkaitan dengan faktor ekonomi dan politik, serta perlunya diberikan kewenangan dengan keputusan bersifat mengikat dan final.
  • Perlu adanya tambahan aturan atas hak tanah di dalam RUU tentang Pertanahan yang belum diatur di dalam Undang-Undang tentang Pokok-pokok Agraria. Contohnya, seperti hak atas uang di atas dan di bawah tanah pengaturannya belum komprehensif, karena belum mengatur tentang subjek dan haknya. Kemudian, mengenai hak pengelolaannya juga belum jelas subjek dan haknya. Hanya disebut dalam Pasal 6 Ayat 3.
  • Ketentuan Pasal dalam pengertian tanah di Pasal 1 Ayat 5 terasa rancu, karena sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi, termasuk ruang di atas dan di dalam bumi tidak selaras dengan kalimat sebelumnya. Untuk itu, konsisten dengan pengertian tanah secara yuridis dalam Pasal 4 Ayat 1.
  • Dapat dipastikan secara normatif dan legalitas seluruh tanah di Sulawesi Tengah bekas Swapraja. Maka, tidak ada bekas milik adat dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai bukti kepemilikan, karena Farida melihat RUU tentang Pertanahan masih sangat minim aturannya.
  • Berkaitan dengan batas minimum dan maksimum penguasaan tanah. Untuk aturan minimal 2 hektar tidak bisa berjalan, karena akan sulit untuk mengontrolnya. 
  • Batas minimum ditetapkan dengan jaminan kehidupan yang layak dalam Pasal 14 tentang penetapan batas. Ayat dalam pasal itu memerlukan penjelasan terkait batasan kehidupan yang layak. Lalu, untuk batasan maksimum ditentukan oleh jumlah penduduk, yaitu atas dasar padat dan sangat padat jumlah penduduk di sebuah wilayah. Kemudian, perlu memperhatikan aspek ekologisnya.
  • Mengenai pendaftaran tanah negara atau wilayah adat pada Bab 5 tentang pendaftaran tanah Pasal 51 Ayat 1, mengenai jangka waktu 5 tahun bagi Pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran, yang menjadi pertanyaan adalah jangka waktu penghitungan tanahnya. Jika maksud Pemerintah tidak mampu untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah dalam 5 tahun tersebut, terlebih ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sehingga dikhawatirkan pasal ini akan menimbulkan masalah tersendiri.
  • Terkait penyediaan tanah untuk kepentingan sosial, perlu dipikirkan peruntukannya untuk kepentingan peribadatan atau sosial, karena hal ini belum diatur secara jelas.
  • Dalam hal penyelesaian sengketa, khususnya pada Pasal 59 Ayat 1, perlu ditegaskan kedudukan penyelesaiannya. 
  • Pengadilan pertanahan perlu dipecah menjadi bab tersendiri, yaitu mengenai Bab tentang Pengadilan Pertanahan. Untuk sanksi-sanksinya tidak hanya sanksi pidana, juga diperlukan sanksi administratif.

Dr. Bernard Limbong

  • Berbicara soal tanah memang itu kehidupan, karena kita berasal dari tanah dan akan kembali pula pada tanah. 
  • Masalah pertanahan ini tentu akan rumit dan tidak akan pernah berakhir.
  • Bernard mempertanyakan status Undang-Undang tentang Pokok-pokok Agraria jika adanya  RUU tentang Pertanahan. Ia juga mempertanyakan Undang-Undang tentang Pokok-pokok Agraria masih sebagai payung hukum bidang keagrarian nasional atau tidak.
  • Secara umum, nilai-nilai fundamental dalam Pasal 33, UUD 1945 harus secara utuh menjadi pijakan dan acuan utama dalam RUU tentang Pertanahan.
  • Paradigma demokratis dan penghormatan HAM juga perlu dimasukan dalam Bab 2 khususnya yang berkaitan dengan asas dan pendekatan hukum yang harus berjalan seiring dengan pendekatan kesejahteraan.
  • Perolehan tanah untuk kepentingan umum dan pengadaan tanah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 
  • Pencabutan hak atas tanah dalam keadaan memaksakan dan benda-benda yang ada diatasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  • Terkait ganti rugi atau kompensasi perlu masuk dalam RUU tentang Pertanahan untuk menyempurnakan Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. 
  • Perlu diterbitkan juga pengaturan tentang kompensasi atau ganti rugi atas pencabutan hak atas tanah. Jadi, kesejahteraan pemegang hak atas tanah dijamin lebih baik dari sebelumnya, bahkan jika perlu dibuat secara terukur, meskipun lambat tapi pasti agar seimbang dan sebagai jaminan.
  • Perlu diusahakan untuk dibuat aturan mengenai pembuatan Bank Tanah untuk mengatasi persoalan pembebasan lahan. 
  • Kelembagaan Bank Tanah tujuannya agar Pemerintah memiliki stok tanah dan mengefisiensi APBD dan APBN.
  • Terdapat 2 (dua) alasan utama alasan pembangunan terhambat, yaitu pembebasan tanah dan kegiatan pengadaan tanah.
  • Reforma agraria perlu diatur dalam undang-undang, bukan sekedar Peraturan Pemerintah. 
  • Reforma agraria menjadi solusi yang paling efektif, seperti land reform distribution, retribusi tanah, konsolidasi, dan lain-lain. Kemudian, pada pasal 45 Ayat 2, kata "dapat" diganti dengan kata "berhak", terkait dengan reforma agraria.
  • Perlu diterbitkan pula undang-undang untuk perlindungan masyarakat adat dan sumber daya alam.

Pemantauan Rapat

Berikut merupakan respon anggota terhadap pemaparan mitra:

Rangkuman Terkait

Komisi / Alat Kelengkapan Dewan